Ilmu Hadits

Asap sebagai Tanda Kiamat dalam Hadits: Apakah Maksudnya Nuklir?

Sabtu, 28 Juni 2025 | 11:00 WIB

Asap sebagai Tanda Kiamat dalam Hadits: Apakah Maksudnya Nuklir?

Ilustrasi bom nuklir. (Foto: NU Online/Freepik)

Dalam Islam, kita wajib memercayai bahwa suatu hari dunia ini akan berakhir. Hari tersebut memiliki banyak nama, salah satunya kiamat (qiyamah). Tanda-tanda kiamat sendiri menjadi salah satu topik yang menarik perhatian karena mengandung makna eskatologis yang mendalam.

 

Konflik antara Iran dan Israel telah memicu keresahan di kalangan masyarakat global. Kekhawatiran akan eskalasi menuju Perang Dunia Ketiga semakin mengemuka, terutama karena kedua negara ini memiliki teknologi rudal canggih yang dapat digunakan sebagai senjata pemusnah massal.

 

Menariknya, sebagian netizen Muslim mengaitkan rudal-rudal tersebut dengan dukhan, yaitu asap yang disebutkan dalam hadits sebagai salah satu tanda besar kiamat. Namun, dukhan tidak hanya dikaitkan dengan rudal atau ledakan nuklir. Penafsiran tentang dukhan sendiri sangat beragam, mulai dari bencana alam, fenomena kelaparan, hingga spekulasi modern tentang dampak ledakan nuklir yang dapat menghasilkan asap tebal dan mengguncang dunia.

 

Artikel ini akan mengeksplorasi makna dukhan dalam hadits, penafsiran ulama, dan kemungkinan kaitannya dengan fenomena nuklir, dengan merujuk pada teks hadits dan penjelasan dari berbagai sumber.

 

Dukhan dalam Hadits: Tanda Besar Kiamat

Hadits-hadits otentik menyebutkan dukhan sebagai salah satu tanda besar kiamat (asyaratus-sa‘ah). Dalam Musnad Ahmad dan Shahih Muslim, diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ سِتًّا طُلُوعَ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَالدَّجَّالَ وَالدُّخَانَ وَدَابَّةَ الْأَرْضِ وَخُوَيْصةَ أَحَدِكُمْ وَأَمْرَ الْعَامَّةِ وَكَانَ قَتَادَةُ يَقُولُ إِذَا قَالَ وَأَمْرَ الْعَامَّةِ قَالَ أَيْ أَمْرُ السَّاعَةِ

 

Artinya, “Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda, ‘Bersegeralah kalian melakukan amal-amal (saleh) sebelum datang enam hal: terbitnya matahari dari barat, Dajjal, asap (dukhan), binatang melata dari bumi (dabbatul-ardh), perkara khusus salah seorang dari kalian (yaitu kematian), dan urusan umum’.  Qatadah berkata, ketika beliau menyebut ‘urusan umum,’ beliau menafsirkannya sebagai: ‘yaitu perkara kiamat’.” (HR Ahmad dan Muslim).

 

Dalam Sunan at-Tirmidzi, Hudzaifah bin Asid al-Ghifari meriwayatkan:

 

أَشْرَفَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غُرْفَةٍ وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ السَّاعَةَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَرَوْا عَشْرَ آيَاتٍ : طُلُوعَ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا ، وَيَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ ، وَالدَّابَّةَ ، وَثَلاَثَةَ خُسُوفٍ : خَسْفٌ بِالمَشْرِقِ ، وَخَسْفٌ بِالمَغْرِبِ ، وَخَسْفٌ بِجَزِيرَةِ العَرَبِ ، وَنَارٌ تَخْرُجُ مِنْ قَعْرِ عَدَنَ تَسُوقُ النَّاسَ أَوْ تَحْشُرُ النَّاسَ ، فَتَبِيتُ مَعَهُمْ حَيْثُ بَاتُوا ، وَتَقِيلُ مَعَهُمْ حَيْثُ قَالُوا

 

Artinya, “Rasulullah SAW pernah muncul di hadapan kami dari sebuah kamar atas (tempat yang tinggi), sementara kami sedang memperbincangkan tentang Hari Kiamat. Beliau bersabda, ‘Kiamat tidak akan terjadi hingga kalian menyaksikan sepuluh tanda besar: terbitnya matahari dari arah barat, kemunculan Ya’juj dan Ma’juj, binatang melata (dabbah), tiga peristiwa gerhana bumi, gerhana di timur, gerhana di barat, dan gerhana di Jazirah Arab, serta munculnya api dari dasar kota Aden yang menggiring manusia atau mengumpulkan mereka. Api itu akan bermalam bersama mereka di mana pun mereka bermalam, dan akan berhenti (istirahat) bersama mereka di mana pun mereka berhenti istirahat (qailulah)’.” (HR At-Tirmidzi).

 

Dari hadits-hadits di atas, dukhan disebutkan bersama tanda-tanda besar lainnya, seperti Dajjal, Ya’juj dan Ma’juj, serta terbitnya matahari dari barat. Teks-teks tersebut menunjukkan bahwa dukhan adalah fenomena luar biasa yang akan terjadi menjelang kiamat.

 

Kendati menjadi tanda besar terjadinya kiamat, asap atau dukhan ini memiliki penafsiran yang beragam dan spekulatif, tergantung imajinasi orang-orang yang hidup di masa tersebut. Terkait maknanya yang metaforik, bisa kita lihat dalam suatu peristiwa dalam sebuah hadits, yang menyebut dukhan atau asap sebagai dampak kelaparan di masa Quraisy.

 

Masruq, seorang tabi’in senior pernah berkisah: “Kami menemui Abdullah bin Mas‘ud, ia berkata: ‘Wahai hadirin, siapa saja yang mengetahui sesuatu, hendaklah ia mengatakannya, dan siapa saja yang tidak mengetahui, hendaklah ia berkata: Allahu a‘lam...  Aku akan menceritakan kepada kalian tentang asap (dukhan). Sesungguhnya Rasulullah SAW mengajak kaum Quraisy kepada Islam, tetapi mereka lambat menerima, maka Nabi berdoa: ‘Ya Allah, tolonglah aku atas mereka dengan tujuh tahun (kelaparan) seperti tujuh tahun (kelaparan) Yusuf.’ Maka seketika kaum Quraiys ditimpa kelaparan hingga menghabiskan segala sesuatu, bahkan memakan bangkai dan kulit, sehingga seseorang melihat antara dirinya dan langit seperti ‘asap’ karena kelaparan.” (HR Al-Bukhari, Dar Tauq an-Najat, edisi pertama, 1422 H, jilid VI, hlm. 124).

 

Menurut Ibnu Mas‘ud, dukhan dalam hadits tersebut merujuk pada kabut atau ilusi optik yang dilihat suku Quraisy akibat kelaparan ekstrem, yang melemahkan penglihatan mereka sehingga langit tampak berasap. Pandangan ini didukung oleh beberapa sahabat seperti Ibnu Abbas, Mujahid, dan al-Farra, serta dijelaskan dalam Tafsir al-Jalalayn, sebagaimana dikutip dalam al-Kawkab ad-Durri ‘ala Jami‘ at-Tirmidzi karya Rasyid Ahmad al-Kankuhi, (India, Mathba’ah Nadwah al-‘Ulama, 1395 H, jilid IV, hal. 263).

 

Dengan kata lain, sejak dahulu kata dukhan memang sering digunakan dalam konteks ungkapan metaforik. Penafsiran di atas, menurut Uri Rubin, menampilkan korelasi kata dukhan dengan blokade ekonomi yang diberlakukan terhadap suku Quraisy, yang menyebabkan kelaparan sebagai bentuk azab ilahi dalam pandangan Islam, (A Day When Heaven Shall Bring a Manifest Smoke, Koninklijke Brill NV, 2011, hal. 258).

 

Menurut salah satu pendapat Ibn ‘Abbas, dukhan atau asap dalam teks-teks eskatologis dapat dibagi menjadi dua peristiwa berdasarkan waktu kejadiannya. Pertama, dukhan sebagai dampak kelaparan yang menimpa suku Quraisy pada masa Nabi Muhammad SAW. Kedua, dukhan sebagai salah satu tanda besar kiamat yang menandakan kehancuran dunia (Rasyid Ahmad al-Kankuhi, al-Kawkab ad-Durri ‘ala Jami‘ at-Tirmidzi, jilid IV, hal. 263).

 

Terkait dukhan atau asap yang akan menjadi tanda akhir dunia, Imam An-Nawawi berkomentar, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Ruslan, “Dukhan adalah asap yang akan memengaruhi pernapasan orang-orang kafir, sedangkan bagi orang beriman, asap tersebut hanya seperti pilek, dan dukhan ini belum terjadi, melainkan akan terjadi menjelang kiamat.” (Lihat Syarh Sunan Abi Dawud, [Mesir, Darul Falah, 2016], jilid XVII, hlm. 139).

 

Dalam penjelasan lain yang terkait, dukhan digambarkan sebagai asap yang akan memenuhi ruang antara timur dan barat selama empat puluh hari dan malam, yang menyebabkan efek berbeda pada mukmin dan kafir (Abdul Haq ad-Dihlawi, Lam‘atut Tanqih fi Syarh Misykat al-Masabih, [T.tp, Dar an-Nawadir, 1435 H], jilid VIII, hal. 680).

 

Lantas, apakah dukhan dapat diartikan sebagai dampak ledakan nuklir? Spekulasi ini muncul karena ledakan nuklir menghasilkan asap tebal, debu radioaktif, dan awan berbentuk jamur yang dapat menyerupai “asap yang nyata” sebagaimana tergambar dalam ayat maupun hadits eskatologis. Efek radiasi nuklir juga dapat menyebabkan gangguan pernapasan, yang mirip dengan deskripsi dukhan yang memengaruhi napas orang-orang.

 

Tentu saja penafsiran semacam ini tidak memiliki referensi klasik yang secara eksplisit menghubungkan dukhan dengan fenomena nuklir, karena teknologi ini tidak dikenal pada masa tersebut. Spekulasi rudal hingga nuklir sebagai dukhan lebih merupakan interpretasi modern yang mencoba mencocokkan gambaran hadits dengan teknologi kontemporer, namun tetap bersifat hipotetis.

 

Perlu diketahui, hadits-hadits eskatologis yang berkaitan dengan tanda-tanda kiamat sebagai kehancuran dunia tidak lepas dari konteks politik pada masa awal Islam. Periode Fitnah Kubra (656–661 M) setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW ditandai dengan konflik antara Ali, Mu‘awiyah, dan kelompok Khawarij, yang memunculkan narasi apokaliptik. Hadits-hadits tentang tanda kiamat sering digunakan untuk mendukung legitimasi politik pihak-pihak yang bertikai, seperti Umayyah, Syiah, dan Abbasiyah (Apocalypse in Islam, Jean-Pierre Filiu, University of California Press, 2011, hal. 13).

 

Menurut Uri Rubin, interpretasi dukhan membuka berbagai kemungkinan penafsiran, termasuk dukhan sebagai kabut penglihatan akibat kelaparan, debu dari pasukan Nabi saat penaklukan Makkah, atau tanda kiamat di akhir zaman. Pendekatan ini mencerminkan fleksibilitas interpretasi Al-Qur’an dalam merangkul berbagai konteks, baik historis maupun eskatologis, untuk menjaga relevansinya di setiap zaman (A Day When Heaven Shall Bring a Manifest Smoke, hlm. 258).

 

Secara keseluruhan, dukhan sebagai tanda kiamat dalam hadits mencerminkan keragaman penafsiran yang kaya, mulai dari peristiwa kelaparan historis di masa Quraisy, tanda apokaliptik di akhir zaman, hingga spekulasi modern tentang ledakan nuklir.

 

Meskipun interpretasi nuklir menarik perhatian di era teknologi saat ini, tidak ada sumber klasik yang mendukungnya secara langsung, yang menjadikannya spekulasi yang bersifat hipotetis. Namun pesan inti dari hadits tetap mengajak umat Islam untuk mempersiapkan diri dengan amal saleh, dibanding terlalu resah dengan kiamat yang sudah pasti terjadi pada waktu yang telah ditentukan. Wallahu a’lam.

 

Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta.