Syariah

Panduan Fiqih Seputar Status Air dalam Mazhab Syafi‘i

Sen, 25 April 2022 | 21:00 WIB

Panduan Fiqih Seputar Status Air dalam Mazhab Syafi‘i

Bagaimana hukum status air suci menyucikan yang menjadi berubah (warna, bau atau rasanya) sebab kayu, minyak atau tanah, apakah suci dan menyucikan?

Status air, terutama dalam kaitannya dengan ibadah, wajib dipahami dengan baik. Terdapat ragam perbedaan pendapat (ikhtilaf) di antara ulama mazhab, termasuk di dalamnya mazhab Syafi‘i, yang notabene mazhab yang dianut mayoritas kaum muslimin di Indonesia.


Memahami keragaman pendapat ulama ini menjadi syarat penting, dalam rangka murâ‘ât al-khilâf (menjaga perbedaan pendapat), agar jawaban suatu kasus dapat dirumuskan dengan lebih relevan dan cocok diterapkan (implementatif).


Demikian juga ragam pendapat ini penting dipahami masyarakat umum agar dapat dijadikan panduan, digunakan sesuai kondisi dan situasi masing-masing orang. Hal ini karena boleh mengikuti pendapat yang lemah (al-‘amal bi-al-marjȗh) atau pendapat ulama yang tidak lebih utama (taqlîd al-mafdhûl).


Sejatinya dalam hal mengikuti pendapat lemah atau pendapat ulama yang tidak lebih utama, ada tiga pendapat, di antaranya pendapat yang membolehkan dan diunggulkan Ibnu Hâjib, karena hal itu terjadi secara nyata pada masa sahabat dan selainnya, tanpa diingkari. (Lihat al-Bannânî, Hâsyiyat al-‘Allâmah al-Bannânî, 2003, Juz II, hlm. 396, al-Âmidî, al-Ihkâm, 1996, hlm. 356-357, dan Qulyȗbî, Hasyiyat Qulyȗbî, Juz I, hlm. 13).


Pada bagian ini akan dikemukakan ragam perbedaan pendapat dalam mazhab Syafi‘i mengenai bidang thaharah (bersuci), secara spesifik tentang status air, agar dapat digunakan sebagai panduan dalam beribadah. Terdapat beberapa masalah (kasus), antara lain sebagai berikut: 


Kasus 1: Status Air Suci Menyucikan yang Menjadi Berubah (Warna, Bau atau Rasanya) Sebab Kayu, Minyak atau Tanah


Bagaimana hukum status air suci menyucikan yang menjadi berubah (warna, bau atau rasanya) sebab kayu, minyak atau tanah, apakah suci dan menyucikan? Jawabnya, Imam an-Nawawî, dalam kedua kitabnya, Raudhat ath-Thâlibîn dan Minhâj al-Thâlibîn, menjelaskan status air suci yang menyucikan yang mengalami perubahan (warna, bau, dan/rasa) sebab sesuatu mujâwir yang suci (mujâwir thâhir), yakni sesuatu yang menempel pada air atau bersandingan dengan air dan bisa dipisahkan dari air itu, yang tidak bercampur dengannya, berupa kayu (‘aud), minyak (duhn), dan lilin (syam‘), atau sebab tanah (turâb) yang dilemparkan ke dalamnya, maka ada dua pendapat (wajah/qaul).


Pertama, pendapat yang masyhur atau sahih (wajh/al-azhhar/al-masyhûr) menyatakan status air tersebut tetap suci dan menyucikan. Ini pendapat salah satu wajh dalam term al-Râfi’î atau qaul al-azhhar dalam term al-Nawawî. Menurut Syaikh al-Qulyûbî penggunaan term (istilah) wajh atau qaul itu kurang tepat, yang lebih tepat adalah istilah al-masyhûr (pendapat masyhur) atau ash-shahîh (pendapat yang sahih).


Kedua, pendapat yang tidak masyhur atau tidak sahih, bahwa status air tersebut dipandang tetap suci, tetapi tidak mensucikan. Maksudnya, air tersebut tetap suci, tetapi tidak dapat digunakan untuk bersuci (wudhu atau wandi wajib). 


[Keterangan: pengertian mujâwir (bersandingan) tersebut adalah sesuatu yang mungkin (bisa) dipisahkan dari air; sedangkan mukhâlith (bercampur baur) adalah sesuatu yang tidak mungkin (tidak bisa atau sulit) dipisahkan dari air itu]. (Jalâl al-Dîn Muhammad bin Ahmad al-Mahallî, ”Syarh al-‘Allâmah Jalâl al-Dîn al-Mahallî ‘alâ Minhâj ath-Thâlibîn li-Syaikh Muhy ad-Dîn an-Nawawî”, hâmisy Hâsyiyatâ al-Qulyûbî wa-‘Amîrah, Semarang: Thaha Putera, t.t., Juz I, hlm. 20).    


Kasus 2: Status Air Musta‘mal (Air yang Sudah Digunakan untuk Bersuci) 


Bagaimana hukum status air musta‘mal (air yang sudah digunakan untuk bersuci), apakah suci dan mensucikan? Jawab, bahwa air musta‘mal adalah air yang sudah digunakan untuk bersuci wajib (fardh ath-thahârah), dari hadats, seperti untuk basuhan yang pertamanya, bahkan menurut satu versi (qîl) termasuk juga bersuci sunah, seperti basuhan yang kedua dan ketiga dan wudhu yang diperbarui (wudhu sunah), juga mandi sunah.


Terjadi ikhtilaf: Pertama, hukum status air musta‘mal ini tidak bisa mensucikan (ghairu thahûr) menurut Qaul Jadîd (pendapat baru Imam Syafi‘i). Kedua, menurut Qaul Qadîm (pendapat lama Imam Syafi‘i), air musta‘mal tersebut tetap mensucikan (thahûr), karena masih tergolong dalam kategori air, sebagaimana tersebut dalam firman Allah Taala: 


وَهُوَ الَّذِيْٓ اَرْسَلَ الرِّيٰحَ بُشْرًاۢ بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهٖۚ وَاَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً طَهُوْرًا ۙ

  
Dan Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang sangat bersih, (QS. al-Furqân [25]: 48) 


Menurut Imam al-Suyûthî (w. 919 H), pendapat yang ashah (”lebih sahih”) bahwa air musta‘mal yang sudah digunakan untuk bersuci sunah menurut Qaul Jadîd adalah tetap suci mensucikan (thahûr). (Hamisy al-Qulyûbî, Juz I, hlm. 20).    


Imam An-Nawawî, dalam kitabnya al-Majmû‘, mengemukakan perbedaan pendapat mengenai status hukum air musta‘mal: apakah masih merupakan air mutlak ataukah bukan air mutlak, terdapat tiga pendapat.


Pendapat pertama menyatakan bahwa air musta‘mal tersebut bukan lagi air mutlak. Ini pendapat al-Syairâzî penulis al-Muhadzdzab, dan para muhaqqiq dari Ashhâb Syafi’i (pemuka mazhab Syafi’i).


Pendapat kedua menyatakan bahwa air musta‘mal tersebut tetap merupakan air mutlak (dan dapat digunakan untuk bersuci). Ini pendapat ibn al-Qâsh dan al-Qaffâl. Pendapat ketiga (ibn al-Qaffâl al-Syâsyî), bahwa air musta‘mal tersebut merupakan air mutlak, tetapi tidak boleh digunakan untuk beribadah (bersuci). Menurut al-Nawawî, pendapat yang pertama tersebut dipandang sebagai pendapat ashah (”lebih sahih”). (al-Majmû‘, Juz I, hlm. 125).


Dengan demikian, seseorang bisa mengikuti pendapat kedua di atas, yang memandang bahwa air musta‘mal masih tetap digolongkan sebagai air mutlak, sehingga statusnya masih bisa menyucikan, dalam hal ini ia bisa mengikuti Qaul Qadîm, pendapat ibn al-Qâsh dan al-Qaffâl, sungguhpun tidak dipandang sebagai pendapat yang lebih sahih dalam mazhab Syafi‘i.


Dalam penerapannya, pendapat yang menghukumi air musta‘mal masih tetap air mutlak yang suci mensucikan itu, --sungguhpun merupakan pendapat lemah-- lebih relevan diterapkan seseorang ketika dalam kondisi keterbatasan air untuk thaharah atau kondisi musim kering.


Kasus 3: Status Air Musta‘mal yang Dikumpulkan Mencapai Volume Dua Qullah (Qullatain: Sekira 270 Liter Air) 


Bagaimana hukum status air musta‘mal yang kemudian dikumpulkan mencapai volume dua qullah (qullatayn: sekira 270 liter air), apakah suci dan mensucikan? Jawab, ikhtilaf di antara Ashhâb al-Syâfi‘i tentang status air musta‘mal yang dikumpulkan menjadi banyak (qullatayn). Sebagian berpendapat bahwa hukum air tersebut menjadi suci dan dapat digunakan bersuci (thahûr, thâhir muthahhir), sedangkan yang lain berpendapat hanya suci saja, tidak dapat digunakan untuk bersuci (thâhir ghair muthahhir). Menyikapi perbedaan di atas, Imam an-Nawawî men-tarjîh (menggunggulkan) pendapat yang menyatakan air musta‘mal yang dikumpulkan mencapai dua qullah tersebut suci menyucikan sebagai pendapat ashah (lebih sahih).


Kasus 4: Air Banyak (Dua Qullah, Sekira 270 Liter) yang Terkena Najis


Dalam kasus ini ada beberapa kasus rincian atau turunan. Kasus [a], hukum air banyak (dua qullah, sekira 270 liter) yang terkena najis, apakah tetap suci ataukan menjadi najis? Jawab tafshil (diperinci). Pertama, air dua qullah yang terkena najis yang menyebabkan air itu menjadi berubah (salah satu dan/atau beberapa dari sifatnya: bau, warna atau rasanya), maka menjadi najis. Kedua, hal ini berbeda bila air dua qullah yang menjadi berubah sifatnya sebab najis tersebut, kemudian berubahnya air itu hilang sebab air itu sendiri, misalnya karena air itu menggenang dalam waktu yang lama, atau sebab air lain yang dituangkan atau berkumpul padanya, maka air tersebut menjadi suci. 


Kasus [b]: Hal ini berbeda dengan kasus air dua qullah yang berubah sebab najis dan kemudian berubahnya air itu menjadi hilang sebab minyak misik dan za‘faran (keduanya jenis minyak wangi atau parfum). Dalam kasus ini bagaimana hukumnya? Jawab, apabila air dua qullah yang berubah sebab najis, kemudian berubahnya air itu hilang sebab minyak misik, za‘faran atau semisalnya, maka air tersebut menjadi tidak suci, karena ada keraguan tentang apakah berubahnya itu telah hilang ataukah tertutup saja, tetapi yang zhâhir (jelas) air itu cuma tertutup. 


Kasus [c], air dua qullah yang terkena najis dan menjadi berubah salah satu atau beberapa sifatnya (bau, warna, rasa), kemudian berubahnya air itu hilang sebab tanah (turâb), kapur atau kapur batu (jishsh), bagaimana hukumnya. Jawab, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama, tentang air dua qullah yang terkena najis dan menjadi berubah salah satu atau beberapa sifatnya (bau, warna, rasa), kemudian berubahnya air itu hilang sebab tanah (turâb), kapur atau kapur batu (jishsh). Menurut suatu pendapat yang lebih jelas (al-azhhar), air dua qullah yang terkena najis dan menjadi berubah salah satu atau beberapa sifatnya (bau, warna, rasa), kemudian apabila berubahnya air itu hilang sebab tanah (turâb), kapur atau kapur batu (jishsh), maka tetap menjadi tidak suci. Akan tetapi menurut pendapat yang lainnya, air tersebut menjadi suci dan menyucikan. Dalam kondisi tertentu pendapat yang menyatakan air tersebut menjadi suci dan menyucikan bisa digunakan. Wallâhu a‘lam bi al-shawwâb.   


Demikian uraian ragam perbedaan pendapat dalam mazhab Syafi’i tentang status air: seputar air suci menyucikan (thâhir muthahhir) yang menjadi berubah (salah satu atau beberapa sifatnya: warna, bau, rasa), air musta‘mal, dan air dua qullah (sekitar 270 lt) yang terkena najis; agar dapat dijadikan panduan dalam menggunakan air, terutama dalam ibadah. Hadânallâhu wa-Iyyâkum ajma‘în....


Ustadz Ahmad Ali MD, Wakil Sekretaris Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman Majelis Ulama Indonesia (LPBKI MUI)