Syariah

Operasi Ganti Kelamin atau Transgender dalam Kajian Fiqih

Sel, 1 Februari 2022 | 17:30 WIB

Operasi Ganti Kelamin atau Transgender dalam Kajian Fiqih

Operasi ganti alat kelamin dari orang yang telah jelas kelaminnya hukumnya tidak boleh sebagaimana dibahas dan diputuskan dalam Muktamar Ke-26 NU pada 10-16 Rajab 1399 H atau 5-11 Juni 1979 M di Semarang, Jawa Tengah

Beberapa hari belakangan publik heboh dengan pernyataan Dorce Gamalama yang mengaku ingin dimakamkan secara perempuan saat meninggal kelak. Ia menyebutkan dirinya telah memiliki kelamin perempuan, sehingga berpesan agar kelak dimakamkan secara perempuan. Statemen itu pun viral sehingga mengundang banyak orang berkomentar.


Berkaitan hal ini muncul pertanyaan, menurut fiqih Islam, apakah orang yang telah melakukan operasi berganti alat kelamin berarti status kelaminnya juga otomatis berubah? 


Sudah sangat maklum bahwa orang yang dilahirkan sebagai laki-laki sampai kapanpun hukumnya tetap sebagai laki-laki, begitu pula yang orang yang dilahirkan sebagai perempuan sampai kapanpun dihukumi perempuan, meskipun telah melakukan operasi ganti kelamin. Hukum seperti ini berlaku dalam seluruh hal, mulai hukum bersuci, shalat, menutup aurat, hingga perawatan jenazah dan lainnya.


Oleh karena itu, operasi ganti alat kelamin dari orang yang telah jelas kelaminnya hukumnya tidak boleh sebagaimana dibahas dan diputuskan dalam Muktamar Ke-26 NU pada 10-16 Rajab 1399 H atau 5-11 Juni 1979 M di Semarang, Jawa Tengah. Operasi ganti alat kelamin seperti itu juga tidak mengubah status kelamin asalnya. 


Dalam kajian fiqih Islam, pernah muncul pertanyaan kasus yang identik dengan kasus di atas. Yaitu, andaikan (1) ada seorang wali yang punya karamah bisa berubah wujud (tathawwur) dari laki-laki menjadi perempuan, atau (2) ada seorang lelaki yang oleh Allah diubah wujudnya (di-maskhu) menjadi perempuan—seperti kisah sebagian Bani Israil yang diubah wujudnya menjadi kera sebagaimana dikisahkan dalam surat Al-Baqarah ayat 65—, apakah setelah berganti wujud itu ia membatalkan wudhu laki-laki yang menyentuhnya?


Ulama menjawab, untuk kasus pertama tidak membatalkan, karena dipastikan bahwa zat wali yang berubah bentuk itu pada hakikatnya tidak berubah, yang berubah hanya penampakan luarnya, sementara sifat dzukurah atau kelaki-lakiannya tidak berubah.


Sementara dalam kasus kedua ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama membatalkan, karena sangat mungkin yang berubah adalah zatnya. Kemungkinan kedua tidak membatalkan, karena mungkin yang berubah adalah sifatnya, bukan zatnya. (Abdul Hamid as-Syirwani, Hawasyis Syirwani ‘ala Tuhfatil Muhtah, [Beirut: Darul Fikr], juz I, halaman 137).


Melihat kasus tathawwur atau perubahan wujud seorang wali di atas, perubahan fisik tidak otomatis mengubah status jenis kelamin seseorang. Orang yang asalnya laki-laki meskipun berubah secara fisik menjadi perempuan tetap dihukumi laki-laki, sehingga dalam hal wudhu umpamanya, maka tidak akan membatalkan wudhu laki-laki lain yang menyentuhnya.


Bahkan dalam kasus maskhu, yang perubahannya lebih drastis, berubah zat maupun sifatnya, ulama saja masih belum mantap, apakah membatalkan wudhu laki-laki lain yang menyentuhnya apa tidak. Apalagi hanya perubahan alat kelamin luar dari hasil rekayasa operasi ganti kelamin, di mana yang berubah hanya sebagian fisik luarnya saja, tentu secara fiqih sangat sulit diterima sebagai alasan perubahan jenis kelamin dari jenis kelamin asalnya. 


Dengan demikian, orang yang melakukan operasi ganti kelamin status jenis kelaminnya tidak berubah. Bila asalnya laki-laki maka tetap berstatus sebagai laki-laki, dan bila asalnya perempuan maka tetap berstatus sebagai perempuan. Hal ini berlaku dalam seluruh hukum fiqih, mulai bersuci, shalat, pembagian waris, perawatan jenazah ketika meninggal, dan selainnya. Wallahu a’lam.

 


Ustadz Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online.