Tasawuf/Akhlak

Delapan Syarat Dakwah dan Amar Ma‘ruf menurut As-Samarqandi dan Syekh Ali Jumah

Sab, 14 Desember 2019 | 10:00 WIB

Delapan Syarat Dakwah dan Amar Ma‘ruf menurut As-Samarqandi dan Syekh Ali Jumah

Dakwah, amar ma'ruf, dan nahi mungkar merupakan perintah agama. Namun demikian, pelaksanaannya tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. pelaksanaan perintah tersebut boleh dilakukan oleh mereka yang memenuhi syarat. (Ilustrasi: NU Online)

Perintah menjadi dai, penyeru kebaikan, dan pencegah kemunkaran sudah jelas dalam Al-Qur’an, “Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma‘ruf dan mencegah yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung,” (Surat Ali ‘Imran ayat 104).

Namun, perintah itu tidak serta membuat siapa saja boleh melakukan amar ma‘ruf nahyi munkar dan terjun ke dunia dakwah sebelum memenuhi syarat-syarat dan mengetahui metode serta cara-caranya.

Syekh As-Samarqandi menyebutkan setidaknya ada lima syarat penting yang harus dipenuhi seorang pendakwah atau pelaku amar ma‘ruf-nahi munkar. (Lihat Tanbihul Ghafilin, [Surabaya, Harisma: tanpa tahun], hal. 33). Berikut kelima syarat dimaksud dilengkapi penjelasannya.

Pertama, memiliki ilmu pengetahuan memadai tentang perkara ma‘ruf dan munkar. Bagaimana mungkin seseorang melakukan amar makruf-nahyi munkar tanpa mengetahui mana yang ma‘ruf dan mana yang munkar. Di samping itu, pelaku amar ma‘ruf-nahi munkar juga dituntut memiliki wawasan yang cukup tentang siapa yang diserunya, bagaimana latar belakang pendidikan dan status sosialnya, bagaimana karakternya, bagaimana budaya tempat tinggalnya, bagaimana undang-undang yang berlaku, dan seterusnya.

Saat menerima pertanyaan yang belum diketahui, juru dakwah dan penyampai kebaikan jangan sungkan mengatakan tidak tahu, wallahu alam, atau menunda jawabannya hingga mengetahuinya.

Kedua, dakwah dan amar ma‘ruf dilakukan dengan penuh kasih sayang, lemah lembut, dan keinginan luhur agar orang yang diajak kembali ke jalan yang benar. Jangan lakukan cara-cara yang keras, kasar, intimidasi dan cara yang justru menjauhkan pihak yang diajak. Ketahuilah, saat mengutus Musa dan Harun menyeru Fir‘aun, Allah berpesan, “Maka berbicaralah kalian berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut,” (Surat Thaha ayat 44).

Dalam ayat lain, Allah mengemukakan cara-cara dakwah yang benar, yaitu dengan hikmah, nasihat yang baik, dan argumen yang kuat, sebagaimana berikut:

ادْعُ إِلى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

Artinya, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik,” (Surat Al-Nahl ayat 125).

Dalam Tafsir Muqatil bin Sulaiman, maksud “hikmah” dalam ayat di atas adalah dengan Al-Qur’an. Sedangkan maksud “pelajaran yang baik” adalah pelajaran yang mengajak pada kebaikan dan menjauhkan pada kemunkaran.

Para ulama lain menafsirkan, “hikmah” di sana juga berarti cara bijaksana. Sedangkan “pelajaran yang baik” berarti nasihat-nasihat yang menyentuh, menggugah, dan menyejukkan, bukan kata-kata provokatif, memecah-belah, mencaci, dan mengundang kegaduhan.

Selain penuh kasih sayang, amar ma’ruf juga sebaiknya dilakukan secara bertahap. Demikian cara Al-Qur’an dalam mengharamkan khamar. Janganlah amar ma‘ruf  dilakukan sekaligus. Adaptasilah dengan lingkungan dan situasi orang yang diajak. Besarkan hati mereka. Sampaikan bahwa rahmat Allah begitu luas dan pintu tobat senantiasa terbuka bagi siapa pun yang bersungguh-sungguh menginginkannya.

Janganlah dai mencaci mereka, merendahkan, apalagi menghinakan mereka. Sebab, bukan mustahil, orang yang diseru akan menjauh dan kembali lagi kepada keburukannya jika cara dakwahnya dilakukan demikian. Jika para dai melakukan kekeliruan, jangan ragu untuk meralat, mengklarifikasi,  dan menyampaikan permohonan maaf.

Ketiga, memiliki kesabaran yang tinggi dalam menempuh jalan dakwah. Sadari bahwa orang yang berdakwah akan berhadapan dengan berbagai tantangan dan berhadapan dengan orang-orang yang beragam karakter, latar belakang, dan status sosial.

Seorang dai harus mampu merangkul semua kalangan. Tak sedikit penolakan, kritikan, hingga cemoohan dilayangkan kepada seorang dai. Di sana kesabaran dai benar-benar diuji dan dibutuhkan. Ini pula pesan Luqman Al-Hakim kepada putranya sebagaimana yang dilansir dalam Al-Qur’an, “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sungguh yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah),” (Surat Luqman ayat 17).

Keempat, selayaknya para dai telah mengamalkan apa yang didakwahkan. Dengan kata lain, mereka dan pelaku amar ma‘ruf-nahi munkar harus menjadi teladan bagi yang lain. Ini pula kunci keberhasilan dakwah Rasulullah SAW. Tanpa keteladanan, orang-orang yang didakwahi akan mengabaikan ajaran yang disampaikan, bahkan cenderung resisten. Dalam Al-Qur’an, Allah telah mengingatkan, “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri,” (Surat Al-Baqarah ayat 44).

Dalam ayat lain, Allah mengingatkan ancamannya:

كَبُرَ مَقْتاً عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ

Artinya, “Amat besar kebencian di sisi Allah ketika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan,” (Surat As-Shaff ayat 3).

Kelima, berdakwah dilakukan semata mengharap ridha Allah, menyerukan ajaran tauhid, mengajak umat ke jalan kebaikan, bukan sekadar mencari popularitas, mendapat pujian, memiliki banyak pengikut, dan meraih kekayaan atau kekuasaan.

Tiga syarat lainnya ditambahkan oleh Syekh ‘Ali Jumu‘ah dalam Kitab ‘Aqidah Ahlissunnah wal Jamaah. Menurut Syekh Ali Jumah, selain memiliki ilmu-pengetahuan, pelaku amar-ma‘ruf nahi-mungkar, juga memiliki tiga syarat lainnya. (Lihat: ‘Aqidah Ahlis Sunnah Waljamaah, [Kairo, Darul Maqtham: 2011], cetakan kelima, halaman 40).

Keenam, dampak dari nahi mungkar tidak lebih besar dari perkara yang dilarang. Contohnya, melarang minum khamar, tidak sampai mengakibatkan pelakunya bunuh diri atau justru membahayakan pihak yang melarang. Hal ini tidak bertentangan dengan hadits yang mengatakan:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُنْكِرْهُ بِيَدِهِ، فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَلْيُنْكِرْهُ بِلِسَانِهِ، فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَلْيُنْكِرْهُ بِقَلْبِهِ، وَذَاكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

Artinya, “Siapa saja di antara kalian melihat kemunkaran, maka ingkari (hentikanlah) dengan tangannya; siapa saja yang tidak mampu, ingkarilah dengan lisannya, siapa saja yang tidak mampu ingkarilah dengan hatinya. Itu selemah-lemahnya iman,”  (HR Abu Dawud).

Ketujuh, orang yang melakukan amar ma‘ruf memiliki dugaan kuat bahwa amar-ma‘ruf yang disampaikannya akan berhasil. Begitu pun larangan yang disampaikannya akan menyebabkan kemungkaran yang dilarangnya terhenti.

Kedelapan, keberadaan perkara yang dilarang tidak berada dalam wilayah ijtihadi. Sebab, perkara ijtihadi tidak termasuk ke dalamnya. Abu Nu‘aim meriwayatkan dalam Hilyah al-Auliya bahwa Imam Sufyan al-Tsauri menuturkan, “Jika engkau melihat seseorang yang melakukan perbuatan yang hukumnya masih diperdebatkan (ikhtilaf), maka janganlah engkau melarangnya.”      

Demikian delapan syarat dalam berdakwah dan melakukan amar ma ‘ruf nahyi munkar. Semoga bermanfaat. Wallahu a‘lam. 
 

Ustadz M Tatam Wijaya, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin”, Sukanagara, Cianjur, Jawa Barat.