Tasawuf/Akhlak

Imam Al-Ghazali: Syukur Tidak Sekadar Alhamdulillah

Sel, 15 Juni 2021 | 22:45 WIB

Imam Al-Ghazali: Syukur Tidak Sekadar Alhamdulillah

Az-Zabidi menyebut syukur atas nikmat Allah merupakan cabang dari makrifatullah

Imam Al-Ghazali mengingatkan kita untuk selalu bersyukur ketika mendapatkan nikmat Allah. Kalau adab orang ketika mendapat ujian adalah bersabar, maka adab ketika menerima nikmat adalah bersyukur.


Imam Al-Ghazali menambahkan, syukur kepada Allah di masyakarat sering kali direduksi pada ucapan tahmid kosong belaka yaitu “al-hamdu lillah” atau “as-syukru lillah.” Padahal selain ucapan tahmid, syukur itu mesti dipahami sebagai pendayagunaan nikmat sesuai dengan ketentuan syariat.


Nikmat fisik, nikmat makanan, nikmat penciptaan hewan, tumbuhan, udara, air, api, dan alam semesta mesti disyukuri dengan memperlakukan sebagai sesuai dengan ketentuan Allah. Oleh karenanya, kita perlu mengingat betul tujuan dasar penciptaan itu semua, yaitu penggunaan nikmat untuk penghambaan kepada Allah.


Mata digunakan untuk melihat apa, Telinga untuk mendengar apa. Mulut untuk berkata apa. Tangan untuk berbuat apa. Kaki untuk apa dan menuju ke mana. Semua nikmat tersebut tidak boleh disalahgunakan. Penyalahgunaan atas nikmat itu disebut sebagai salah satu bentuk kufur nikmat.


ثم إنهم إن عرفوا نعمة ظنوا أن الشكر عليها أن يقول بلسانه الحمد لله الشكر لله ولم يعرفوا أن معنى الشكر أن يستعمل النعمة فى إتمام الحكمة التى أريدت بها وهى طاعة الله عز و جل


Artinya, “Kalau mereka menyadari bahwa itu nikmat dan mereka mengira cara mensyukurinya cukup mengucapkan, ‘al-hamdu lillah’ atau ‘as-syukru lillah,’ tetapi mereka tidak mengetahui bahwa makna syukur adalah menggunakan nikmat tersebut dalam menyempurnakan hikmah untuk apa nikmat itu (diciptakan), yaitu ketaatan (dalam arti luas) kepada Allah,” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2015 M], juz IV).


Sayyid Muhammad Az-Zabidi dalam Syarah Ihya-nya, Kitab Ithafus Sadatil Muttaqin, mengatakan, ucapan tahmid “al-hamdu lillah” atau “as-syukru lillah” penting. Tetapi dalam konteks mensyukuri nikmat, orang yang memuji Allah melalui tahmid harus memahami maknanya. (Az-Zabidi, Ithafus Sadatil Muttaqin, [Beirut, Muasasatut Tarikh Al-Arabi: 1994 M/1414 H], juz IX, halaman 129).


Syukur itu bukan sekadar kerja lisan melalui tahmid kosong. Syukur merupakan kesadaran atas hadirnya nikmat Allah yang diekspresikan secara lisan dan perbuatan. Az-Zabidi menyebut syukur atas nikmat Allah merupakan cabang dari makrifatullah. (Az-Zabidi, 1994 M/1414 H: IX/129). Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)