Syariah

Ihwal Kewajiban Zakat Anak Kecil dan Penyandang Disabilitas Mental

Ahad, 11 Juli 2021 | 14:30 WIB

Ihwal Kewajiban Zakat Anak Kecil dan Penyandang Disabilitas Mental

Kewajiban zakat dalam kaitannya dengan anak kecil dan penyandang disabilitas mental (al-majnun) memang ada dan dibenarkan oleh sekalian ulama.

Bila kita menyoal, benarkah titah Allah ﷻ dalam Al-Qur’an dan sabda-sabda Nabi , selalu bertalian dengan laku dan aktivitas semua orang mukalaf? Jawabannya, bisa iya dan bisa tidak. Tergantung dari sudut mana kita meniliknya. Teruntuk jawaban ‘iya’, berarti bertolak dari sudut pandang bahwa setiap yang muncul dari orang mukalaf—perbuatan maupun perkataan—adalah objek atau sasaran kajian hukum fiqih. Sedangkan jawaban ‘tidak’, berangkat dari konsep bahwa hukum tidak selalu terkait dengan orang mukalaf, tetapi bisa juga dengan yang lain, bahkan selain manusia. Adalah hukum zakat, di antara contohnya. Terutama terkait harta kekayaan anak kecil dan penyandang disabilitas mental (al-majnun).

 

Pertanyaannya, kalau ternyata mereka berdua memiliki gelimang harta, apakah ada kewajiban zakat? Bukankah mereka bebas dari beban hukum apa pun? Saya rasa, ini adalah pertanyaan yang tepat untuk membuka peta-peta kajian dalam tulisan ini. Dan, mari kita mulai dari membahas siapa orang mukalaf itu.

 

Mukalaf (al-Mahkumu ‘Alaih)

Dalam setiap buku-buku Ushul Fiqh karya para ulama kita dari yang klasik hingga kontemporer, pembahasan ini masuk dalam bab seputar hukum-hukum syariat. Biasanya, diberi judul al-ahkam as-syar’iyyah, atau terkadang berjudul al-hukmu as-syar’i, yang di antara subbabnya adalah mengenai orang mukalaf (al-mahkumu ‘alaih).

 

Orang mukalaf atau orang yang sudah terbebani hukum, secara umum adalah orang yang balig lagi berakal sehat. Sejak dahulu, para ulama menyifatinya demikian. Lebih rinci lagi, terdapat lima syarat untuk disebut mukalaf. Pertama, balig (al-bulug). Kedua, berakal sehat (al-‘aqlu wa fahmul khithab). Ketiga, mampu menjalankan beban hukum yang diberikan (al-qudrah ‘ala al-imtitsal). Keempat, menjalankannya atas kehendak sendiri, tanpa unsur paksaan (al-ikhtiar). Kelima, mengetahui bahwa dirinya berada dalam beban hukum (al-‘ilmu bi at-taklif), dan pengetahuan ini hanya diperoleh dari para rasul yang diutus kepada kita semua.

 

Lengkapnya, bisa membuka kitab-kitab Ushul Fiqh yang ada. Misalnya, kitab Ushul al-Fiqh Alladzi la Yasa’u al-Faqiha Jahluhu (hal. 70-72) karya seorang doktor bidang Ushul Fiqh kelahiran Makkah al-Mukarramah, syekh ‘Iyadh bin Nami as-Sulami. Sampai saat ini menjadi dosen tetap di Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud Riyadh, Arab Saudi.

 

Melihat lima syarat mukalaf di atas, sudah jelas bahwa anak kecil dan penyandang disabilitas mental (al-majnun) tidak masuk dalam kategori mukalaf. Karena itu, mereka tak terbebani hukum apa pun. Kendati, menurut imam Ahmad bin Hambal, anak yang belum balig dan telah berusia sepuluh tahun, telah terbebani hukum melakukan shalat. Mengingat, Hadist yang berbunyi, Wadhribuhum ‘alaiha li ’asyrin, “Pukullah mereka yang telah berusia sepuluh tahun karena meninggalkan shalat”. Hematnya, untuk apa perintah memukul tersebut bila mereka lepas dari beban hukum.

 

Lalu, bagaimana dengan hukum zakat? Apakah tidak wajib sebagaimana kasus-kasus hukum lainnya? Mari kita bahas pelan-pelan.

 

Hukum Zakat Anak Kecil dan Penyandang Disabilitas Mental

Imam Saifuddin Abu al-Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad al-Amidi (631 H) dalam karyanya al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (juz 1, hal. 130)-salah sebuah kitab yang mewakili mazhab Mutakallimin di tengah derasnya perlawanan dari para pakar Ushul Fiqh mazhab Ahnaf, selain kitab al-Mustashfa karya Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali (505 H)-menulis sebuah pertanyaan asumtif ihwal zakat anak kecil dan penyandang disabilitas mental. Ia mengatakan:

 

فإن قيل: إذا كان الصبي والمجنون غير مكلف فكيف وجبت عليهما الزكاة والنفقات والضمانات

 

Artinya, “Jika ada pertanyaan, ‘Kalau memang anak kecil dan penyandang disabilitas mental itu tidak mukalaf, bagaimana mungkin mereka tetap wajib berzakat, menafkahi, dan menanggung ganti rugi?”

 

Lalu imam Saifuddin al-Amidi menjawab pertanyaan yang ia asumsikan sendiri tersebut. Ia menjelaskan alasan logis di balik persoalan hukum ini. Ia menulis:

 

قلنا: هذه الواجبات ليست متعلقة بفعل الصبي والمجنون بل بماله أو بذمته. فإنه أهل للذمة بإنسانيته المتهيء بها لقبول فهم الخطاب عند البلوغ، بخلاف البهيمة والمتولي لأدائها الولي عنهما أو هما بعد الإفاقة والبلوغ وليس هذا من باب التكليف في شيء.

 

Artinya, “Jawabannya, kewajiban-kewajiban di atas, tak terkait dengan perbuatan anak kecil dan penyandang disabilitas mental, melainkan dengan harta kekayaan dan tanggung jawabnya. Sebab, melihat terhadap sisi kemanusiaan anak kecil tersebut yang berpotensi besar dapat memahami titah agama (khithab) kala besar nanti. Berbeda dengan binatang yang tak punya potensi sama sekali. Sementara yang terjun menjalankan kewajiban ini adalah wali masing-masing atas nama mereka, atau langsung mereka berdua, tetapi setelah si majnun sembuh dari gangguan mentalnya, dan si bocah telah beranjak balig. Dan, persoalan di atas, sama sekali tidak masuk dalam kajian taklif.”

 

Singkatnya, berdasarkan keterangan ini, kewajiban zakat dalam kaitannya dengan anak kecil dan penyandang disabilitas mental (al-majnun) memang ada dan dibenarkan oleh sekalian ulama. Namun, tidak menempel dalam diri mereka sebagai shabiy dan majnun, melainkan terkait erat dengan harta kekayaan mereka. Jadi, karena harta mereka lebih dari satu nisab, maka timbullah kewajiban zakat di dalamnya. Perlu ditegaskan, zakat dalam persoalan ini bukanlah zakat fitrah, tetapi khusus pada zakat mal.

 

Setelah mengetahui ihwal hukum dan keterkaitan zakat pada harta anak kecil dan penyandang disabilitas mental, penting kiranya kita memahami dalil-dalil yang mewajibkan hal itu. Dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam as- Syafi’i (juz 2, hal. 18-20) karya tiga ulama kontemporer kenamaan, syekh Musthafa al-Khin, syekh Musthafa al-Bugha, dan syekh Ali as-Sarbaji, terdapat enam dalil berikut dengan logika wajhul istidlalnya. Mari merincinya satu persatu;

 

Pertama, firman Allah ﷻ dalam surah at-Taubah (103) dan surah al-Ma’arij (24-25) yang berbunyi:

 

خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها

 

Artinya, “Ambillah zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan mereka.”

 

والذين في أموالهم حق معلوم للسائل والمحروم

 

Artinya, “Dan orang-orang yang dalam hartanya disiapkan bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta maupun tidak meminta.”

 

Makna ayat di atas, yaitu bahwa Allah ﷻ memberi kekayaan pada sebagian hamba-Nya dan tidak pada sebagian yang lain. Tujuannya, agar yang hartawan turut membagi harta itu kepada yang miskin. Karena sejatinya, ada hak yang dititipkan Allah dalam kekayaan mereka. Juga, pada ayat tersebut tidak dijumpai keterangan bahwa Allah membeda-bedakan sekalian orang-orang kaya itu, antara yang sehat mental dan disabilitas, atau yang masih kecil dan sudah balig.

 

Kedua, Pernyataan Abu Bakr as-Shiddiq yang diriwayatkan al-Bukhari berikut:

 

 هذه فريضة الصدقة التي فرضها رسول الله صلى الله عليه وسلم على المسلمين

 

Artinya, “Ini adalah sedekah wajib (zakat) yang diwajibkan Rasulullah ﷺ kepada setiap umat muslim.”

 

Term al-muslimin di sini tergolong lafal âm atau lafal yang bermakna umum, mencakup kepada setiap kaum Muslimin. Baik yang sudah balig atau belum, berakal sehat maupun tidak, semuanya tercakup sebagai makna lafal itu. Dalam sebuah kaidah Ushul Fiqh dikatakan:

 

الأصل بقاء العام على عمومه ما لم يرد دليل عن الشارع بتخصيصه

 

Artinya, “Pada dasarnya, lafal âm tetap diberlakukan sesuai cakupan maknanya, kecuali ada teks syariat yang membatasi cakupan makna lafal tersebut.”

 

Ketiga, statemen sayyidina Umar ra yang diriwayatkan imam Malik bin Anas dalam kitab al-Muattha’-nya. Ia berkata:

 

إتجروا في أموال اليتامى، لا تأكلها الصدقة

 

Artinya, “Niagakanlah harta benda anak-anak yatim itu, maka tidak akan ‘dihabiskan’ oleh zakat.”

 

Logika dari penyataan sayyidina Umar ini, bila harta anak yatim tersebut didiamkan terus-menerus, alias tidak diniagakan, maka pada saatnya nanti akan terkena kewajiban berzakat. Otomatis, sebanyak apa pun harta yang dimiliki, setiap tahun tetap diambil zakatnya yang akan menyebabkan harta tersebut terus berkurang. Sementara, pengeluaran si anak yatim terus akan bertambah seiring usia dan kebutuhannya. Tentu, sangat tak baik untuk masa depannya. Syukur kalau nominalnya banyak, yang sial bila kebetulan sedikit, hanya melebihi satu nisab saja, misalnya. Lalu akan habis diambil zakat.

 

Keempat, dianalogikan kepada kewajiban zakat fitrah. Jadi, berdasarkan konsensus para ulama, zakat fitrah tetap wajib bagi anak kecil dan penyandang disabilitas mental. Kalau sifat shigar (hal yang melekat pada diri anak kecil) dan gangguan jiwa tidak menjadi penghalang kewajiban zakat fitrah, lalu apa alasan kedua sifat itu dapat menghalangi kewajiban zakat mal.

 

Kelima, merujuk kepada tujuan utama (high politic) legalisasi hukum zakat, yaitu memenuhi kebutuhan para fakir-miskin sekaligus menyucikan harta mereka dari yang haram dan syubhat. Lalu, apa yang dapat memilah-milah mereka, sehingga ada yang wajib dan yang tidak.

 

Keenam, zakat bukanlah ibadah badani murni yang membutuhkan syarat-syarat taklif secara ketat. Melainkan, ia adalah ibadah yang didominasi oleh unsur harta, finansial, keseimbangan perekonomian masyarakat dan lain-lain. Sehingga, tak ada alasan untuk tidak memperlakukan para hartawan itu secara sama. Tanpa pandang latar belakang usia, mental dan lainnya.

 

Semoga tulisan ini bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawâb.

 

 

Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni sekaligus pengajar di Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.