Ini Kerugian Telat Menyadari Nikmat Allah Menurut Ibnu Athaillah
Kam, 7 September 2017 | 17:23 WIB
Syekh Ibnu Athaillah RA menyebut dua kondisi ini dalam Al-Hikam sebagai berikut.
Artinya, “Orang yang tidak menyadari kadar karunia Allah saat sedang menikmatinya, maka ia akan menyadarinya ketika karunia itu sudah raib.”
Syekh Zarruq dalam menjelaskan hikmah ini menyebutkan contoh-contoh konkret.
Artinya, “Karena itu ada ulama mengatakan bahwa nikmat-nikmat Allah itu tidak disadari. Semua itu bisa disadari ketika sudah raib. Ada ulama mengatakan, anak durhaka yang ‘senang atau kebiasaan’ ditegur dan diomeli orang tua akan menyadari kadar nikmat kehadiran orang tua di hari kematian bapaknya. Ada lagi ulama mengatakan, orang yang menyadari kadar nikmat air adalah mereka yang kehausan di pedalaman Arab tandus, bukan orang yang ada di tepi sungai atau di lembah dengan aliran-aliran air,” (Lihat Syekh Ahmad Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H, halaman 160).
Nikmat kesehatan, kemudahan fasilitas, kesempatan, usia muda, atau kelapangan rezeki merupakan nikmat Allah yang patut disadari sejak awal. Dengan kesadaran dini atas karunia itu, kita dapat bergerak leluasa dengan aktivitas-aktivitas positif.
Tetapi jangan pula dipahami secara hitam dan putih. Jangan diartikan bahwa orang yang telat menyadari nikmat Allah itu tidak bersyukur kepada-Nya. Orang yang telat menyadari nikmat Allah itu tetap dinilai sebagai orang yang bersyukur, tetapi tentu lain kualitasnya dengan mereka yang menyadarinya lebih dini sebagai disinggung Syekh Burhanuddin As-Syazili Al-Hanafi berikut ini.
Artinya, “Nikmat Allah itu kadang disadari oleh mereka yang menghayatinya ketika nikmat itu sendiri masih di genggaman. Tetapi nikmat itu kadang disadari oleh mereka yang mengabaikannya ketika nikmat itu sendiri telah raib. Kesadaran mereka yang menghayatinya adalah bentuk syukur yang menuntut kelanggengan dan penambahan nikmat. Sementara kesadaran mereka yang mengabaikannya karena telah raib juga merupakan bentuk syukur yang menuntut kembali kehadiran nikmat tersebut,” (Lihat Syekh Burhanuddin As-Syazili Al-Hanafi, Ihkamul Hikam fi Syarhil Hikam Al-Atha’iyyah, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2008 M/1429 H, halaman 123).
Uraian terakhir ini jelas menyebutkan bahwa kedua macam orang dalam kaitannya dengan nikmat Allah ini sebenarnya sama-sama orang yang bersyukur. Hanya saja mereka yang telat menyadari nikmat Allah sejak dini mendapat sebuah kerugian yang pasti selain penyesalan, yaitu tidak dapat bergerak leluasa dibanding mereka yang sedari awal menyadarinya. Mau apa lagi? Kesehatan menurun, uang sudah tidak pegang, usia tidak lagi muda, kerepotan tambah, daya pikir berkurang, fasilitas minim, orang tua sudah tidak ada, saudara punya urusannya masing-masing. Wallahu a’lam. (Alhafiz K)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Pahala Surga bagi Orang yang Bisa Menahan Amarah
2
Orang yang Dianjurkan Membuka Kain Kafan pada Pipi Jenazah saat Pemakaman
3
Khutbah Jumat: Membangun Bangsa yang Berdaya Saing dengan Ilmu Pengetahuan
4
Aturan Baru dan Tips agar Jamaah Bisa Masuk Pelataran Ka'bah Masjidil Haram
5
Refleksi Hari Pendidikan dalam Kitab Adabul Alim wal Mutaallim Karya KH Hasyim Asy'ari
6
Dua WNI Ini Gowes Sepeda 8 Bulan Demi Nonton Timnas Indonesia di Piala Asia U-23
Terkini
Lihat Semua