Kisah Penguasa Ubah Aturan Hukum demi Kepentingan Pribadi
Selasa, 27 Agustus 2024 | 11:00 WIB
Dalam membuat sebuah aturan, seorang pemimpin mestinya bersikap objektif dan mempertimbangkan kemaslahatan rakyat. Ketika aturan dibuat hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok, cepat atau lambat akan terjadi masalah dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan bisa mengundang malapetaka bagi para pemimpin negeri. Ini pernah terjadi pada umat terdahulu.
Dikisahkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib, ada seorang raja mabuk yang kehilangan kendali sampai menggauli saudara kandung perempuannya sendiri. Saat itu, semua orang mengetahui bahwa hukum berhubungan badan dengan saudara kandung itu dilarang, bahkan dianggap sebagai perilaku menyimpang. Raja pun mulai memutar otak demi menyelamatkan reputasinya.
Agar tidak dianggap melanggar aturan, Sang Raja kemudian mengubah aturan yaitu boleh menikah dengan saudara kandungnya. Namun sayangnya, ketika aturan baru ini diumumkan, semua rakyat menolak aturan nyeleneh yang tidak berdasar tersebut.
Melihat respons rakyat yang tidak sesuai harapan, Sang Raja kemudian berdiskusi dengan saudara perempuannya.
"Coba kamu umumkan kepada rakyat bahwa Allah telah menghalalkan menikah dengan saudara kandung," ujar saudara perempuan Sang Raja.
"Selanjutnya kamu buat parit yang menyeramkan dan tunjukkan kepada mereka, jika ada yang menolak aturan ini akan dijebloskan ke dalam parit dan pasti akan meninggal di sana; sebaliknya, jika bisa menerima aturan ini maka mereka akan selamat," lanjut saudaranya.
Raja pun menuruti arahan saudara perempuannya. Tidak sedikit rakyat yang dijebloskan ke dalam parit dan terbunuh di sana karena enggan menerima aturan menyimpang Sang Raja. Namun demikian, akhirnya Raja dan para pembuat parit mendapatkan malapetaka dan bahkan dilaknat oleh Allah swt.
Kisah ini menjadi penjelas makna "ashabul ukhdud" dalam surat Al-Buruj ayat 4 sebagaimana diungkap oleh Imam Al-Qurthubi. (Al-Jami' li Ahkamil Qur'an, (Beirut, Muassasatur Risalah: 2006), juz XXII, halaman 188).
Dari kisah singkat ini dapat dipetik hikmah yang bisa dijadikan sebagai pelajaran dalam kehidupan politik di masa sekarang. Yaitu agar seorang pemimpin mempunyai karakter yang konsisten pada hukum yang berlaku dan tidak semena-mena menggunakan kekuasaannya untuk mengubah-ubah norma hukum demi keuntungan personal, keluarga, dan kelompoknya .
Begitu pun dengan masyarakat, idealnya mengetahui regulasi agar tidak terjebak dan terombang-ambing oleh aturan yang tidak berdasar.
Selain itu, kisah ini juga mengingatkan bahwa setiap perbuatan pasti akan ada balasannya. Ketika seorang pemimpin berbuat zalim, pada akhirnya ia akan mendapatkan malapetaka yang mungkin tidak diduga sebelumnya. Wallahu a'lam.