Ini acuan agar kita tidak mudah tertipu dengan tawaran spiritualitas palsu yang dijajakan oleh orang-orang yang tidak jelas rekam jejak intelektual dan spiritualnya. (Ilustrasi: madina365.com)
Taufik Damas
Kolomnis
Sebut saja misalnya Sulthanul Awliya’ Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Al-Imam Abul Hasan Asy-Syadzili, Imam Al-Ghazali, dan lain-lain. Hal ini penting ditegaskan agar orang tidak mudah masuk dalam kubang “ketertipuan spiritual” yang cukup merebak akhir-akhir ini.
Di kota besar seperti Jakarta tidak sedikit kelompok spiritualis didampingi tokoh sentral yang dianggap sebagai guru spiritual. Tapi, tokoh-tokoh sentral tersebut tidak pernah diketahui rekam jejaknya dalam intelektualitas, apa lagi dalam spiritualitas. Mereka hanya mampu menyampaikan racikan spiritualitas instan secara oral dan tidak dapat menjelaskannya secara tertulis (ilmiah).
Kedua, seorang mursyid harus memiliki akhlak mulia dan pengalaman spiritual yang sudah mendarah daging berkat riyadhah-nya. Pengalaman spiritual tersebut memancar menjadi akhlak seperti sabar, syukur, tawakal, yakin, pemurah, qanaah (tidak serakah), pengasih, tawadhu, shiddiq, pemalu (haya’), wafa’ (selalu menepati janji), dan wiqar (tenang).
Akhlak ini sering disebut sebagai maqam-maqam (atau ahwal) dalam tradisi kesufian. Maqam-maqam tersebut bukan hanya ujaran teoretis, melainkan temuan intelektual-spiritual yang dalam dan panjang. Nah, seorang mursyid yang sudah mencapai maqam-maqam tersebut akan mampu membimbing muridnya untuk sampai pada maqam-maqam tersebut.
Ibarat seorang pemandu wisata, ia mampu menjelaskan seluk-beluk lahiriah dan seluk-beluk batiniah yang dalam hingga para murid tidak kesasar. Ia sudah lebih dahulu mengetahui dan mengalami apa yang ia katakan. Itu sebabnya, dalam tariqat seorang murid harus berbaiat (janji setia) untuk siap menjalankan semua perintah mursyidnya dalam mencapai maqam-maqam tersebut.
Penjelasan ini dapat ditelusuri dalam Kitab Khazinatul Asrar Jalilatul Adzkar karya Muhammad Sayyid Haqqi An-Nazili, halaman 192. Dua tanda tersebut sudah cukup dijadikan standar untuk mengetahui bahwa seseorang sudah memenuhi syarat untuk menjadi mursyid/muqaddam.
Demikian penjelasan dari saya. Jika ada yang ingin menambahkan, silakan. Semoga ada manfaatnya. Paling tidak bisa dijadikan acuan agar kita tidak mudah tertipu dengan tawaran spiritualitas palsu yang dijajakan oleh orang-orang yang tidak jelas rekam jejak intelektual dan spiritualnya. Apa lagi yang hanya mengandalkan pakaian (tampilan lahiriah) dalam upaya glorifikasi diri...
Terakhir saya kutipkan syair dari Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani yang terdapat dalam Kitab Futuhul Ghaib:
Jika takdir membantumu atau waktu menuntunmu//kepada syekh yang jujur dan ahli hakikat
maka bergurulah dengan rela dan ikutilah kehendaknya//Tinggalkan apa yang sebelumnya kaulakukan
Sebab menentang berarti melawan//Dalam kisah Khidir yang mulia terdapat pelajaran
Dengan membunuh seorang anak dan Musa mendebatnya//Tatkala cahaya subuh telah menyingkap kegelapan malam
Dan seseorang dapat menghunus pedangnya//Maka Musa pun meminta maaf
Demikian keindahan di dalam ilmu kaum sufi...
KH Taufik Damas Lc, Wakil Katib Syuriyah PWNU DKI Jakarta.
Terpopuler
1
Membatalkan Puasa Syawal karena Disuguhi Hidangan saat Bertamu, Bagaimana Hukumnya?
2
Festival Ketupat Lebaran Idul Fitri, Warga Kediri dan Pengguna Jalan Dapat Nikmati Makan Gratis
3
Sungkeman saat Lebaran Idul Fitri, Bagaimana Hukumnya?
4
Doa Arus Balik Lebaran, Dibaca Sepanjang Perjalanan
5
Tellasan Topak, Tradisi Perayaan Lebaran Ketupat di Madura pada 8 Syawal
6
Hadapi Qatar di Piala Asia U-23 2024, Begini Prediksi Susunan Pemain Timnas Indonesia
Terkini
Lihat Semua