Tasawuf/Akhlak

Kedudukan Manusia di Hadapan Allah

Sel, 15 Juni 2021 | 01:15 WIB

Kedudukan Manusia di Hadapan Allah

Ilustrasi. (Foto: NU Online)

Suatu ketika Umar Ibnul Khattab bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang gambaran takwa. Lalu ia menjawab dengan nada bertanya: “Bagaimana jika engkau melewati jalan yang penuh anak dan duri?” tanya Umar. “Tentu aku bersiap-siap dan hati-hati” Itulah takwa, kata Ubay bin Ka’ab


Pada dasarnya sebagai manusia mempunyai kedudukan yang sama. Tapi dalam perjalanan kehidupan manusia kedudukan ini menjadi bergeser, ada yang mendapat kemuliaan di sisi Allah, dan ada juga yang sebaliknya mendapat hinaan dari Allah SWT. Faktor apa yang dapat membedakannya?


Manusia pada mulanya berasal dari dua orang sejoli, Nabiyullah Adam dan ibunda Hawa. Daripadanya berkembang menjadi banyak bangsa bahkan suku. Semua manusia di negara manapun dinisbatkan kepada beliau berdua.


Dalam hal ini Allah berfirman di dalam Al-Qur’an Surat al-Hujurat ayat 13, artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”


Jadi telah disebutkan dalam ayat tadi bahwa faktor yang menjadi pergeseran status di sisi Allah adalah Agama atau ad-din, yaitu seberapa ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. 

 


Al-Hafifzh Ibnu Katsir menambahkan: “Mereka berbeda di sisi Allah adalah karena takwanya, bukan karena jumlahnya” 


Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:


لَيْسَ لأَحَدٍ عَلَى أَحَدٍ فَضْلٌ إِلاَّ بِالدِّيْنِ أَوْ عَمَلٍ صَالِحٍ. (رواه البيهقي).


“Tidaklah seseorang mempunyai keutamaan atas orang lain, kecuali karena diinnya atau amal shalih.”


Saat ini, kehidupan manusia telah berkembang dengan pesat dalam segala aspeknya. Dari segi jumlah mencapai miliaran, dari sisi penyebaran, ratusan bangsa bahkan ribuan suku yang masing-masing mengembangkan diri sesuai potensi yang bisa dikembangkan. Darinya pula muncul beragam bahasa, adat istiadat, budaya dan lain-lain, termasuk teknologi yang mereka temukan.


Namun, kalau direnungkan semua itu adalah untuk jasmani kita (saja) agar hidup kita dalam keadaan sehat, tercukupi kebutuhan materi, tidak saling mengganggu, aman tenteram dalam mengemban persoalan kehidupan. Inilah tuntutan “kasat mata” hidup seorang manusia.


Tak dapat dihindari pula dari perkembangan tersebut menimbulkan rasa gembira, puas, bangga, bahkan lebih dari itu, yakni sombong. Sebagai contoh, negara yang maju, kuat merasa lebih baik dan harus diikuti (baca: ditakuti) oleh negara yang lain. Orang kaya merasa lebih baik dari yang miskin, orang yang mempunyai jabatan dan kedudukan (tertentu yang lebih tinggi) merasa lebih baik dan pantas untuk diikuti oleh yang lain dalam segala tuntutannya. Bahkan kadang-kadang, orang yang ditakdirkan Allah mempunyai “kelebihan” dari orang yang ditakdirkan “kekurangan” itu menyuruh (memaksa)-nya untuk mengerjakan hal-hal yang menyalahi ajaran agama Allah.

 


Begitulah kecenderungan manusia dalam memenuhi hasrat hidupnya, kadang (atau bahkan sering) tidak mempedulikan perintah atau larangan Allah. Padahal dari aturan agama inilah manusia diuji oleh Allah-menjadi hamba yang taat atau maksiat. Itulah ukuran yang pada saatnya nanti akan dimintai pertanggungjawabannya.


Tetapi sekali lagi, karena tipisnya ikatan manusia dengan syariat Allah, manusia banyak yang tidak menghiraukan halal atau haram, karena memang manusia “tidak punya hak” untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, kecuali kembali kepada syariat agama Allah. 


Karena minimnya ilmu syar’i itulah yang menyebabkan banyak manusia terjerembab ke lembah kedurhakaan dan jatuh ke lumpur dosa. Bahkan tidak menutup kemungkinan, para pelakunya tidak merasa berbuat dosa, atau malah bangga dengan “amal dosa” itu.


Syair seorang tabi’in Abdullah Ibnul Mubarak:


رَأَيْتُ الذُّنُوْبَ تُمِيْتُ الْقُلُوْبَ وَيُوْرِثُكَ الذُّلَ اِدْمَانُهَا، وَتَرْكُ الذُّنُوْبِ حَيَاةُ الْقُلُوْبِ وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَا.


“Aku lihat perbuatan dosa itu mematikan hati, membiasakannya akan mendatangkan kehinaan. Sedang meninggalkan dosa itu menghidupkan hati, dan baik bagi diri(mu) bila meninggalkannya”


Prestasi manakah yang akan manusia ukir? Prestasi barrun, taqiyyun, karimun (baik, takwa, mulia!). Atau kah prestasi fajirun, syaqiyun, dzalilun (ahli maksiat, celaka, hina). Dalam hal mana? Yaitu sejauh mana kita menyikapi ajaran Allah dan Rasul-Nya.


Perhatikan juga wasiat Imam al-Hasan al-Bashri berkata:


أَيُّهَا النَّاُس إِنَّمَا أَنْتَ أَيَّامٌ، كُلَّمَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ.


“Wahai manusia, ketahuilah bahwasanya engkau adalah (kumpulan) hari-hari, setiap ada sehari yang berlalu, maka hilanglah sebagian dari dirimu.”

 

 

 

Renungan:

 

Sudah berapa umur kita yang berlalu begitu saja.


Sudah berapa amal taat yang telah kita kumpulkan sebagai investasi di sisi Allah.


Sudah berapa pula, amal maksiat yang telah kita lakukan yang menyebabkan kita (nantinya) terseret ke dalam Neraka.


Umat Islam telah diberi hidayah berupa Al-Qur’an (dan As-Sunnah). Selanjutnya tinggal bagaimana umat Islam menerjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Apakah kita termasuk zhalimun linafsih, muqtashid, atau saabiqun bil khairat bi idznillah. 


Dalam tafsirnya, al-Hafizh Ibnu Katsir memberikan pengertiannya masing-masing sebagai berikut: 


Zhalimun linafsihi: Orang yang enggan mengerjakan kewajiban (syariat) tetapi banyak melanggar apa yang Allah haramkan (yang dilarang) 


Muqtashid: Orang yang menunaikan kewajiban, meninggalkan yang diharamkan, kadang meninggalkan yang sunnah dan mengerjakan yang makruh. 


Sabiqun bil khairat: Orang yang mengerjakan kewajiban dan yang sunnah, serta meninggalkan yang haram dan makruh, bahkan meninggalkan sebagian yang mubah (karena wara’nya) 


Tak seorang pun yang bercita-cita untuk mendekam dalam penjara. Apalagi penjara Allah yang berupa siksa api Neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan bebatuan. Tetapi semua itu terpulang kepada kita masing-masing. Kalau kita tidak mempedulikan syariat Allah, tidak mustahil kita akan mendekam di dalamnya. (Fathoni Ahmad)