Tasawuf/Akhlak

Mengenal Nafsu Amarah

Rab, 12 Februari 2020 | 13:00 WIB

Mengenal Nafsu Amarah

Siapa saja yang terkalahkan oleh nafsunya, maka dia akan merugi dan menyesal tiada tara di kemudian hari.

Siapa pun yang akan menempuh jalan Allah atau menjadi seorang salik hendaknya menyadari bahwa dirinya tidak akan pernah sampai kepada-Nya sebelum mengetahui hakikat nafsu, mengerti karakternya, menentang keinginan buruknya, dan berhasil memenangi pertarungan dengannya. Namun, memerangi hawa nafsu adalah perkara yang berat. Berat lebih dari memerangi musuh yang kasat mata, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepulang dari salah satu peperangan:

 

قَدِمْتُمْ خَيْرَ مَقْدَمٍ مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ. قَالُوا: وَمَا الْجِهَادُ الْأَكْبَرُ؟ قَالَ: مُجَاهَدَةُ الْعَبْدِ هَوَاهُ

 

Artinya, “Kalian baru saja pulang dengan baik dari jihad kecil menuju jihad besar.” Pada sahabat bertanya, “Apa itu jihad besar?” Beliau menjawab, “Seorang hamba memerangi hawa nafsunya,” (HR. al-Baihaqi).

 

Artinya, siapa saja yang berhasil mengalahkan dan mengungguli nafsunya, maka dia akan selamat dan bahagia. Sebaliknya, orang yang terkalahkan oleh nafsunya, maka dia akan merugi dan menyesal tiada tara di kemudian hari.

 

Pertanyaannya, mengapa manusia yang mampu mengalahkan nafsunya akan selamat dan bahagia, sedangkan manusia yang terkalahkan nafsunya akan menyesal? Sebab, mereka yang mampu mengalahkan nafsunya mampu menahan diri dan keinginan nafsunya, sehingga berbuah rasa takut dan ketaatan kepada Allah.

 

Sementara manusia yang terkalahkan oleh nafsunya cenderung akan mengikuti keinginannya, melampaui batas, mementingkan kehidupan dunia, bahkan bertindak semena-mena melebihi makhluk tak berakal. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:

 

فَأَمَّا مَنْ طَغَىٰ، وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا، فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَىٰ، وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ

 

Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (QS an-Nazi‘at [79]: 37-40).

 

Walhasil, nafsu mendorong manusia untuk melampai batas dan mementingkan kehidupan dunia, sedangkan Allah mendorong hamba-Nya untuk takut dan menahan diri. Posisi hati seorang hamba berada di antara kedua dorongan itu. Sehingga mungkin ia condong kepada keingian nafsu, mungkin condong kepada dorongan Allah. Tak heran bila para ulama menyebut nafsu sebagai tempat ujian dan penyebab petaka manusia yang masih dikendalikan keinginannya. Namun, tidak demikian halnya manusia yang mampu mengendalikan nafsunya.

 

Dengan kata lain, saat berhadapan dengan nafsu, manusia terbagi tiga. Pertama, ada yang mampu mengendalikan nafsunya; kedua, ada yang sesekali mampu mengendalikan nafsunya, namun terkadang terkalahkan olehnya; ketiga, ada manusia yang dikuasai sepenuhnya oleh nafsunya.

 

 

Nafsu inilah yang kemudian dikenali oleh al-Ghazali sebagai “nafsu amarah”, nafsu yang tak diterbayang akan kembali kepada Allah, kecuali nafsu yang dirahmati-Nya, sebagaimana dalam Al-Qur’an.

 

وَما أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلاَّ مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

 

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku,” (QS Yusuf [12]: 53).

 

Nafsu amarahlah yang selalu memerintah keburukan, nafsu yang menghimpun kuatnya rasa marah, selalu diikuti sifat-sifat tercela, jauh dari Allah, dan termasuk bala tentara atau langkah setan untuk mengarahkan manusia kepada penyesalan dan kebinasaan. Karenanya, nafsu ini wajib diperangi, ditentang keinginannya, dan dikendalikan sebagaimana yang dipesan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di atas. (Lihat: al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, [Beirut: Darul Ma’rifah], Jilid 3, hal. 4).

 

Namun, tidak ada yang dapat keluar dari keburukan nafsu dan langkah setan kecuali berkat karunia dan pertolongan Allah, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkahnya, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya, (QS. An-Nur [24]: 21). Maka memohonlah kepada-Nya agar terhindar dari keburukan nafsu dan tipu daya setan.

 

Sementara setan adalah musuh yang nyata bagi manusia, dan pengajak jadi penghuni neraka, maka jangan pernah mengikuti bisikannya, dan jangan pula menjadi golongannya, Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala, (QS. Fathir [35]: 6).

 

Namun meski dicap sebagai pendorong keburukan, nafsu amarah memiliki manfaat, yakni sebagai lahan jihad, lahan uji diri, sekaligus lawan bertarung, sebagaimana yang dimaksud “jihad akbar” dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sementara itu, tak ada jihad kecuali mendatangkan kebaikan dan pahala yang besar.

 

Sekali lagi, orang yang hendak menempuh jalan Allah, hendaknya menyadari akan buruknya nafsu amarah yang ada pada dirinya, dan mampu memerangi keinginan buruknya. Sebab, hanya dengan mengetahui tabiaat dan memerangi keburukannya, seorang salik akan mampu melepaskan dari keburukan itu, kemudian menuju nafsu lawamah dan nafsu muthmainnah, dan mendekat kepada Allah. Insya Allah penjelasan tentang dua nafsu terkahir ini akan diuraikan pada kesempatan berikutnya.

 

 

Penulis: M. Tatam Wijaya

Editor: Mahbib