Tasawuf/Akhlak

Kecendikiawanan Ketib Anom Kudus dalam Serat Cabolek

Sel, 8 Agustus 2023 | 19:00 WIB

Kecendikiawanan Ketib Anom Kudus dalam Serat Cabolek

Ilustrasi ulama. (Foto: NU Online/Freepik).

Serat Cabolek yang ditulis oleh Raden Ngabehi Yasadipura I, seorang pujangga keraton Surakarta pada abad ke-18, merupakan dokumen yang melukiskan ketegangan dalam kehidupan keagamaan orang-orang Jawa yang timbul karena adanya kontak dengan ajaran agama Islam. Raden Ngabehi Yasadipura I mengambil bentuk macapat yang terdiri dari 11 pupuh, yang menyuguhkan cerita ini dengan gaya bahasa Jawa Baru yang baik. Kandungan isi ceritanya diekspresikan dengan hidup dan efektif dengan gaya yang sangat indah.

 

Kemampuannya menggunakan kata-kata walaupun hanya berupa kata klise, pergantian kata naratif dengan dialog yang diwarnai pemakaian bentuk-bentuk yang sesuai yang menggambarkan dengan kelas tingkat-tingkat (sosial) perilaku ceritanya, disertai dengan kemampuannya dalam memilih kata-kata kawi yang harus dipergunakannya, menjadikan cerita Serat Cabolek memikat.

 

Serat Cabolek terdiri dalam berbagai jenis versi manuskrip, meskipun demikian keseluruhan versi tersebut umumnya berisi cerita tentang Haji Ahmad Mutamakin, cerita Dewa Ruci, dan Malang Sumirang. Salah satu versi ini ditafsirkan secara lebih luas oleh Kuntowijoyo dalam menjelaskan hubungan antara perlawanan kaum agama terhadap penguasa. Serat Cabolek ini setting utamanya adalah perdebatan yang seru antara Ketib Anom dari Kudus dengan Haji Mutamakin dihadapkan para ulama dan penguasa Keraton Kartasura.

 

Singkat cerita, Ketib Anom adalah satu di antara 11 ulama yang dimintai pertimbangan untuk menyelidiki perbuatan Ahmad Mutamakin yang mengajarkan ilmu hakikat yang estoris yang diperolehnya sewaktu berguru dengan Syaikh Zain Al-Yamani. Namun Demang Urawan malah menuduh jika Ketib Anom Kudus yang menyebabkan terjadinya keraguan dan kegelisahan di antara para ulama dengan melaporkan kepada Patih Danureja sesuatu yang belum pasti sepenuhnya. Atas tuduhan itu Ketib Anom Kudus menjawab niatnya adalah melindungi dan membela raja dan merupakan kewajiban seorang ulama.

 

Malah dia berpendapat bahwa raja adalah pembela agama harus berhati-hati untuk tidak melanggar Sunah Nabi, bila raja berbuat demikian maka cahaya kerajaan akan redup dan kedudukan kerajaan akan menurun, sebagaimana manusia harus menyelamatkan raja dari semua karyanya. Bila raja berbuat salah maka rakyatlah yang akan menderita. Demikianlah ucap Ketib Anom Kudus sehingga membuat takjub yang mendengarnya. Ketib Anom Kudus adalah seorang yang pandai mengungkapkan alasan mempertahankan pendiriannya.

 

Demang Urawan sebagai utusan raja Kartasura menggambarkan sifat fisik Ketib Anom Kudus menyerupai Aria Seta, putra Raja Wirata dan kegagahannya menyerupai Pragalba, seorang raksaksa perkasa. Ketib Anom tidak memiliki niat untuk menyeret Ahmad Mutamakin ke dalam hukuman mati, ia malah berkata : "Saya menyayangkan Ki Mutamakin akan dihukum, Alhamdulillah ia telah dibebaskan; sebenarnya Raja itu berkewajiban menyembuhkan mereka yang sakit dan mengobati mereka ..." (Pupuh VI baris 19 & 20).

 

Pengetahuan Mistik Jawa
Ilmu Hakikat Ahmad Mutamakin yang dipelajari kepada Syaikh Zain Al-Yamani memiliki kemiripan dengan makna Manunggaling Kawula Gusti pada cerita Dewa Ruci yang mana Ketib Anom Kudus pada waktu di majlis ulama atau situasi mendengarkan pendapat tentang ilmu hakikat dia mampu menerangkan secara gamblang bahwa kesempurnaan hidup dapat diraih jika manusia dapat mengalahkan hawa nafsunya. Di dalam perspektif budaya Jawa, nafsu digambarkan memiliki empat warna yaitu hitam, merah, kuning, dan putih. Jika manusia mampu mengekangnya manusia dapat meraih hakikat hati atau mukasafat.

 

Nafsu adalah musuh dari hati manusia yang menjadi halangan terhadap kemauan manusia untuk menyatu secara kekal dengan Tuhan. Manusia yang dapat membebaskan dirinya dari sifat jahat tersebut dapat menyatu dengan Yang Mahagaib. Warna hitam memiliki daya paling besar memiliki watak marah, iri, dan segala perbuatan yang merusak pada kebajikan. Warna merah mengekspresikan nafsu jahat dan semua keinginan-keinginan jahat yang timbul darinya dan dapat mengurung kewaspadaan dan kehati-hatian kalbu. Kuning memiliki daya menghalangi setiap keinginan baik dan mencegah semua kewajiban yang bernilai. Hanya putih yang benar-benar murni dan memiliki daya dorong menuju kebahagiaan, ia adalah pendorong spiritual yang dapat membantu manusia menuju kepada-Nya.

 

Ketib Anom melanjutkan bila sifat-sifat duniawi tersebut lenyap maka semua bentuk akan menjadi tidak ada, yang ada hanyalah satu bukan laki-laki maupun perempuan. Kemudian muncullah Sang Pramana yang hidup di dalam badan, adalah Dzat yang bebas dari rasa sedih atau gembira, tidak makan maupun tidur, serta tidak merasakan lapar atau derita. Bila Pramana meninggalkan badan maka badan menjadi lumpuh, namun Pramana menerima hidup dari Suksma yaitu hakikat Jiwa Ilahiah. Pramana menguasai badan, jika badan mati Pramana tidak berdaya, jika Suksma meninggalkan badan maka Pramana binasa bersama badan, sedangkan Suksma terus ada membentuk kehidupan sejati. Pramana adalah penjelmaan dari suksma, mempunyai asal yang sama dengan Dia dan diciptakan oleh Dia.

 

Ketib Anom menyampaikan bahwa jika manusia ingin mempelajari ilmu yang rumit maka jangan sekali-kali menyangkal Sunah Nabi serta tidak boleh melawan raja dan merusak negara, karena raja adalah wakil Nabi sedangkan Nabi sendiri adalah wakil Tuhan. Menurut Ketib Anom, Dewa Ruci adalah wakil Dewa Guru di dunia dan seorang yang dapat memberi tuntunan kepada manusia. Pada saat yang sama, Dewa Ruci sebenarnya adalah Sang Hyang Wenang yakni dalang tertinggi, sedangkan Pramana adalah Sang Hyang Tunggal yang menjelmakan persatuan antara Abdi dengan Tuhan.

 

Dandung Adityo, pagiat kajian sastra Jawa, dosen filologi IAIN Salatiga.