Tasawuf/Akhlak

Kemarahan Anak Muda dalam Pandangan Ulama

Ahad, 28 Juli 2024 | 06:00 WIB

Kemarahan Anak Muda dalam Pandangan Ulama

Kemarahan anak muda dalam pandangan ulama Islam (freepik).

Anak muda sering dikaitkan dengan emosi yang tidak stabil dan mudah marah. Mereka sering dianggap masih labil dan belum mampu mengontrol emosinya sehingga mudah melampiaskan amarah dalam ucapan atau tindakan kasar. 
 

Dalam pandangan Islam, emosi atau amarah dapat disebut dengan ghadhab, yaitu mendidihnya darah hati dengan keinginan melawan atau balas dendam. Amarah ini bergejolak untuk mengusir bahaya sebelum terjadi dan untuk menyembuhkan serta membalas dendam setelah terjadi. Dalam melampiaskan amarah terdapat kenikmatan, dan ia tidak akan tenang tanpanya.
 

Menurut Al-Ghazali, sikap pemarah seseorang ada yang mudah dibenahi dan ada yang sulit. ini disebabkan oleh dua faktor. Pertama, faktor watak bawaan. Sebagian orang terkadang memang memiliki watak keras dan mudah marah. Kedua, faktor kebiasaan dan keyakinan. Orang yang sering melampiaskan amarah akan lebih sulit untuk mengontrol diri. Begitu juga orang yang memiliki keyakinan bahwa sikap melampiaskan amarah yang dilakukan adalah benar dan baik. (Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018], juz III, halaman 60).
 

Untuk dapat mengontrol amarah, orang harus memiliki dua hal, yaitu ilmu dan amal.
 

Yang dimaksud ilmu adalah memahami keutamaan menahan emosi, dampak buruk, dan dosa yang didapat ketika melampiaskan emosi, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud amal adalah dengan mengucapkan ta’awwudz, berwudhu dan mengubah posisi dari berdiri ke duduk, dan seterusnya. 
 

Mengapa Anak Muda Mudah Marah?

Faktor utama yang memengaruhi tingkat emosi adalah perkembangan akal. Semakin sempurna perkembangan akal seseorang, ia semakin mampu mengontrol emosi. 
 

Dalam kitab Az-Zawajir disebutkan:
 

أَقَلُّ النَّاسِ غَضَبًا أَعْقَلُهُمْ فَإِنْ كَانَ لِلدُّنْيَا كَانَ دَهَاءً وَمَكْرًا وَإِنْ كَانَ لِلْآخِرَةِ كَانَ عِلْمًا وَحُكْمًا
 

Artinya, “Orang yang paling sedikit marahnya adalah orang yang paling sempurna akalnya. Jika untuk dunia, maka itu adalah cerdik dan memperdaya, dan jika untuk akhirat, maka itu adalah ilmu dan bijaksana.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Az-Zawajir ‘An Iqtirafil Kabair, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2013], juz I, halaman 55).
 

‘Alauddin Ali bin Muhammad Al-Baghdadi atau lebih dikenal dengan nama Al-Khazin dalam tafsirnya, Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil, menyebutkan tingkatan perkembangan usia manusia.  Ia menyatakan sebagian ulama mengatakan, umur manusia ada empat tingkatan, yaitu:

  1. Masa pertumbuhan (an-nusy'u) dan perkembangan (an-nama’), yaitu dari awal lahir hingga mencapai usia 33 tahun, puncak usia muda dan puncak kekuatan fisik. 
  2. Usia stabil (al-wuquf), yaitu dari 33 tahun hingga 40 tahun, yang merupakan puncak kekuatan dan kesempurnaan akal. 
  3. Usia tengah baya (al-kuhulah), yaitu dari 40 hingga 60 tahun. Pada tahap ini orang mulai mengalami penurunan, namun penurunan tersebut hanya ringan dan tidak begitu tampak. 
  4. Usia tua (as-syuyukhah) dan penurunan (aI-inhithath), yaitu dari usia 60 hingga akhir hayat. Pada usia ini kekurangan seseorang menjadi tampak jelas, serta terjadi penuaan dan rasa takut. (‘Alauddin Ali bin Muhammad Al-Baghdadi, Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2014] juz III, halaman 88).


Dari empat pembagian usia di atas, secara umum kesempurnaan akal yang merupakan faktor utama untuk dapat mengontrol emosi terjadi pada usia 33 tahun sampai 40 tahun. Wajar jika anak muda masih memiliki emosi yang labil karena perkembangan akalnya belum mencapai puncak kesempurnaannya. 
 

Abdullah bin Mas’ud dalam muqaddimah khutbahnya mengatakan:
 

وَالشَّبَابُ شُعْبَةٌ مِنَ الْجُنُوْنِ
 

Artinya, “Masa muda (remaja) adalah bagian dari kegilaan.”
 

Menurut Al-Hafizh Abdurrauf Al-Munawi, hal itu dikarenakan dalam keadaan gila, seseorang menjadi kehilangan akal. Begitu juga masa muda, orang dapat secara cepat mengalami berkurangnya akal karena meningkatnya kecenderungan terhadap kesenangan syahwat dan keinginan untuk melakukan hal-hal yang merugikan. (Abdurrauf Al-Munawi, Faidhul Qadir, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2018], juz II, halaman 220).
 

Al-Ghazali mengatakan, ghadhab atau marah adalah penyakit hati dan kurangnya akal, dan itu terjadi karena lemahnya diri seseorang. Menurutnya orang-orang yang lemah lebih mudah emosi dari pada orang yang kuat. Hal itu disampaikan dalam kitab Ihya’ sebagai berikut:
 

وَآيَةُ أَنَّهُ لِضُعْفِ النَّفْسِ أَنَّ الْمَرِيْضَ أَسْرَعُ غَضَبًا مِنَ الصَّحِيْحِ وَالْمَرْأَةُ أَسْرَعُ غَضَبًا مِنَ الرَّجُلِ وَالصَّبِيُّ أَسْرَعُ غَضَبًا مِنَ الرَّجُلِ الْكَبِيْرِ وَالشَّيْخُ الضَّعِيْفُ أَسْرَعُ غَضَبًا مِنَ الْكَهْلِ وَذُو الْخُلُقِ السَّيِّءِ وَالرَّذَائِلِ الْقَبِيْحَةِ أَسْرَعُ غَضَبًا مِنْ صَاحِبِ الْفَضَائِلِ 
 

Artinya, “Bukti bahwa ghadhab itu karena lemahnya jiwa adalah orang yang sakit lebih cepat marah dari pada orang yang sehat, perempuan lebih cepat marah dari pada laki-laki, anak-anak lebih cepat marah dari pada orang dewasa, orang tua yang lemah lebih cepat marah dari pada orang paruh baya, dan orang yang berkarakter buruk dan tercela menjadi lebih cepat marah dari pada orang yang berbudi luhur.” (Al-Ghazali, III/178).
 

Salah satu cara untuk mengatasinya, menurut Al-Ghazali, adalah dengan cara sering menyampaikan kisah-kisah orang yang bijaksana, pemaaf dan mampu menahan emosinya dari kisah para Nabi, wali, ahli hikmah dan para ulama. juga kisah dari orang-orang buruk yang mudah marah dan melampiaskan emosinya.     
 

يَنْبَغِي أَنْ يُعَالَجَ هَذَا الْجَاهِلُ بِأَنْ تُتْلَى عَلَيْهِ حِكَايَاتُ أَهْلِ الْحِلْمِ وَالْعَفْوِ وَمَا اسْتُحْسِنَ مِنْهُمْ مِنْ كَظْمِ الْغَيْظِ فَإِنَّ ذَلِكَ مَنْقُوْلٌ عَنِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْأَوْلِيَاءِ وَالْحُكَمَاءِ وَالْعُلَمَاءِ وَأَكَابِرِ الْمُلُوْكِ الْفُضَلَاءِ وَضِدُّ ذَلِكَ مَنْقُوْلٌ عَنِ الْأَكْرَادِ وَالْأَتْرَاكِ وَالْجَهَلَةِ وَالْأَغْبِيَاءِ الَّذِيْنَ لَا عُقُوْلَ لَهُمْ وَلَا فَضْلَ
 

Artinya, “Hendaknya orang bodoh (yang pemarah) ini disikapi dengan membacakan kepadanya kisah-kisah orang-orang yang bijaksana dan pemaaf, dan kebaikan meredam amarah di antara mereka, karena kisah itu dikutip dari para nabi, wali, orang bijak, ulama, dan raja-raja yang berbudi luhur, dan kebalikannya diceritakan dari orang-orang Kurdi, Turki, dan orang-orang bodoh yang tidak mempunyai pikiran atau kebajikan di dalam diri mereka.” (Al-Ghazali, III/178-179).
 

Simpulan

Uraian di atas menjelaskan bahwa secara umum faktor utama yang menyebabkan anak mudah marah adalah perkembangan akalnya yang belum sempurna, serta kuatnya dorongan untuk menuruti kesenangan nafsu dalam dirinya. Untuk menanganinya, perlu banyak upaya yang dilakukan. Di antaranya banyak mendengar kisah-kisah keutamaan orang yang mampu menahan emosi, juga kisah keburukan orang-orang yang pemarah. Wallahu a’lam.
 

Ustadz Muhammad Zainul Millah, Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar