Syariah

Tersentuh Laki-laki Bukan Mahram, Apakah Wudhu Jenazah Perempuan Batal?

Kamis, 13 Oktober 2022 | 18:00 WIB

Tersentuh Laki-laki Bukan Mahram, Apakah Wudhu Jenazah Perempuan Batal?

Jenazah perempuan wajib diwudhukan oleh yang memandikannya. Tetapi apakah wudhunya menjadi batal ketika tersentuh oleh laki-laki bukan mahram?

Setelah dimandikan, jenazah biasanya diwudhukan lalu dipindahkan dari tempat pemandian ke tempat pemakaian kain kafan. Namun, permasalahannya bagaimana jika pemindahan jenazah perempuan dibantu oleh laki-laki non-mahram karena sejumlah perempuan yang ada tidak mampu dan laki-laki mahram juga tidak ada.


Masalah berikutnya, jika jenazah yang sudah diwudhukan itu tersentuh oleh laki-laki non-mahram yang memindahkannya, apakah wudhu mayit tersebut batal dan harus diwudhukan kembali? Kemudian, jika laki-laki yang memindahkan mayit tadi sudah berwudhu, apakah wudhunya juga ikut batal?


Sebagaimana diketahui, salah satu pembatal wudhu adalah bertemunya kulit laki-laki dan kulit perempuan yang sudah sama-sama baligh atau dewasa tanpa ada penghalang, serta keduanya tidak ada hubungan mahram. Dikecualikan jika bagian yang bersentuhan, salah satunya adalah rambut, kuku, atau gigi, maka persentuhan itu tidak membatalkan wudhu keduanya.


Sementara persentuhan kulit laki-laki dengan kulit jenazah perempuan telah dijawab oleh Syekh Nawawi Banten berikut ini:


الثالث التقاء بشرتي رجل وامرأة كبيرين أجنبيين من غير حائل  وينتقض وضوء كل منهما من لذة أو لا عمدا أو سهوا بعضو سليم أو أشل ولو كان الرجل هرما ولو كان أحدهما ميتا لكن لا ينتقض وضوء الميت


Artinya: “Ketiga, yang membatalkan wudhu adalah bersentuhannya dua kulit laki-laki dan perempuan, yang keduanya sudah dewasa dan keduanya bukan mahram, tanpa penghalang. Wudhu  masing-masing pun batal, baik bersentuhannya disertai rasa nikmat (syahwat) maupun tidak, baik disengaja maupun lupa, baik bersentuhannya melalui anggota tubuh yang sehat maupun yang sakit (lumpuh), meskipun laki-laki yang menyentuhnya sudah renta (pikun), meskipun salah satunya adalah mayit, namun wudhunya mayit tidak batal,” (Lihat: Syekh Muhammad Nawawi, Kasyifatus Saja, Syarah Safinatun Naja, halaman 25).


Berdasarkan petikan di atas, wudhu laki-laki yang menyentuh kulit jenazah perempuan tetap batal, sementara wudhu jenazah tidak batal. Pasalnya, orang yang meninggal telah keluar dari taklif atau beban syara’. Artinya, wudhu jenazah tidak perlu diulangi.


Meski demikian, yang terlibat dalam pengurusan jenazah perempuan, terutama memandikan, mestinya adalah kaum perempuan dan diutamakan perempuan yang masih memiliki hubungan mahram, kekeluargaan, dan kedekatan. Demikian seperti yang disebutkan Syekh Nawawi dalam penjelasan pengurusan jenazah.


والأولى بالمرأة في غسلها قريباتها وأولاهن ذات محرمية وبعد القريبات ذات ولاء فأجنبية فزوج فرجال محارم


Artinya: “Yang lebih utama memandikan jenazah perempuan adalah kerabat perempuannya. Lebih utamanya lagi adalah kerabat yang memiliki hubungan mahram. Setelah perempuan kerabat (tidak ada) maka perempuan yang memiliki hubungan dekat, kemudian perempuan lain (bukan mahram), kemudian suami, kemudian laki-laki yang memiliki hubungan mahram.” (Lihat Syekh Nawawi: 95).


Walhasil, yang lebih utama mengurus jenazah perempuan adalah kerabat perempuan (saudara), lebih utamanya adalah kerabat marham. Jika tidak ada, maka perempuan yang memiliki hubungan dekat. Jika tidak ada, maka perempuan lain yang bukan mahram. Jika tidak ada juga, maka suami diperbolehkan memandikan. Kemudian jika tidak ada, maka laki-laki yang masih memiliki hubungan mahram.


Selanjutnya, jika dalam kondisi tertentu, tidak ada yang memandikan jenazah perempuan kecuali laki-laki, maka sebaiknya jenazah tersebut tidak dimandikan dan sebagai penggantinya cukup ditayamumi saja.


Jika dalam kondisi darurat, laki-laki non-mahram harus memindahkan jenazah perempuan, maka sebaiknya dilakukan dengan menggunakan kain penghalang agar tidak bersentuhan langsung dengan kulit jenazah. Bukan karena akan membatalkan wudhu si jenazah, tetapi lebih kepada kehormatan si jenazah, adab orang hidup terhadap orang meninggal, dan dosa melihat aurat walaupun dari orang yang sudah meninggal. Wallahu alam.


Ustadz Tatam Wijaya, alumnus Pondok Pesantren Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.