Ajukan Cerai karena Suami Bekerja di Sektor Informal dan Berpenghasilan Tidak Tetap, Bolehkah?
Senin, 28 Juli 2025 | 11:30 WIB
Belakangan, media sosial diramaikan oleh kasus perceraian yang diajukan sejumlah guru perempuan berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Blitar. Berdasarkan laporan detik.com, sekitar 70% penggugat adalah guru perempuan yang menyatakan adanya ketimpangan ekonomi dengan suami. Dalam banyak kasus, suami tidak memiliki penghasilan tetap atau bekerja di sektor informal.
Situasi ini diperparah oleh status baru istri sebagai pegawai pemerintah, yang sering kali menonjolkan disparitas ekonomi dengan pasangan. Pertanyaannya, apakah ketimpangan ekonomi dapat menjadi dasar kuat bagi seorang istri untuk mengajukan perceraian? Bagaimana pandangan agama dan hukum positif di Indonesia menilai keabsahan alasan tersebut?
Pemenuhan Nafkah dalam Tinjauan Islam dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Nafkah merupakan elemen krusial dalam kehidupan rumah tangga. Ketidakstabilan ekonomi semestinya tidak serta-merta menjadi alasan untuk bercerai, namun realitas menunjukkan bahwa kondisi finansial sangat memengaruhi keharmonisan keluarga. Dalam Islam, kewajiban memberikan nafkah dibebankan kepada suami sebagai bentuk tanggung jawab utama dalam mengelola rumah tangga. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Ath-Thalaq ayat 7:
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًاࣖ ٧
Artinya, “Hendaklah orang yang lapang (rezekinya) memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari apa (harta) yang dianugerahkan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadanya. Allah kelak akan menganugerahkan kelapangan setelah kesempitan.”
Dalam ayat tersebut, Allah mengisyaratkan bahwa kewajiban nafkah harus disesuaikan dengan kemampuan, tanpa memberatkan pihak suami. Dalam konteks ini, suami yang memiliki penghasilan lebih rendah dari istrinya seharusnya tidak serta-merta dijadikan alasan utama untuk mengajukan perceraian, selama ia tetap menunaikan tanggung jawab nafkahnya sesuai kemampuannya. Meskipun belum ideal menurut standar tertentu, pemenuhan kebutuhan pokok oleh suami tetap bernilai sebagai bentuk tanggung jawab.
Kewajiban memberikan nafkah juga ditegaskan dalam Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan bahwa suami, sesuai dengan penghasilannya, wajib menanggung:
- Nafkah, pakaian (kiswah), dan tempat tinggal bagi istri;
- Biaya rumah tangga, perawatan, dan pengobatan bagi istri dan anak;
- Biaya pendidikan anak.
Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebut bahwa suami wajib menafkahi keluarga dan istri bisa menggugat cerai jika tidak diberi nafkah selama 3 bulan berturut-turut tanpa alasan sah. Ditambah dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 116 bahwa bukti tidak bekerja tetap atau penghasilan tidak cukup dapat memperkuat alasan gugatan.
Dalam dirkursus fiqih, ulama Imam Asy-Syarbini juga menjelaskan secara rinci Batasan nafkah yang dapat dikatakan layak sesuai syariat:
قاَلَ النَّوَوِيِّ يَلْزَمُ الزَّوْجَ الْكَسْبُ لِلإِنْفَاقِ عَلَى الزَّوْجَةِ، وَهُوَ كَذَلِكَ كَمَا يَلْزَمُهُ لِنَفَقَةِ نَفْسِهِ وَأَنَّهُ لَوْ قَدَرَ عَلَى تَكَسُّبِ نَفَقَةِ الْمُوسِرِ لَزِمَهُ تَعَاطِيهِ، وَمَحَلُّهُ مَا إذَا كَانَ قَادِرًا عَلَى كَسْبٍ حَلالٍ. أَمَّا إذَا كَانَ الْكَسْبُ بِأَعْيَانٍ مُحَرَّمَةٍ كَبَيْعِ الْخَمْرِ أَوْ كَانَ الْفِعْلُ الْمُوَصِّلُ لِلْكَسْبِ مُحَرَّمًا كَكَسْبِ الْمُنَجِّمِ وَالْكَاهِنِ فَهُوَ كَالْعَدَمِ، (وَإِنْ خَالَفَ الْمَاوَرْدِيُّ وَالرُّويَانِيُّ فِي الْقِسْمِ الثَّانِي) وَإِنَّمَا يُفْسَخُ (لِلزَّوْجَةِ النِّكَاحُ) بِعَجْزِهِ (أَيْ الزَّوْج) عَنْ نَفَقَةِ مُعْسِرٍ حَاضِرَةٍ; لأَنَّ الضَّرَرَ يَتَحَقَّقُ بِذَلِكَ، فَلَوْ عَجَزَ عَنْ نَفَقَةِ مُوسِرٍ أَوْ مُتَوَسِّطٍ لَمْ يَنْفَسِخْ; لأَنَّ نَفَقَتَهُ الآنَ نَفَقَةُ مُعْسِرٍ فَلا يَصِيرُ الزَّائِدُ دَيْنًا عَلَيْهِ، بِخِلافِ الْمُوسِرِ أَوْ الْمُتَوَسِّطِ إذَا أَنْفَقَ مُدًّا فَإِنَّهَا لا تُفْسَخُ وَيَصِيرُ الْبَاقَّيْ دَيْنًا عَلَيْهِ
Artinya, “Imam an-Nawawi berkata: Wajib atas suami untuk bekerja (mencari nafkah) guna menafkahi istrinya, dan memang demikian hukumnya, sebagaimana ia juga wajib bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Dan apabila suami mampu bekerja untuk memperoleh nafkah standar orang kaya, maka wajib baginya untuk melakukannya. Namun, hal ini berlaku jika ia mampu bekerja dalam pekerjaan yang halal. Adapun jika cara memperoleh penghasilan tersebut melibatkan sesuatu yang haram secara zat, seperti menjual khamr (minuman keras), atau perbuatan yang mengantarkan kepada penghasilan itu haram, seperti penghasilan seorang peramal atau dukun, maka penghasilan seperti itu dianggap tidak ada nilainya (seperti tidak mampu bekerja). (Meskipun al-Mawardi dan ar-Ruyani berbeda pendapat dalam bagian yang kedua ini.) Adapun mengenai pembatalan akad nikah (fasakh) diperbolehkan jika suami tidak mampu memberikan nafkah minimal seorang yang tidak mampu (mu'sir) dan ia tinggal bersamanya (hadir), karena dalam kondisi itu kerugian (dharar) benar-benar nyata bagi istri. Namun jika suami tidak mampu memberikan nafkah standar orang kaya atau menengah, maka tidak dapat dibatalkan. Berbeda halnya jika yang memberi nafkah adalah seorang suami kaya atau menengah namun hanya memberikan sedikit (seperti satu mudd saja), maka akad nikah tidak dibatalkan, namun kekurangan dari nafkah tersebut tetap menjadi utang atasnya.” (Al-Khathib Asy-Syirbini, Mughnil Muhtaj, [Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyyah, t.t.], jilid V, halaman 178).
Berdasarkan penjelasan para di atas, dapat disimpulkan bahwa selama suami masih giat berusaha memenuhi kebutuhan keluarga melalui pekerjaan yang halal, meskipun di sektor informal, maka ia tetap dinilai menjalankan kewajiban nafkahnya. Islam tidak mensyaratkan nafkah harus berasal dari pekerjaan formal atau penghasilan tinggi, melainkan dari usaha yang sungguh-sungguh dan layak sesuai kemampuan.
Karena itu, istri yang mendapati suaminya tetap berjuang secara konsisten dalam menafkahi keluarga hendaknya mempertahankan ikatan pernikahan dan tidak menjadikan keterbatasan materi sebagai alasan utama untuk bercerai, kecuali ada faktor lain yang menjadikan percerai satu-satunya solusi dan jalan keluar dari problem rumah tangga.
Walhasil, merangkum berbagai penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa seorang istri hendaknya melakukan sejumlah pertimbangan matang sebelum mengajukan gugatan cerai semata-mata karena ketidakpastian pendapatan suami. Di antara pertimbangan penting tersebut adalah:
- Menilai kelayakan nafkah yang diberikan suami, bukan berdasarkan gaya hidup, tetapi pada terpenuhi atau tidaknya kebutuhan pokok sesuai dengan standar hidup yang wajar: apakah dalam kategori mampu, menengah, atau sederhana.
- Memperhatikan ada tidaknya mudarat atau kerugian yang bersifat berkelanjutan bagi keluarga akibat ketidakstabilan ekonomi tersebut.
- Menekankan pada esensi tanggung jawab: mampu atau tidaknya suami menunaikan kewajiban nafkah, bukan sekadar stabil atau tidaknya pendapatan, ataupun apakah ia bekerja di sektor formal atau informal.
- Jika para istri yang baru diangkat menjadi pegawai tetap berniat mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, maka langkah tersebut harus melalui proses hukum, termasuk pengujian terhadap klaim gugatan dan mekanisme mediasi untuk mencari jalan damai.
Selain itu, status sebagai aparatur negara juga menuntut kepatuhan pada prosedur formal, termasuk mendapatkan izin dari atasan sesuai ketentuan yang berlaku. Di sisi lain, para istri juga perlu merefleksikan kembali aspek emosional dan sosial dari perjalanan karier mereka; bahwa pencapaian sebagai pegawai tetap tidak terlepas dari dukungan lingkungan dan keluarga, termasuk pasangan.
Dalam posisi ganda sebagai pendidik di sekolah dan ibu rumah tangga, penting bagi seorang istri untuk menimbang kembali secara bijak sebelum mengambil keputusan besar seperti perceraian. Wallahu a'lam bishshawab.
Ustadzah Sayyida Naila Nabila, Pegiat Kajian Keislaman.