Nikah/Keluarga

Fenomena Sleep Divorce dan Pisah Ranjang dalam Perspektif Keislaman

NU Online  ยท  Jumat, 25 Juli 2025 | 06:00 WIB

Fenomena Sleep Divorce dan Pisah Ranjang dalam Perspektif Keislaman

Ilustrasi pasangan suami istri. (Foto: NU Online/Freepik)

Terdapat dua fenomena dalam pernikahan masyarakat yang namanya terkesan mirip namun berbeda dalam terminologi, yaitu sleep divorce dan pisah ranjang. Keduanya sekilas mempunyai arti yang sama, yakni fenomena pasangan suami istri yang tidak tidur bersama di atas ranjang yang sama. Namun, faktor yang melatarbelakangi kedua fenomena ini sangat berbeda.

 

Sleep divorce, secara harfiah diartikan dengan pisah tidur, sedangkan secara terminologi menurut halodoc.com merupakan istilah yang menggambarkan kondisi pasangan suami istri yang memutuskan untuk tidur di kamar atau ranjang yang berbeda.

 

Fenomena ini merupakan hal yang biasa ditemukan dalam budaya pernikahan masyarakat di wilayah kota-kota kecil atau di pedesaan. Terkadang seorang ayah tidur di depan televisi di ruang keluarga, sedangkan istri dan anaknya yang masih kecil tidur di dalam kamar.

 

Fenomena ini menjadi extraordinary ketika dilakukan oleh masyarakat perkotaan yang memiliki budaya tidur bersama dalam satu kamar di atas satu ranjang, sehingga ketika keduanya memutuskan tidur di kamar yang berbeda akan menimbulkan dugaan keretakan hubungan rumah tangga.

 

Pada dasarnya pelaku fenomena sleep divorce tidak dilandasi oleh faktor tidak harmonisnya rumah tangga melainkan lebih karena ingin meningkatkan kualitas tidur masing-masing, misalnya karena mempunyai waktu tidur berbeda atau karena menghindari suara dengkuran bagi yang pasangannya mempunyai kebiasaan tidur mendengkur.

 

Dalam kondisi demikian, bukan berarti mereka tidak pernah menghabiskan malam bersama di atas ranjang yang sama, mereka menjadwalkan dan mengomunikasikan kapan harus tidur bersama, terutama ketika akan melakukan kegiatan hubungan seksual.

 

Meskipun sleep divorce dikatakan dapat meningkatkan kualitas tidur masing-masing pasangan suami istri. Namun, sleep divorce juga mempunyai efek negatif bagi keharmonisan hubungan pernikahan, seperti tidak adanya pillow talk antar suami istri sebelum tidur, dan penurunan keintiman sentuhan fisik sebelum tidur.

 

Sleep divorce jika dikaji perspektif fiqih Islam memang bukan merupakan hal yang dilarang sebab pada dasarnya, suami dan istri tidak wajib tidur satu ranjang, hal ini sebagaimana ketentuan dalam menggilir para istri dalam praktik poligami yang diwajibkan hanya memberikan jatah harinya di tempat istri yang mendapat giliran meskipun tidak tidur satu ranjang. Abdul Wahid Ar-Rauyani dalam Bahrul Madzhab menjelaskan:

 

ููŽูƒูŽุฐูŽู„ููƒูŽ ู„ูŽุง ูŠูุฌู’ุจูŽุฑู ุนูŽู„ูŽู‰ ู…ูุถูŽุงุฌูŽุนูŽุชูู‡ูŽุง ูˆูŽู„ูŽุง ุนูŽู„ูŽู‰ ุชูŽู‚ู’ุจููŠู„ูู‡ูŽุง ูˆูŽู…ูุญูŽุงุฏูŽุซูŽุชูู‡ูŽุง ูˆูŽู„ูŽุง ุนูŽู„ูŽู‰ ุงู„ู†ู‘ูŽูˆู’ู…ู ู…ูŽุนูŽู‡ูŽุง ูููŠ ย ููุฑูŽุงุดู ูˆูŽุงุญูุฏูุŒ ู„ูุฃูŽู†ู‘ูŽ ู‡ูŽุฐูŽุง ูƒูู„ู‘ูŽู‡ู ู…ูู†ู’ ุฏูŽูˆูŽุงุนููŠ ุงู„ุดู‘ูŽู‡ู’ูˆูŽุฉู ูˆูŽุงู„ู’ู…ูŽุญูŽุจู‘ูŽุฉู ุงู„ู‘ูŽุชููŠ ู„ูŽุง ูŠูŽู‚ู’ุฏูุฑู ุนูŽู„ูŽู‰ ุชูŽูƒูŽู„ู‘ูููู‡ูŽุงุŒ ูˆูŽุฅูู†ู‘ูŽู…ูŽุง ูŠูŽุฎู’ุชูŽุตู‘ู ุฒูŽู…ูŽุงู†ู ุงู„ู’ู‚ูŽุณู’ู…ู ุจูุงู„ูุงุฌู’ุชูู…ูŽุงุนู ูˆูŽุงู„ู’ุฃูู„ู’ููŽุฉู

 

Artinya: โ€œBegitu juga suami tidak dipaksa untuk menemani istri-istrinya tidur, tidak juga menciumnya, bercengkrama denganya, dan tidak juga tidur bersama di ranjang yang sama, karena ini semua merupakan pemacu libido dan rasa cinta yang tidak bisa dibebankan (untuk dilakukan secara adil dan merata), akan tetapi yang harus dilakukan ketika menggilir istri-istrinya adalah hanya berkumpul bersama dengan harmonis.โ€ (Abdul Wahid Ar-Rauyani,ย Bahrul Madzhab [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 2009], vol. 9, hal. 544.)

 

Meskipun tidur satu ranjang bukan sebuah kewajiban bagi pasangan suami istri, para ulama menganjurkan kebiasaan ini untuk dilakukan, sebagaimana Sulaiman bin Umar al-Bujairami dalam Tuhfatul Habib ala Syarh al-Khathib menjelaskan:

 

ูˆูŽุงู„ู†ู‘ูŽูˆู’ู…ู ู…ูŽุนูŽ ุงู„ุฒู‘ูŽูˆู’ุฌูŽุฉู ูููŠ ย ููุฑูŽุงุดู ย ูˆูŽุงุญูุฏู ุฃูŽูู’ุถูŽู„ู ู…ูŽุง ู„ูŽู…ู’ ูŠูŽูƒูู†ู’ ู„ููˆูŽุงุญูุฏู ู…ูู†ู’ู‡ูู…ูŽุง ุนูุฐู’ุฑูŒ ูููŠ ุงู„ูุงู†ู’ููุฑูŽุงุฏู ูˆูŽู‡ูŽุฐูŽุง ุธูŽุงู‡ูุฑู ููุนู’ู„ูู‡ู ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุงู„ู‘ูŽุฐููŠ ูˆูŽุงุธูŽุจูŽ ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ู…ูŽุนูŽ ู…ููˆูŽุงุธูŽุจูŽุชูู‡ู ุนูŽู„ูŽู‰ ู‚ููŠูŽุงู…ู ุงู„ู„ู‘ูŽูŠู’ู„ู ููŽุฅูุฐูŽุง ุฃูŽุฑูŽุงุฏูŽ ุงู„ู’ู‚ููŠูŽุงู…ูŽ ู„ููˆูŽุธููŠููŽุชูู‡ูุŒ ู‚ูŽุงู…ูŽ ูˆูŽุชูŽุฑูŽูƒูŽู‡ูŽุง ููŽูŠูŽุฌู’ู…ูŽุนู ุจูŽูŠู’ู†ูŽ ูˆูŽุธููŠููŽุชูู‡ู ูˆูŽู‚ูŽุถูŽุงุกู ุญูŽู‚ู‘ูู‡ูŽุง ุงู„ู’ู…ูŽู†ู’ุฏููˆุจู ูˆูŽุนูุดู’ุฑูŽุชูู‡ูŽุง ุจูุงู„ู’ู…ูŽุนู’ุฑููˆูู ู„ูŽุง ุณููŠู‘ูŽู…ูŽุง ุฅู†ู’ ุนูุฑูููŽ ู…ูู†ู’ ุญูŽุงู„ูู‡ูŽุง ุญูุฑู’ุตูู‡ูŽุง ุนูŽู„ูŽู‰ ุฐูŽู„ููƒูŽ ูˆูŽู„ูŽุง ูŠูŽู„ู’ุฒูŽู…ู ู…ูู†ู’ ุงู„ู†ู‘ูŽูˆู’ู…ู ู…ูŽุนูŽู‡ูŽุง ุงู„ู’ุฌูู…ูŽุงุนู

 

Artinya: โ€œTidur seranjang bersama istri lebih utama sekiranya tidak ada uzur yang mengharuskan tidur sendiri, ini adalah aktivitas yang selalu dilakukan Rasulullah bersama dengan aktivitas qiyamul lail, ketika beliau ingin beribadah, beliau bangun dan meninggalkan istrinya, maka beliau secara otomatis melakukan dua aktivitas yang sangat disunnahkan sekaligus menggauli istrinya dengan maโ€™ruf. Aktivitas ini sangat dianjurkan ketika dia mengetahui istrinya menginginkannya meskipun tidak harus melakukan hubungan badan bersamanya.โ€ (Sulaiman bin Umar al-Bujairami,ย Tuhfatul Habib ala Syarh al-Khathib, [Beirut: Darul Fikr, 1995], vol. 4, hal. 100)

 

Fenomena Pisah Ranjang

Sementara itu, pisah ranjang tidak hanya sekadar tidak tidur dalam satu kamar dan di atas ranjang yang sama, pisah ranjang justru lebih sering diartikan sebagai kondisi suami istri yang tidak tinggal bersama dalam satu atap dikarenakan konflik dan keretakan hubungan rumah tangga.

 

Meskipun tidak serta-merta merusak bahtera pernikahan yang telah dibina, sebab pisah ranjang secara hukum positif dan fiqih Islam masih belum sampai kepada level talak/perceraian, pisah ranjang dianggap sebagai permulaan dari perceraian jika pasangan suami istri tidak bisa berdamai, berintrospeksi, dan kembali membina hubungan yang lebih baik.

 

Terkait pisah ranjang, dalam literatur keislaman tercatat dalam bab Nusyuz dengan istilah Hajr, yakni sebuah hukuman permulaan yang dilakukan suami kepada istrinya karena tidak melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri untuk melayani hasrat seksual suaminya.

 

Al-Qurโ€™an mencatat fenomena pisah ranjang sebagai hukuman permulaan dalam kasus nusyuz tersebut dalam surat An-Nisa ayat 34 berikut:

 

ูˆูŽุงู„ู‘ูฐุชููŠู’ ุชูŽุฎูŽุงูููˆู’ู†ูŽ ู†ูุดููˆู’ุฒูŽู‡ูู†ู‘ูŽ ููŽุนูุธููˆู’ู‡ูู†ู‘ูŽ ูˆูŽุงู‡ู’ุฌูุฑููˆู’ู‡ูู†ู‘ูŽ ููู‰ ุงู„ู’ู…ูŽุถูŽุงุฌูุนู ูˆูŽุงุถู’ุฑูุจููˆู’ู‡ูู†ู‘ูŽ

 

Artinya: โ€œPerempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan).โ€

 

Imam Mawardi mencatat dalam Al-Hawi al-Kabir Syarh Mukhtasar al-Muzani menjelaskan terminologi Hajr dalam ayat di atas sebagai berikut:

 

ููŽุฃูŽู…ู‘ูŽุง ุงู„ู’ู‡ูŽุฌู’ุฑู ูููŠ ุงู„ู’ููุนู’ู„ู ููŽู‡ููˆูŽ ุงู„ู’ู…ูุฑูŽุงุฏู ุจูุงู„ู’ุขูŠูŽุฉูุŒ ูˆูŽู‡ููˆูŽ ุงู„ู’ุฅูุนู’ุฑูŽุงุถู ุนูŽู†ู’ู‡ูŽุงุŒ ูˆูŽุฃูŽู†ู’ ู„ูŽุง ูŠูุถูŽุงุฌูุนูŽู‡ูŽุง ูููŠ ย ููุฑูŽุงุดู ุฃูŽูˆู’ ูŠููˆูŽู„ู‘ููŠูŽู‡ูŽุง ุธูŽู‡ู’ุฑูŽู‡ู ูููŠู‡ู ุฃูŽูˆู’ ูŠูŽุนู’ุชูŽุฒูู„ูŽู‡ูŽุง ูููŠ ุจูŽูŠู’ุชู ุบูŽูŠู’ุฑูู‡ู

 

Artinya: โ€œMendiamkan istri dengan tindakan yang dimaksud dalam ayat (An-Nisa ayat 34) adalah dengan tidak menemaninya tidur, atau membelakanginya ketika tidur, atau menempatkan istri di rumah yang terpisah dari rumahnya.โ€ (Imam Mawardi, Al-Hawi al-Kabir Syarh Mukhtasar al-Muzani, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1999], vol. 9, hal. 597)

 

Walhasil, antara sleep divorce dengan pisah ranjang memang mempunyai sisi kesamaan dalam segi nama dan praktik, yakni tidak tidur bersama dan pisah tempat tidur. Namun, keduanya berbeda dalam segi faktor dan motif, sleep divorce lebih kepada treatment untuk meningkatkan kualitas tidur tanpa didasari konflik, sedangkan pisah ranjang disebabkan karena konflik yang mengancam terjadinya keretakan dalam rumah tangga.

 

Keduanya juga mempunyai kajian dalam perspektif keislaman. Sleep divorce dicatat dalam literatur terkait tidak adanya kewajiban suami untuk tidur bersama istrinya. Sedangkan pisah ranjang dicatat sebagai bentuk hukuman permulaan oleh suami kepada istrinya atas dasar ketidaktaatannya untuk melakukan hubungan suami istri. Wallahu aโ€™lam.

 

Ustadz Muh Fiqih Shofiyul Am, Tim LBM MWCNU Tanggulangin ย dan Tim Aswaja Center PCNU Sidoarjo.