Menerima Perbedaan di Ruang Sosial sebagai Bukti Cinta dan Takwa
Ahad, 4 Agustus 2024 | 17:00 WIB
Ahmad Dirgahayu Hidayat
Kolomnis
Maulana Jalaluddin Rumi adalah sufi besar, penyair terkenal, juga sang bijakbestari kelahiran Balkhi, Afghanistan pada tahun 604 H/1207 M dan wafat di sebuah kota di Turki bernama Konya pada tahun 672 H/1273 M.
Sekitar 760-an tahun yang lalu, ia menulis buku berjudul Fihi Ma Fihi. Pada pasal ke-55 buku tersebut ia berpesan:
“Cintailah semua orang, niscaya kamu akan selalu berada di antara bunga mawar dan taman-taman surgawi. Jika kau membenci semua orang, maka bayang musuh selalu berada di depan matamu, seakan-akan kau berputar-putar siang dan malam di antara tanaman-tanaman duri dan kumpulan ular yang siap menerkam”. (Jalaluddin Rumi, Fihi Ma Fihi, [Beirut, Darul Fikr Al-Mu’ashir], halaman 288).
Ungkapan tersebut menegaskan kepada kita semua, cinta adalah satu-satunya cara paling mujarab mengubah ingar-bingar menjadi alunan musik, kegilaan menjadi sebuah tarian dan beban penghambaan menjadi sebuah ibadah yang menyenangkan.
Bahkan, perbedaan di antara umat manusia akan dapat diterima dengan lapang, hanya dengan cinta. Sehingga, cintalah yang bisa mengubah perbedaan menjadi sebuah persatuan.
Perlu kita pahami, perbedaan di antara kita adalah sebuah karakteristik penciptaan yang telah dikehendaki Allah swt. Sudah barang tentu perbedaan tersebut tak mungkin muncul tiba-tiba dan berjalan sia-sia. Melainkan, pasti memiliki tujuan yang besar. Allah Swt berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوباً وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.” (QS Al-Hujurat: 13).
Dalam lahirah ayat, Allah swt mengabarkan kepada kita semua tujuan mengapa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku yang berdampak pada perbedaan masing-masing kita. Berbeda dalam bahasa, warna kulit, budaya, dan bahkan dalam hal keyakinan dan agama. Penciptaan seperti itu tiada lain kecuali agar kita saling mengenal dan mengerti satu sama lain. Saling mengenal dan mengerti antara umat manusia merupakan dua hal fundamental dalam menjaga kerukunan hidup yang serba beragam.
Imam Ibrahim bin Sari bin Sahl atau yang terkenal dengan Abu Ishaq az-Zajjaj, dalam karyanya Ma’anil Qur’an wa I’rabuhu, menafsirkan penggalan kedua surat Al-Hujurat (13) tersebut. Tepat pada bacaan “Wa ja’alnakum syu’ub(an) wa qaba’ila lita’arafu”, ia menjelaskan:
لم يجعلكم شعوباً وقبائل لتفاخروا وإنما جعلناكم كذلك لتتعارَفُوا ثم أعلمهم اللَّه عزَّ وجلَّ أن أرفعهم عِنْدَهُ مَنْزِلَةً أتْقَاهُمْ
Artinya, “Allah sama sekali tidak menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling menyombongkan diri. Tidak. Melainkan Allah menjadikannya seperti demikian agar kalian saling mengenal dan mengerti (satu sama lain). Sekaligus Allah memaklumatkan bahwa orang dengan derajat tertinggi di sisi-Nya adalah mereka yang paling bertakwa.” (Abu Ishaq Az-Zajjaj, Ma’anil Qur’an wa I’rabuhu, [Beirut, ‘Alamul Kutub: 1988], juz V, halaman 37).
Bicara tentang kesetaraan semua manusia di hadapan Allah swt dalam segala urusan kecuali takwa, baginda Nabi Muhammad saw pernah menegaskan dalam khutbahnya yang diriwayatkan Abu Nadhirah:
حَدَّثَنِي مَنْ سَمِعَ خُطْبَةَ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي أَوْسَطِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ، فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إنَّ رَبّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا لِأَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إلَّا بِالتَّقْوَى. أَبَلَّغْتُ؟ قَالُوا: بَلَّغَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya, “Aku diceritakan oleh orang yang mendengar langsung khutbah Rasulullah Saw di pertengahan hari-hari tasyrik, Rasulullah bersabda:
‘Wahai sekalian manusia, ketahuilah bahwa Tuhan kalian sama, dan leluhur kalian juga sama. (Sekali lagi) ketahuilah, tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non Arab. Tidak ada kelebihan orang non Arab atas orang Arab. Tidak ada kelebihan kulit putih atas orang berkulit hitam dan tak ada kelebihan kulit hitam atas orang berkulit putih, kecuali karena ketakwaannya. Apakah aku telah menyampaikannya (dengan jelas)?,’ tegas Rasulullah.
Para sahabat menjawab, ‘Benar, engkau telah menyampaikannya’.” (Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdillah As-Syaukani, Nailul Authar, [Mesir, Darul Hadist: 1993], juz V, halaman 99).
Dari semua paparan di atas, sangat jelas dan lugas bahwa tak ada sedikit pun yang mulia dari manusia di hadapan Allah swt selain karena ketakwaannya. Karena itu, segala bentuk perbedaan di antara kita; tentang kelebihan dan kekurangan, kekayaan dan kemiskinan, keelokan dan keburukrupaan, kesalehan dan kefasikan, bahkan keimanan dan kemusyrikan, tidak seharusnya memadati ruang sosial kita dengan berbangga diri, adu caci maki, saling berebut benar, dan seterusnya.
Karena, semua hal itu dapat merusak nilai ketakwaan dan menenggelamkan diri ke derajat yang serendah-rendahnya di sisi Allah Swt. Sejatinya, menerima semua perbedaan adalah bukti cinta dan ketakwaan. Wallahu a'lam.
Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, Penulis Keislaman NU Online dan Pengajar Pondok Jungle, Lombok Tengah.
Terpopuler
1
Pengurus JATMAN 2025-2030 Terima SK Kepengurusan dari PBNU
2
Hukum dan Tata Cara Shalat Sunnah pada Malam Nisfu Syaban
3
Arifatul Choiri Fauzi Pimpin PP Muslimat NU Periode 2025-2030
4
Profil Arifatul Choiri Fauzi, Nakhoda Baru PP Muslimat NU 2025-2030
5
4 Ragam Membaca Yasin pada Malam Nisfu Sya'ban
6
Khutbah Jumat: Beramallah, Rezeki Kita akan Berkah dan Bertambah
Terkini
Lihat Semua