Esensi Puasa Ramadhan: Bukan Sekadar Menahan Lapar dan Dahaga
NU Online · Ahad, 16 Maret 2025 | 07:00 WIB
Muhammad Izharuddin
Kolomnis
Umat Islam di seantero dunia dikenai taklif kewajiban oleh Allah berupa ibadah puasa di bulan suci Ramadhan. Mereka diharuskan berpuasa selama sebulan penuh. Menahan diri mereka dari makan, minum, dan segala hal yang dapat membatalkan puasa sejak azan Subuh hingga berkumandangnya azan Maghrib.
Setiap bulan Ramadhan tiba, umat Islam begitu semangat menjalankan ketaatan dan gigihnya menjaga diri dari segala kemaksiatan. Spirit semacam ini menjadi kekhasan tersendiri dari bulan Ramadhan. Berkat puasa yang berfaedah menekan syahwat, maka segala potensi untuk melakukan ketaatan semakin meningkat. Sebaliknya, potensi melakukan kemaksiatan turun signifikan.
Kendati demikian, hal terpenting atau esensi dalam berpuasa bukanlah terletak pada pengamalan periodik di bulan Ramadhan saja. Melainkan, bagaimana ketaatan dapat terjaga setelah bulan suci tersebut berakhir. Oleh karenanya, sebagian ulama mendefinisikan hari Id pasca Ramadhan dengan hari peningkatan ketaatan.
Baca Juga
Tiga Jenis Puasa Menurut Imam Al-Ghazali
لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ إِنَّمَا العِيْدُ لِمَنْ طَاعَاتُهُ تَزِيْدُ
Artinya: “Bukanlah hari Id bagi orang yang memakai baju baru, sungguh Id itu adalah bagi orang yang ketaatannya bertambah.”
Hari Raya bukanlah diperuntukkan mereka yang berhias dan bersolek dengan gaun dan baju barunya. Tapi mereka yang memasuki hari Id-nya sementara ketaatan yang dilakukan selama Ramadhan juga tidak sirna, namun bertambah. Begitulah esensi puasa yang hendak diajarkan kepada kaum beriman.
Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitabnya Al-Lathaif Al-Ma’arif, menyebutkan bahwa bukti seorang ketaatannya diterima Allah ialah adanya kontinuitas ketaatan. Terus menyambung dan meneruskannya dengan beragam ibadah dan ketaatan yang lain.
مَنْ عَمِلَ طَاعَة ًمِنَ الطَّاعَاتِ وَفَرَغَ مِنْهَا فَعَلامَةُ قَبُوْلِهَا أَنْ يَصِلَهَا بِطَاعَةٍ أُخْرَى وَعَلاَمَةُ رَدِّهَا أَنْ يَعْقِبَ تِلْكَ الطَّاعَةَ بِمَعْصِيَةٍ
Artinya; “Orang yang berbuat taat dan selesai melakukannya, tanda diterimanya ialah orang itu melanjutkannya dengan ketaatan yang lain. Dan tanda tidak diterimanya ialah meneruskannya dengan maksiat.” (Ibnu Rajab Al-Hanbali, Lathaif Al-Ma’arif, Cet. V, [Dar Ibnu Katsir: Beirut, 1999], hlm. 399)
Akibat Puasa Sebatas Menggugurkan Kewajiban
Orang yang ketaatannya tidak dilanjutkan usai Ramadhan bisa terjadi karena selama bulan tersebut hanya menjadikannya sebagai ibadah formalitas. Yakni, sebatas ajang menahan lapar dahaga saja. Akibatnya, pelaksanaan seperti ini akan berujung sia-sia dan tak memiliki dampak apapun terhadap diri dan ibadahnya ke depan.
Nabi Muhammad pernah bersabda sebagaimana yang terdapat dalam Musnad Ad-Darimi. (Abu Abdillah Ad-Darimi, Musnad Ad-Darimi, Juz 3, [2000] hlm. 1788)
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الظَّمَأُ
Artinya: “Betapa banyak orang yang berpuasa, yang puasanya tidak yang lebih dari sekadar menahan dahaga saja.” (H.R. Ad-Darimi)
Kata Adz-Dzhoma’ diartikan sebagai rasa haus dan bisa lapar juga. Dipilih kata ini karena masyaqqoh yang ditimbulkannya lebih besar. Haus lebih pelik dirasakan ketimbang rasa lapar. Seseorang ketika dihadapkan dengan rasa haus dan lapar yang teramat sangat, ia akan memilih air ketimbang makanan.
Syeikh Mula Qari ketika men-syarah hadits ini menukil pendapat dari At-Thibi. Disebutkan bahwa penyebab mereka hanya mendapatkan bagian lapar dan haus saja karena selama berpuasa tetap tidak meninggalkan kemaksiatan dan dosa.
قَالَ الطِّيبِيُّ: فَإِنَّ الصَّائِمَ إِذَا لَمْ يَكُنْ مُحْتَسِبًا أَوْ لَمْ يَكُنْ مُجْتَنِبًا عَنِ الْفَوَاحِشِ مِنَ الزُّورِ وَالْبُهْتَانِ وَالْغِيبَةِ وَنَحْوِهَا مِنَ الْمَنَاهِي فَلَا حَاصِلَ لَهُ إِلَّا الْجُوعُ وَالْعَطَشُ، وَإِنْ سَقَطَ الْقَضَاءُ
Artinya: “Imam At-Thibi mengatakan: bahwa sungguh orang yang berpuasa bila tidak ikhlas (mencari ridha Allah) atau menjauhkan diri dari maksiat seperti kebohongan, dusta, ghibah, dan semisalnya dari hal-hal-hal yang terlarang maka tidak ada hasilnya kecuali rasa lapar dan haus. Meskipun puasanya tetap sah tanpa perlu qadha’.” (Mula Qori, Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih (Jilid IV: Beirut, 2002], hal. 1398)
Puasa mereka tetap dianggap sah dan tidak ada kewajiban buat meng-qadhanya. Namun, tetap tidak menghasilkan apa-apa. Artinya, tidak bermanfaat kepada diri orang yang berpuasa itu sama sekali baik dalam waktu singkat maupun panjang.
Berpuasa Tetapi Sejatinya Berbuka
Golongan dengan tipikal puasa semacam ini yang diistilahkan sebagian ulama dengan sebutan ‘orang yang berpuasa tapi juga berbuka’. Sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Ghazali dalam kitab monumentalnya, Ihya ‘Ulumiddin.
كَمْ مِنْ صَائِمٍ مُفْطِرٍ وَكَمْ مِنْ مُفْطِرٍ صَائِمٍ
Artinya: “Betapa banyak orang berpuasa yang berbuka dan betapa banyak orang berbuka yang berpuasa.” (Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, Juz 1, hlm. 236)
Al-Ghazali ketika menerangkan ungkapan tersebut, mengatakan yang dimaksud orang yang berpuasa tapi berbuka ialah orang yang lapar dan haus dengan puasanya tapi tidak mempuasakan anggota tubuhnya juga. Sebaliknya, orang yang berbuka tapi berpuasa adalah orang yang tidak berpuasa (tetap makan dan minum) tapi anggota tubuhnya berpuasa.
Lebih lanjut, ulama yang menyandang gelar Hujjatul Islam ini menganalogikannya seperti orang yang hanya mengusap anggota tubuhnya saja dalam wudhu sebanyak 3 kali. Bilangan itu cukup dan sesuai secara zahir tapi dia melupakan hal yang terpenting yaitu membasuhnya. Karena wudhu itu diwajibkan membasuh bukannya mengusap kecuali hanya sebagian kepala. Alhasil, shalat yang dilakukannya akan ditolak sebab ketidaktahuannya itu.
Sementara orang yang ia makan dan minum tapi menjaga tubuhnya dari hal-hal yang haram diibaratkan seperti orang yang membasuh anggota tubuhnya yang wajib dibasuh sekali saja. Shalatnya akan diterima Insyaallah karena mengikuti hukum asal ketentuannya kendati ia meninggalkan sunahnya (dibasuh 3 kali).
Jika orang itu mampu melakukan kedua-duanya, membasuhnya tiga kali itu jauh lebih utama dan sempurna, kata Al-Ghazali. Sama halnya dengan orang berpuasa dan menjaga dirinya dari segala hal yang diharamkan. Tak sebatas menahan lapar dan dahaga tapi juga memaksimalkan anggota tubuh dalam melakukan beragam ketaatan dan mengantisipasi terjerumus dalam jurang kemaksiatan.
Dari penjelasan di atas kita dapat mengetahui, bahwa puasa di bulan Ramadhan yang dilakukan bukanlah sebatas amalan yang sifatnya formal dan temporal semata. Puasa adalah sebuah madrasah yang ingin membentuk seseorang untuk menjadikan dirinya berada dalam fase ketaatan yang berkelanjutan atau kontinu. Bukan selesai dengan selesainya juga bulan Ramadhan.
Seseorang bisa memutus ketaatannya jika ia selama bulan Ramadhan, level puasanya hanya untuk menahan lapar dan haus saja. Sekadar formalitas, tanpa mengindahkannya dengan aneka perbuatan yang mendekatkan dirinya kepada Allah dan menjauhkan dirinya dari apa dilarang-Nya. Tidak menjaga panca inderanya dan anggota tubuhnya menjadi faktor besar di baliknya berakhirnya ketaatan yang ia perbuat.
Semoga Allah selalu memberikan kita hidayah dan taufik-Nya agar kita mampu menjalankan puasa dengan sebaik-baiknya. Tidak hanya cukup dengan menggugurkan kewajiban dengan berpuasa dari makan dan minum tapi juga mempuasakan anggota tubuh dan nafsu kita dari hal-hal yang haram dan mengalihkannya ke arah petunjuk dan ketaatan. Wallahu A’lam
Muhammad Izharuddin, Mahasiswa STKQ Al-Hikam Depok.
Terpopuler
1
Kader PMII Dipiting saat Kunjungan Gibran di Blitar, Beda Sikap ketika Masih Jadi Wali Kota
2
Pihak MAN 1 Tegal Bantah Keluarkan Siswi Berprestasi Gara-gara Baju Renang
3
Kronologi Siswi MAN 1 Tegal Dikeluarkan Pihak Sekolah
4
Negara G7 Dukung Israel, Dubes Iran Tegaskan Hindari Perluasan Wilayah Konflik
5
KH Miftachul Akhyar: Menjadi Khalifah di Bumi Harus Dimulai dari Pemahaman dan Keadilan
6
Amerika Bom 3 Situs Nuklir Iran, Ekskalasi Perang Semakin Meluas
Terkini
Lihat Semua