Tasawuf/Akhlak

Tips Meredakan Amarah yang Bergejolak Menurut Al-Ghazali

Ahad, 2 Januari 2022 | 20:00 WIB

Tips Meredakan Amarah yang Bergejolak Menurut Al-Ghazali

Tips meredakan amarah yang bergejolak menurut Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali menulis tips yang dapat menjadi panduan bagi orang yang sedang marah dan naik pitam agar tidak berbuah kenekatan dan tentu penyesalan. Al-Ghazali mengatakan, peredam angkara murka dan api kemarahan tidak lain adalah ilmu dan amal tertentu.

 

Menurut Imam Al-Ghazali, ilmu dan amal dapat mengatasi api kemarahan yang sedang bergolak dalam sanubari seseorang. Ilmu dan amal tertentu, semacam terapi kejiwaan, dapat memadamkan api kemarahan yang sedang menyala di hati.

فإذا جرى سبب هيجه فعنده يجب التثبت حتى لا يضطر صاحبه إلى العمل به على الوجه المذموم وإنما يعالج الغضب عند هيجانه بمعجون العلم والعمل

 

Artinya, “Apabila sebab yang membuat kemarahan itu bergejolak, maka seseorang wajib menahan diri sehingga tidak sampai melakukan tindakan tercela (yang membuatnya menyesal). Obat yang dapat meredam kemarahan yang bergejolak tidak lain adalah ilmu dan amal tertentu,” (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439 H-1440 H], juz III, halaman 178).

 

Imam Al-Ghazali mengatakan, angkara murka yang sedang bergolak dan bergejolak dapat dipadamkan dengan dua pendekatan, yaitu ilmu dan amal. Imam Al-Ghazali menyebutkan enam pendekatan ilmu yang dapat ditempuh:

 

1. Mengingat kembali Al-Qur’an dan hadits perihal keutamaan menahan marah. Keinginan pada keutamaan ganjaran menahan marah, memaafkan kesalahan orang lain, menerima kekurangan orang lain diharapkan dapat mencegahnya untuk melampiaskan kemarahannya.

 

Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah dibuat naik pitam oleh salah seorang warganya. Ia kemudian meminta ajudannya untuk memukul warga pembuat ulah tersebut. Namun warga itu justru membaca Surat Ali Imran ayat 134 yang berisi sifat-sifat orang bertakwa, salah satunya mereka yang menahan marah. Ia kemudian menahan ajudannya, “Tahan, Biarkan dia.”

 

2. Menakuti diri dengan murka Allah dengan mengatakan dalam hati, “Kuasa Allah padaku lebih besar daripada kuasaku pada orang tersebut (membuat ulah). Kalau kulampiaskan kemarahanku padanya, aku khawatir Allah menimpakan murka-Nya padaku. Sedangkan aku lebih membutuhkan ampunan-Nya.”

 

Dalam kitab-kitab suci terdahulu Allah berfirman, “Anak Adam, ingatlah Aku saat kau marah, maka Aku akan mengingatmu saat Kumurka.”

 

3. Mengingatkan diri pada dampak permusuhan dan konflik berkepanjangan di dunia sekiranya dirinya tidak takut pada akhirat.

 

4. Merenungkan keburukan rupanya saat marah. Manusia yang melampiaskan kemarahannya akan berubah menjadi bentuk lain, yaitu anjing liar dan binatang buas lainnya. Sedangkan manusia yang dapat mengelola kemarahannya menjadi manusia mulia seperti para nabi, para wali, ulama, dan orang bijak lainnya. ia boleh memilih untuk menjadi binatang buas atau makhluk mulia seperti para nabi dan manusia suci lainnya.

 

5. Menakuti dirinya dengan kemarahan yang menjadi sebab yang mendatangkan siksa Allah. Sementara setan terus melakukan propaganda dan bujukan bahwa kalau tidak marah, orang-orang akan mengecilkan dan menghinakannya. Sedangkan menahan pelampiasan kemarahan harus diniatkan karena Allah. Sedangkan di akhirat kelak orang yang menahan marah akan diseur untuk diberi ganjaran besar, “Siapa di antara kalian yang mengharapkan ganjaran Allah dengan menahan marah? Dipersilakan berdiri!”

 

6. Mengingatkan diri bahwa murka Allah yang berlaku atas sesuatu berjalan sesuai kehendak-Nya, bukan kehendak dirinya. Bagaimana ia dapat mengatakan, “Kehendakku lebih utama daripada kehendak Allah.” Sedangkan murka Allah lebih besar daripada murkanya.

 

Adapun amal yang dilakukan berupa doa agar Allah meredakan kemarahan yang menguasai suasana kebatinan seseorang, berwudhu, duduk jika sebelumnya dalam keadaan berdiri atau rebahan jika sebelumnya berada pada posisi duduk.

 

“Kalau kau marah, diamlah,” pesan Rasulullah saw kepada Ibnu Abbas ra agar tidak melakukan tindakan ofensif dan dekstruktif.

 

Demikian ikhtiar yang dapat dilakukan saat api kemarahan membakar dada seseorang. Ia harus mengontrol dirinya dan mengingat (kehinaan) dirinya yang sejatinya tidak pantas melampiaskan dorongan kemarahannya.

 

Pertanyaan "Memang kita ini siapa?" di tengah kekurangan dan kehinaan diri kita layak diajukan saat kita marah karena hanya Allah zat yang berhak demikian di tengah kebesaran, kesempurnaan, dan kekuasaan-Nya. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)