Jenis-Jenis Talak dalam Islam: Penjelasan Lengkap Hukum dan Konsekuensinya
Senin, 23 Juni 2025 | 17:00 WIB
Pernikahan dalam Islam merupakan sebuah ikatan suci yang dibangun atas dasar kasih sayang, tanggung jawab, dan komitmen untuk saling menjaga. Namun, Islam sebagai agama yang realistis juga mengakui bahwa tidak semua pernikahan dapat berjalan selamanya dalam keharmonisan.
Ketika berbagai upaya penyelesaian masalah rumah tangga sudah ditempuh akan tetapi konflik tak kunjung usai, maka Islam memberikan jalan keluar berupa perceraian, yang dalam istilah fiqih dikenal dengan talak.
Meskipun perceraian adalah hal yang dibolehkan dalam syariat, namun ia termasuk perkara yang paling dibenci oleh Allah dari hal-hal yang halal. Rasulullah saw dalam riwayat Imam Ibnu Majah, bersumber dari Abdullah bin Umar, menjelaskan:
عَنْ عَبْدِ اللّٰهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللّٰهِ الطَّلَاقُ
Baca Juga
3 Hikmah Talak dalam Perspektif Tasawuf
Artinya: "Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak.”
Selanjutnya, dalam fiqih Islam, talak tidak dipandang sebagai satu bentuk tunggal, melainkan terbagi ke dalam beberapa jenis, tergantung pada bentuk pengucapannya serta akibat hukumnya.
Pemahaman terhadap jenis-jenis talak ini penting, tidak hanya bagi pasangan suami-istri, tetapi juga bagi para praktisi hukum Islam, pembimbing keluarga, dan masyarakat secara umum, agar tidak terjadi kekeliruan dalam mengambil sikap atau keputusan.
Lantas, apa sajakah jenis-jenis talak dalam perspektif fiqih Islam? Simak tulisan ini sampai selesai.
Pengertian Talak dalam Islam
Sebelum masuk ke inti pembahasan, sangat penting untuk memahami apa pengertian talak. Hal ini berguna untuk memastikan fokus topik yang tengah dibicarakan.
Dalam fiqih Islam, talak berasal dari bahasa Arab at-thalaq yang bermakna berpisah atau bercerai. Sedangkan secara istilah, Syekh Zakaria Al-Anshari mendefinisikan talak sebagai berikut:
وَشَرْعًا حَلُّ عَقْدِ النِّكَاحِ بِوَجْهٍ مَخْصُوصٍ
Artinya: “(Adapun secara istilah syariat) talak adalah melepaskan ikatan pernikahan dengan ketentuan khusus.” (Asnal Mathalib, [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah: 2012], jilid VII, halaman 103).
Jenis-Jenis Talak dalam Islam
Secara garis besar, para ulama fiqih membagi lafal talak menjadi dua kategori, yakni lafal sharih (jelas) dan lafal kinayah (sindiran atau tidak langsung).
Lafal sharih adalah ucapan talak yang disampaikan dengan kata-kata yang secara eksplisit menunjukkan maksud untuk menceraikan, seperti ucapan “Aku ceraikan engkau” atau “Engkau tertalak.” Ucapan seperti ini tidak membutuhkan niat, karena maknanya sudah jelas dan tidak menimbulkan keraguan.
Sebaliknya, lafal kinayah adalah ungkapan talak yang masih bersifat samar dan mengandung kemungkinan makna selain talak, seperti ucapan “Pulanglah ke rumah orang tuamu” atau “Aku tidak membutuhkanmu lagi.” Dalam kasus seperti ini, talak tidak dianggap sah kecuali disertai niat dari suami untuk benar-benar menceraikan.
Syekh Muhammad Qasim Al-Ghazi menjelaskan:
والطلاق ضربان: صريح، وكناية؛ فالصريح ما لا يحتمل غير الطلاق، والكناية ما تحتمل غيره
Artinya, “Talak terbagi menjadi dua: sharih dan kinayah. Lafaz sharih adalah ucapan yang tidak mengandung maksud selain talak. Sedangkan lafaz kinayah adalah ucapan yang mengandung maksud selain talak.” (Al-Qaulul Mukhtar fi Syarhi Ghayatil Ikhtishar, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: [2005], halaman 241)
Lebih rinci, dalam fiqih Islam talak tidak hanya dipahami sebagai satu tindakan perceraian semata, tetapi juga mencakup ragam bentuk yang memiliki konsekuensi hukum berbeda-beda.
Salah satu klasifikasi paling penting adalah talak ditinjau dari status kembalinya hubungan pernikahan setelah perceraian, yaitu apakah hubungan tersebut masih bisa dilanjutkan tanpa akad baru atau tidak.
Talak Raj‘i dan Talak Ba’in
Dalam hal ini, ulama fiqih membagi talak menjadi talak raj‘i (yang dapat dirujuk) dan talak ba’in (yang tidak dapat dirujuk).
Talak raj‘i adalah jenis talak yang memberikan hak kepada suami untuk merujuk kembali istrinya yang telah ditalak selama masih dalam masa iddah, tanpa perlu mengadakan akad nikah baru dan tanpa memerlukan persetujuan dari istri.
Hak rujuk hanya berlaku untuk talak pertama dan kedua, dan asalkan belum habis masa iddah. Namun, bila masa iddah telah selesai tanpa ada rujuk, maka talak tersebut berubah statusnya menjadi ba’in, dan suami tidak dapat kembali kepada istrinya kecuali dengan akad nikah baru.
Syekh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan:
أما الطلاق الرجعي: فهو الذي يملك الزوج بعده إعادة المطلقة إلى الزوجية من غير حاجة إلى عقد جديد ما دامت في العدة، ولو لم ترض...
Artinya: “Talak raj‘i adalah talak yang memungkinkan suami mengembalikan istrinya ke dalam ikatan pernikahan tanpa perlu akad baru selama masih dalam masa iddah, meskipun tanpa persetujuan istri...” (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Damaskus, Darul Fikr: 2002], jilid IX, halaman 6955).
Talak Ba’in: Sughra dan Kubra
Selanjutnya, talak ba’in adalah jenis talak yang menyebabkan hubungan pernikahan terputus secara langsung dan tegas, sehingga suami tidak memiliki hak untuk merujuk istrinya kembali selama masa iddah.
Berbeda dengan talak raj‘i yang masih memungkinkan rujuk tanpa akad baru, talak ba’in mensyaratkan akad nikah ulang bila keduanya ingin kembali bersatu, dan dalam beberapa kondisi tertentu bahkan tidak memungkinkan untuk menikah lagi kecuali melalui syarat yang sangat ketat.
Para ulama membagi talak ba’in ke dalam dua bentuk utama berdasarkan tingkat keterpisahannya, yaitu ba’in sughra dan ba’in kubra.
Talak ba’in sughra adalah talak yang menjadikan hubungan pernikahan terputus, namun tetap memberi peluang bagi mantan suami dan istri untuk menikah kembali selama disertai dengan akad baru dan mahar yang sah.
Talak jenis ini terjadi, misalnya, ketika suami menceraikan istrinya sebelum menyentuhnya (sebelum berhubungan badan), atau ketika istri meminta cerai dengan imbalan harta tertentu (khulu‘).
Dalam sebagian mazhab, termasuk Hanafi, talak yang diucapkan dengan lafal kinayah disertai niat juga tergolong dalam kategori ba’in sughra. Begitu pula jika talak dijatuhkan oleh keputusan hakim karena sebab-sebab yang dibenarkan, seperti ila’ atau alasan syar’i lainnya.
Sementara itu, talak ba’in kubra adalah bentuk talak yang lebih berat. Ia terjadi ketika suami telah menjatuhkan talak sebanyak tiga kali kepada istrinya, baik secara terpisah maupun sekaligus.
Dalam kondisi ini, Islam tidak memperkenankan suami menikahi kembali mantan istrinya, kecuali jika si istri telah menikah dengan laki-laki lain dalam pernikahan yang sah, telah berhubungan badan, lalu bercerai secara alami, dan menyelesaikan masa iddah dari pernikahan tersebut.
Syekh Wahbah menjelaskan:
وأما الطلاق البائن: فهونوعان: بائن بينونة صغرى، وبائن بينونة كبرى
Artinya: “Adapun talak ba’in terbagi menjadi dua: ba’in sughra dan ba’in kubra... Talak ba’in kubra adalah talak yang membuat suami tidak bisa menikahi kembali mantan istrinya kecuali setelah ia (istri) menikah dengan laki-laki lain dalam pernikahan sah...”. (Az-Zuhaili, IX/6955–6956).
Demikian penjelasan tentang jenis-jenis talak dalam perspektif fiqih Islam, yang menunjukkan bahwa hukum Islam tidak memperlakukan perceraian sebagai perkara yang ringan. Setiap jenis talak memiliki ketentuan dan konsekuensi hukum yang berbeda-beda.
Pembagian antara talak sharih dan kinayah, raj‘i dan ba’in, serta klasifikasi ba’in sughra dan kubra mencerminkan prinsip kehati-hatian dan keadilan dalam menjaga institusi pernikahan agar tidak menjadi alat pemuas emosi sesaat atau bentuk ketidakadilan terhadap pasangan.
Dengan memahami pembagian ini, diharapkan masyarakat Muslim dapat lebih bijak dalam menyikapi persoalan rumah tangga, terutama saat menghadapi konflik yang mengarah pada perceraian. Islam memberikan ruang bagi perbaikan dan rujuk dalam kondisi tertentu, namun juga menetapkan batas yang tegas agar lembaga pernikahan tidak disalahgunakan.
Karena itu, setiap keputusan dalam pernikahan, terutama terkait dengan talak, harus didasarkan pada ilmu, pertimbangan matang, dan semangat tanggung jawab moral serta spiritual yang tinggi. Wallahu a'lam.
Ustadz Muhaimin Yasin, Alumnus Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Pegiat Kajian Keislaman