Apakah Tindik di Wajah Mempengaruhi Keabsahan Ibadah?
Selasa, 22 Juli 2025 | 09:00 WIB
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr. wb. Saya ingin bertanya, apakah tindikan di area wajah, seperti hidung atau bagian lainnya, dapat berpengaruh terhadap keabsahan ibadah, khususnya wudhu dan shalat? Apakah ada perbedaan hukum antara tindikan permanen dan yang tidak permanen? Mohon penjelasannya.
Jawaban:
Wa'alaikumussalam wr. wb. Terima kasih atas pertanyaannya yang baik dan bermanfaat. Semoga penanya serta seluruh pembaca NU Online senantiasa diberi kesehatan dan kemudahan dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
Pembahasan ini mencakup dua hal utama: pertama, hukum menindik bagian wajah menurut pandangan fiqih, khususnya pendapat para ulama; kedua, status keabsahan ibadah seseorang yang memiliki tindikan di wajah, terutama terkait wudhu dan shalat, serta apakah ada ketentuan khusus yang harus dipenuhi agar ibadahnya tetap sah.
Baca Juga
Hukum Tato, Rajah Kulit
Hukum Tindik dalam Islam
Dalam khazanah fiqih, hukum menindik bagian tubuh untuk berhias bagi perempuan telah dibahas oleh para ulama. Ibnu Qudamah, seorang ulama besar dari mazhab Hanbali menyatakan bahwa menindik hidung atau bagian tubuh lainnya diperbolehkan bagi perempuan Muslimah, selama hal itu merupakan kebiasaan di masyarakat setempat dan tidak menimbulkan bahaya.
Beliau menyatakan:
أما ثقب الأنف أو غيره لوضع حلق، فإذا كانت عادة النساء المسلمات التحلي بذلك، فإنه يجوز، قياساً على ثقب الأذن بجامع وجود الحاجة الداعية إلى ذلك، وهي التزين، ولكن بشرط عدم ترتب ضرر
Artinya, “Adapun menindik hidung atau bagian tubuh lainnya untuk memakai anting (atau perhiasan sejenis), maka jika hal itu sudah menjadi kebiasaan wanita muslimah dalam berhias, hukumnya boleh. Ini dianalogikan (qiyas) dengan menindik telinga, karena keduanya sama-sama dilakukan untuk tujuan berhias. Namun, dibolehkan dengan syarat tidak menimbulkan bahaya atau mudarat,” (Ibnu Qudamah, al-Mughni, [Mesir, Maktabah al-Qahirah: 1969], Jilid III, halaman 45)
Ada dua alasan tindik di area wajah diperbolehkan, pertama karena di-qiyas-kan atau dianalogikan dengan menindik telinga, kedua karena adanya kebutuhan perempuan untuk berhias.
Selanjutnya, menindik bagian tubuh seperti hidung tidak termasuk dalam kategori taghyîr khalqillah atau mengubah ciptaan Allah yang terlarang, selama dilakukan dalam batas-batas yang diperbolehkan. Penjelasan ini diperkuat oleh ulama tafsir terkenal, Ibnu ‘Asyur, dalam karyanya At-Tahrir wat Tanwir, ia menulis:
وليس من تغيير خلق الله التصرّف في المخلوقات بما أذن الله فيه فإنّ الختان من تغيير خلق الله ولكنّه لفوائد صحيّة ، وكذلك حَلق الشعر لفائدة دفع بعض الأضرار، وكذلك ثقب الآذان للنساء لوضع الأقراط والتزيّن.
Artinya: “Dan tindakan pada makhluk yang diperbolehkan oleh Allah bukan termasuk dalam (larangan) mengubah ciptaan Allah. Karena khitan termasuk mengubah ciptaan Allah akan tetapi memiliki manfaat kesehatan. Begitu juga, mencukur rambut karena adanya manfaat menolak sebagian bahaya (dalam kesehatan). Begitu juga, melubangi telinga bagi perempuan dengan tujuan menggantungkan anting-anting dan berhias,” (Ibnu ‘Asyur, At-Tahrir wat Tanwir, [Beirut, Darul Ibnu Hazm: 2021], Jilid V, halaman 205)
Namun, hukum ini bersifat khusus bagi perempuan. Adapun bagi laki-laki, menindik wajah atau telinga termasuk dalam bentuk tasyabbuh (menyerupai) perempuan yang dilarang. Imam Ibnu Abidin menyatakan:
ثقب الأذن لتعليق القرط مِن زِينَةِ النساء, فلا يحل للذكور
Artinya, “Menindik telinga untuk menggantungkan anting adalah bagian dari perhiasan khusus perempuan, sehingga tidak halal (tidak boleh) dilakukan oleh laki-laki.” (Hasyiah Ibnu Abidin Ala Raddul Mukhtar, [Damaskus, Darul Tsaqofah Wa at-Turots: 2000], jilid VI, halaman 460)
Tindik Wajah dan Keabsahan Wudhu
Masuk ke bagian yang kedua, yakni bagaimana status wudhu seseorang, terutama perempuan, yang memiliki tindikan di wajah?
Dalam fiqih, salah satu syarat sah wudhu adalah sampainya air ke seluruh bagian anggota wudhu. Oleh karena itu, jika ada benda yang menempel atau menutupi kulit sehingga air tidak bisa menyentuhnya, maka hal tersebut dapat membatalkan keabsahan wudhu.
Imam al-Bakri ad-Dimyathi menyatakan:
أن لا يكون على العضو حائل. أي جرم كثيف يمنع وصول الماء للبشرة. بين الماء والمغسول
Artinya, “Tidak boleh ada penghalang pada anggota wudhu. Maksudnya: tidak boleh ada benda tebal yang menghalangi sampainya air ke kulit. Jadi, antara air dan anggota tubuh yang harus dibasuh tidak boleh ada sesuatu yang menjadi sekat atau lapisan penghalang.” (I'anatuth Thalibin, jilid I, halaman 45)
Dalam hal ini, logam tindik dapat dipersamakan dengan cincin dalam pembahasan fikih. Ulama mazhab Syafi'i seperti Syekh Sulaiman Al-Bujairimi menjelaskan bahwa apabila cincin menutupi bagian jari hingga air tidak sampai ke bawahnya, maka wajib untuk melepasnya. Namun jika cukup dengan menggerakkannya agar air masuk, maka tidak perlu dilepas.
Beliau mengatakan:
قَوْلُهُ: وَلَا يَكْفِيْ تَحْرِيْكُهُ، أَيْ إِنْ لَمْ يَصِلَّ وَقَوْلُهُ فَإِيْجَابُ نَزْعِهِ إلخ. قَالَ م ر فِي شَرْحِهِ: وَإِيْجَابُهُ لَيْسَ لِعَيْنِهِ بَلْ لِإِيْصَالِ التُّرَابِ لِمَا تَحْتَهُ؛ لِأَنَّهُ لَا يَتَأَتَّى غَالِبًا إِلَّا بِالنَّزْعِ، حَتَّى لَوْ حَصَلَ الْفَرْضُ بِتَحْرِيْكِهِ أَوْ لَمْ يَحْتَجْ إِلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِسَعَتِهِ كَفَى، كَمَا أَنَّهُ لَوْ كَانَ ضَيِّقًا بِحَيْثُ يُعْلَمُ عَدَمُ وُصُوْلِ الْمَاءِ إِلَى مَا تَحْتَهُ فِي الطُّهْرِ بِهِ إِلَّا بِتَحْرِيْكِهِ أَوْ نَزْعِهِ وَجَبَ
Artinya, “Ucapannya: ‘Tidak cukup hanya menggerakkannya’, maksudnya jika air tidak sampai (ke kulit). Dan ucapannya: ‘Maka wajib melepasnya, dan seterusnya’. Asy-Syekh M. Ramli dalam syarahnya berkata: Kewajiban melepas itu bukan karena benda itu sendiri, tetapi karena harus menyampaikan air atau debu (dalam tayamum) ke bagian di bawahnya. Sebab, pada umumnya hal itu tidak bisa dilakukan kecuali dengan melepasnya. Maka jika kewajiban sudah terpenuhi hanya dengan menggerakkannya, atau tanpa perlu keduanya karena longgarnya benda tersebut, maka itu sudah cukup. Sebagaimana jika benda tersebut sempit hingga diyakini bahwa air tidak bisa sampai ke bagian bawahnya saat bersuci kecuali dengan menggerakkan atau melepasnya, maka wajib (dilakukan salah satunya).” (Tuhfah Al-Habib Ala Syarh Al-Khatib [Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah], vol. 1, h. 430)
Pada umumnya, tindik tidak menghalangi air masuk ke kulit, kecuali dalam kondisi tertentu seperti pemakaian tindik dengan permukaan dasar yang lebar dan menempel rapat ke kulit, atau penggunaan bahan seperti plastik atau silikon yang melapisi permukaan kulit.
Dalam kondisi normal, logam tindik biasanya memiliki celah dan tidak merekat sepenuhnya pada kulit. Dengan sedikit gerakan, air wudhu bisa masuk dan menyentuh kulit yang ada di bawahnya. Maka, selama tidak menutupi secara sempurna dan air bisa menjangkau bagian kulit tersebut, tindik wajah tidak mempengaruhi keabsahan wudhu.
Tindik pada wajah bagi perempuan, seperti di hidung atau bagian lainnya, diperbolehkan dalam Islam selama tidak menimbulkan bahaya dan bertujuan untuk berhias sesuai budaya setempat. Terkait keabsahan wudhu, keberadaan tindik tidak serta-merta membatalkan wudhu. Selama air masih bisa menjangkau kulit di sekitar tindik, maka wudhu tetap sah tanpa perlu melepasnya. Namun, jika logam tindik menutupi kulit secara rapat hingga air tidak bisa sampai, maka harus dilepas saat wudhu.
Oleh karena itu, bagi Muslimah yang memiliki tindik di wajah, penting untuk memperhatikan apakah air benar-benar sampai ke kulit saat berwudhu. Jika tidak, maka sebaiknya dilepas sementara agar ibadah tetap sah dan sempurna. Wallahu A’lam.
Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil.