Syariah

Perawatan Jenazah Perempuan

Jum, 4 Februari 2022 | 16:00 WIB

Perawatan Jenazah Perempuan

Sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar antara perawatan jenazah laki-laki dan jenazah perempuan.

Seiring viralnya wasiat Dorce Gamalama yang ingin dimakamkan seperti perempuan, muncul pertanyaan, sebenarnya cara memakamkan jenazah perempuan itu bagaimana, apakah berbeda dengan jenazah laki-laki? 


Sebagai agama yang sempurna Islam mengajarkan umatnya untuk menghormati orang, baik yang masih hidup maupun meninggal. Penghormatan Islam terhadap orang yang meninggal di antaranya tercermin dalam kewajiban perawatan jenazah, mulai dari memandikan, mengafani, menshalati, dan memakamkan. Kewajiban perawatan jenazah ini bersifat fardhu kifayah bagi orang-orang yang berada di sekitar tempat wafatnya. Bila tidak ada yang melakukannya, atau semua mengabaikannya maka semuanya berdosa.    
 

Sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar antara perawatan jenazah laki-laki dan jenazah perempuan. Hanya beberapa detailnya saja yang berbeda sebagaimana catatan berikut:


Memandikan Jenazah Perempuan

Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah terkait siapa yang berhak memandikan jenazah perempuan. Jenazah perempuan hanya boleh dimandikan oleh perempuan, kecuali suami dan laki-laki yang mempunyai hubungan mahram dengannya.

 

Bila tidak ada perempuan, suami, atau laki-laki mahram, maka merujuk pendapat al-Ashah dalam mazhab Syafi’i maka jenazah perempuan tersebut tidak dimandikan, namun ditayamumi sebagai ganti dari memandikannya; sementara menurut pendapat muqabilul ashah jenazah perempuan tersebut tetap dimandikan dengan lebih hati-hati untuk menjaga kehormatannya, yaitu dengan cara sebagai berikut:

 

(1) Jenazah perempuan tetap tertutup rapat dengan bajunya; 


(2) Laki-laki yang memandikannya menggunakan alas tangan, tidak menyentuh jenazah secara langsung; dan 


(3) Optimal dalam menjaga pandangannya, hanya boleh memandang jenazah dalam kondisi darurat atau seperlunya. (Muhammad bin Ahmad al-Mahalli, Syarah Al-Mahalli dicetak bersama Hâsyiyatâni Qulyûbi wa ‘Umairah, [Singapura-Jedah-Indonesia: Al-Haramain], juz I, halaman 379-380).


Mengafani Jenazah Perempuan

Dalam mengafani jenazah perempuan, ada tiga level sebagimana berikut:


(1) Batas minimal kafan bagi jenazah perempuan adalah kain yang menutupi seluruh tubuh; 


(2) Tiga lapis kain yang masing-masing dapat menutupi seluruh tubuh;


(3) Paling sempurna adalah lima lapis kain, yang terdiri dari (a dan b) dua lapis kain yang masing-masing dapat menutupi seluruh tubuh, (c) izâr yaitu kain yang menutup bagian tengan tubuh dari pusar hingga lutut, (d) gamis, dan (e) kerudung yang menutup kepala. (Ibrahim al-Bajuri, Hâsyiyah al-Bâjuri, juz I, halaman 248-249).


Menshalati Jenazah Perempuan

Siapa saja boleh menyolati jenazah perempuan, baik laki-laki apalagi perempuan. Namun ada beberapa detail yang perlu diperhatikan sebagaimana berikut:


(1) Niat dan doa-doa di dalam shalat jenazah semestinya disesuaikan dengan jenis kelamin jenazah, yaitu perempuan. Semisal pelafalan niat menjadi: Ushalli ‘ala hâdzihil mayyitati ar-ba’a takbirâtin fardhal kifâyati lillâhi ta’âla … Demikian pula pelafalan doa menjadi: Allâummaghfirlahâ war hamhâ wa ‘âfihâ wa’fu ‘anhâ


(2) Imam atau orang yang shalat jenazah sendirian (munfarid), berdiri tepat di arah pantat jenazah. (Sulaiman bin Umar al-‘Ajili, Hâsyiyatul Jamâl, [Beirut, Dârul Fikr], juz II, halaman 188).


Memakamkan Jenazah Perempuan

Tidak ada perbedaan dalam tata cara pemakamkan jenazah perempuan dan jenazah laki-laki. Batas minimalnya adalah galian lobang yang dapat mencegah baunya keluar dari dalam kubur, sehingga tidak tercium orang hidup atau digali oleh binatang buas. Adapun sunnahnya adalah dengan lebar satu hasta lebih satu jengkal (kira-kira 72 cm atau lebih mudah 1 m), panjang sesuai ukuran tinggi jenazah, dan kedalaman seukuran orang berdiri dengan mengangkat tangannya ke atas (kira-kira 2 m). (Musthafa al-Khin dkk, al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Dârul Qalam: 1413/1992], juz I, halaman 256). 


Adapun tentang siapa yang menurunkannya ke lubang kubur maka laki-laki, sebab umumnya wanita tidak mampu melakukannya. Adapun yang paling utama melakukannya adalah suami, kemudian laki-laki yang punya hubungan mahram dengannya, yaitu ayah, kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki, saudara laki-laki, kemudian pamannya dari ayah. Orang yang memasukkannya ke dalam kubur disunnahkan berjumlah ganjil, tiga atau selebihnya sesuai kebutuhan. (Al-Mahalli, Syarh Al-Mahalli, juz I, halaman 398-399).

 


Ustadz Ahmad Muntaha AM, pengasuh Aswaja Muda.