Tasawuf/Akhlak

Menyikapi Kontak Erat dan Isoman saat Pandemi Covid-19

Rab, 23 Februari 2022 | 17:00 WIB

Menyikapi Kontak Erat dan Isoman saat Pandemi Covid-19

Kekhawatiran tersebut sangat beralasan karena Covid-19 memang terbukti menular dengan cepat dewasa ini.

Banyak orang yang merasa takut dan khawatir setelah mendengar orang terdekatnya terpapar pandemi Covid-19. Apalagi bila dia termasuk orang yang kontak erat dengan kawan atau keluarga dekatnya yang dinyatakan positif terjangkit Covid-19.


Bukan saja karena khawatir terhadap dirinya sendiri, tetapi juga khawatir karena mungkin telah berinteraksi dengan orang lain lagi di sekitarnya. Padahal, umumnya orang mengalami kontak erat tanpa kesengajaan karena sangat sulit untuk menghindari paparan pandemi.


Kekhawatiran tersebut sangat beralasan karena Covid-19 memang terbukti menular dengan cepat dewasa ini. Bukti-bukti ilmiah dan fakta di lapangan menunjukkan bahwa kemungkinan orang yang kontak erat terpapar dari orang yang dinyatakan positif Covid-19 tetap ada. Namun, tidak semua orang yang kontak erat juga positif setelah dites dengan metode yang tersedia.


Kenyataan yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa fenomena kontak erat memerlukan kewaspadaan dan kesadaran diri. Kewaspadaan berbeda dengan kekhawatiran dan ketakutan yang berlebihan. Orang yang waspada bisa mengendalikan diri dengan penuh kesadaran tanpa rasa khawatir dan tanpa takut yang berlebihan.


Kesadaran untuk mengikuti prosedur lanjutan apabila dinyatakan termasuk kontak erat membutuhkan rasa kepedulian dan empati terhadap sesama. Orang yang dikategorikan kontak erat berarti mengetahui bahwa orang yang semula dekat dengannya kini sedang sakit. Selain itu, dia sendiri harus waspada agar kesehatannya tetap terjaga dan aman bagi orang lain.


Banyak orang yang mempertanyakan, mengapa harus isolasi mandiri padahal hasil tes negatif? Sedangkan negara lain ada yang sudah tidak ada memberlakukan pembatasan bagi orang yang termasuk kontak erat dengan keharusan isolasi mandiri. Dalam situasi seperti ini, Indonesia termasuk negara yang menerapkan prinsip kehati-hatian sehingga aturan yang diberlakukan masih menganjurkan isolasi mandiri bagi orang yang kontak erat.


Daripada menggerutu karena disarankan melakukan isolasi mandiri, lebih baik diniatkan untuk mengikuti amalan saleh seorang tabi’in yang bernama Mutharrif. Dalam kitab Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun, Imam as-Suyuthi menuliskan:


“Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Ghailan bin Jarir, dia berkata, ketika Mutharrif terjangkit thaun, dia melakukan isolasi mandiri” (Kitab Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun karya Imam Suyuthi, Penerbit Darul Qalam, Damaskus tanpa tahun: halaman 170)


Tabi’in yang bernama Mutharrif tersebut memilih untuk melakukan isolasi mandiri saat ada pandemi thaun, meskipun Beliau tidak terpapar. Oleh karena itu, seorang muslim yang dianjurkan melakukan isolasi mandiri meskipun hanya termasuk kategori kontak erat dan tidak terpapar pandemi dapat berniat mengambil teladan dari tabi’in ini.


Apabila orang yang termasuk kontak erat dinyatakan negatif terhadap hasil tes, maka dia patut bersyukur. Namun, dia tetap harus mengamati kondisi kesehatan tubuhnya sebagai bentuk kewaspadaan. Masa inkubasi virus yang berkisar 2-3 hari setelah paparan tidak akan menampakkan gejala, tetapi setelah 5 hari biasanya akan muncul gejala. Pada masa-masa inilah seseorang diharapkan untuk melaksanakan isolasi secara mandiri dan menerapkan protokol kesehatan.


Bila setelah 5 hari tidak ada gejala penyakit atau bahkan dinyatakan negatif dengan tes ulang, maka dia bisa beraktivitas kembali dengan tetap menjaga protokol kesehatan. Kesyukuran mendapatkan nikmat kesehatan perlu dipertahankan selalu. Aktivitas rutin yang mungkin sempat terhenti karena menjalani isolasi mandiri kini dapat dilanjutkan seperti biasa.


Apabila hasil tes orang yang termasuk kontak erat dinyatakan positif, maka dia perlu bersabar. Dia perlu tetap berprasangka baik terhadap Allah SWT dan juga tidak menyalahkan orang yang menjadi sumber kontak eratnya. Selanjutnya, tentu dia perlu memperhatikan gejala yang mungkin muncul. Apabila tidak ada gejala yang timbul tentu perlu bersyukur, sedangkan bila bergejala perlu berikhtiar untuk mendapatkan pengobatan.


Bagaimana dengan orang yang menjadi sumber kontak erat yang sudah jelas positif berdasarkan hasil tes Covid-19? Seringkali orang ini merasa sangat bersalah apabila ada orang di sekitarnya yang kontak erat ternyata juga terpapar pandemi. Perasaan bersalah ini sangat manusiawi, tetapi tidak boleh membuat dirinya tertekan. Semua yang telah terjadi perlu disadari sebagai bagian takdir dari Allah SWT.


Seringkali orang yang menjadi sumber kontak erat tidak menyadari bahwa dirinya terinfeksi Covid-19. Sangat mungkin tidak ada gejala yang muncul pada orang tersebut atau hanya mengalami gejala ringan seperti penyakit flu biasa. Dalam keadaan tidak tahu tersebut, dia beraktivitas dan berinteraksi dengan orang lain sehingga ketika dinyatakan terinfeksi, orang di sekitarnya menjadi yang termasuk kontak erat.


Pasien sumber kontak erat perlu isoman dan menjalani pengobatan. Ketika dinyatakan sakit dengan ataupun tanpa gejala disertai hasil tes yang positif Covid-19, seseorang yang menjadi sumber kontak erat juga perlu memperbanyak doa. Doa untuk dirinya agar segera diberi kesehatan dan doa kebaikan untuk orang lain yang termasuk kontak erat dengan dirinya. Disertai dengan permohonan maaf, dia bisa menyampaikan doa-doa kebaikan yang banyak untuk orang-orang di sekitarnya.


Orang-orang yang termasuk kontak erat juga perlu merespon dengan bijak permohonan maaf dari orang yang menjadi sumber awal kontak erat. Selain tidak menyalahkannya, respon positif dan dukungan perlu diberikan untuk orang yang menjadi sumber kontak erat ini karena umumnya dialah yang jelas mengalami sakit.


Orang yang sakit doanya didengar Allah SWT dan dianggap seperti doanya malaikat. Maka orang yang menjadi sumber awal kontak erat ini sangat perlu dimintai doa yang baik.


Dalam kitab Thibbun Nabawi, Al-Hafiz Adz-Dzahabi menyampaikan sebuah hadits tentang anjuran minta doa kepada orang yang sakit:


“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Umar radiyallahu ‘anh, jika engkau menemui orang yang sakit maka mintalah kepadanya agar berdoa untukmu sebab doa orang sakit itu sama dengan doa para malaikat.” (Al-Hafidz Adz-Dzahabi,Thibbun Nabawi, Beirut, Dar Ihyaul Ulum, 1990: halaman 291)


Dalam konteks saat ini, menemui orang yang sakit tidak harus kontak langsung tetapi bisa melalui media yang ada. Orang sakit yang sedang isoman karena Covid-19 tidak bisa ditemui secara langsung.


Sikap yang selayaknya diterapkan dari fenomena kontak erat ini adalah tidak saling menyalahkan orang lain. Hal ini membutuhkan keikhlasan dan rasa empati disertai dengan kesadaran diri untuk bertanggungjawab terhadap kesehatan pribadi. Apabila hal-hal positif ini dimunculkan, maka akan menumbuhkan keinginan untuk saling menjaga dan mendoakan terhadap orang-orang di sekitarnya. 


Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, apoteker dan peneliti di bidang farmasi