Sunnatullah
Kolomnis
Gugat talak karena kurangnya nafkah merupakan salah satu isu serius yang dapat memicu proses perceraian dalam sebuah pernikahan. Di dalam konteks hukum Islam di Indonesia, nafkah adalah tanggung jawab suami untuk menyediakan kebutuhan hidup istri dan anak-anaknya, yang mencakup kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan biaya kesehatan. Apabila seorang suami gagal memenuhi tanggung jawab tersebut, istri memiliki hak untuk mengajukan gugatan talak.
Proses ini biasanya dimulai dengan istri mengajukan gugatan ke pengadilan agama. Di dalam gugatan tersebut, istri harus mengemukakan alasan konkret mengenai ketidakmampuan suami untuk memenuhi nafkah. Bukti-bukti seperti rekapan pengeluaran, penghasilan suami yang tidak memadai, atau bahkan kegagalan suami dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dapat disertakan.
Pengadilan agama kemudian akan memproses gugatan ini dengan mengadakan sidang untuk mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak. Pada tahap ini, suami diberikan kesempatan untuk menjelaskan alasan mengapa nafkah tidak dapat dipenuhi. Pengadilan akan mempertimbangkan segala bukti dan argumen yang diajukan, serta menilai apakah alasan tersebut cukup kuat untuk memenuhi syarat perceraian berdasarkan hukum.
Jika pengadilan menemukan bahwa suami benar-benar gagal memenuhi nafkah secara substansial dan tanpa alasan yang sah, maka pengadilan dapat memutuskan untuk mengabulkan gugatan talak. Keputusan ini akan mempengaruhi status hukum pernikahan dan hak-hak yang berkaitan dengan pembagian harta, hak asuh anak, dan kewajiban nafkah yang masih berlaku setelah perceraian.
Ketentuan Fiqih terkait Gugat Cerai
Dalam konteks fiqih Islam, gugatan cerai (talak) merupakan salah satu tindakan yang mendapatkan kajian sangat mendalam dan diatur secara spesifik serta memerlukan pemenuhan syarat-syarat tertentu. Gugat cerai diperbolehkan tetapi harus memenuhi beberapa ketentuan dan syarat agar prosesnya sah dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
Sayyid Abdurrahman bin Husain bin Umar al-Hadrami dalam kitabnya menjelaskan bahwa persoalan gugat talak merupakan hal yang penuh risiko, bahkan para ulama memilih untuk diam tentang hal ini. Namun jika hal itu benar-benar terjadi dan harus dilakukan, maka harus ada beberapa syarat yang dipenuhi, di antaranya adalah ketika suami tidak bisa memberikan nafkah kepada istrinya:
يَجُوزُ فَسْخُ الزَّوْجَةِ النِّكَاحَ مِنْ زَوْجِهَا حَضَرَ أَوْ غَابَ بِتِسْعَةِ شُرُوطٍ: إِعْسَارُهُ بِأَقَلِّ النَّفَقَةِ وَالْكِسْوَةِ وَالْمَسْكَنِ لَا الْأُدُمِ بِأَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ كَسْبٌ أَصْلًا أَوْ لَا يَفِي بِذَلِكَ أَوْ لَمْ يَجِدْ مَنْ يَسْتَعْمِلُهُ أَوْ بِهِ مَرَضٌ يَمْنَعُهُ عَنِ الْكَسْبِ ثَلَاثًا أَوْ لَهُ كَسْبٌ غَيْرُ لَائِقٍ أَبَى أَنْ يَتَكَلَّفَهُ أَوْ كَانَ حَرَامًا أَوْ حَضَرَ هُوَ وَغَابَ مَالُهُ مَرْحَلَتَيْنِ أَوْ كَانَ عَقَارًا أَوْ عَرَضًا أَوْ دَيْنًا مُؤَجَّلًا أَوْ عَلَى مُعْسِرٍ أَوْ مَغْصُوبًا وَتَعَذَّرَ تَحْصِيلُ النَّفَقَةِ مِنَ الْكُلِّ فِي ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Artinya, “Diperbolehkan bagi istri untuk merusak pernikahan dari suaminya, baik ia hadir maupun tidak, dengan sembilan syarat, yaitu: (1) suami tidak mampu memberikan nafkah, pakaian dan tempat minimum, bukan makanan tambahan; (2) suami sama sekali tidak memiliki pekerjaan atau penghasilan yang mencukupi untuk itu; (3) suami tidak dapat menemukan seseorang yang bisa mempekerjakannya; (4) suami menderita penyakit yang menghalanginya untuk bekerja selama tiga hari; (5) suami memiliki pekerjaan yang tidak layak yang ia enggan lakukan, atau pekerjaannya adalah sesuatu yang haram; (6) suami hadir, tetapi hartanya berada jauh dua marhalah (sekitar 89 km, menurut sebagian pendapat); (7) harta suami berupa properti, barang dagangan, atau utang yang belum jatuh tempo; (8) harta suami ada pada orang yang kesulitan atau sedang disita; dan (9) nafkah dari semua sumber tersebut tidak dapat diperoleh dalam waktu tiga hari." (Bughyatul Mustarsyidin fi Talkhishi Fatawa Ba’dil Aimmah minal Mutaakhirin, [Beirut: Darul Fikr, tt], jilid I, halaman 515).
Dalam konteks istri menggugat cerai karena nafkah yang kurang terpenuhi, mengacu pada syarat yang pertama, yaitu: “Suami tidak mampu memberikan nafkah, pakaian dan tempat minimum, bukan makanan tambahan”. Dengan demikian, maka jika suami tidak dapat memenuhi kewajiban ini, artinya tidak mampu memberikan makanan, pakaian, atau tempat tinggal paling sedikit, maka istri berhak untuk mengajukan gugatan cerai.
Lantas, seperti apakah ukuran paling sedikit dalam memberi nafkah dalam konteks ini, sehingga ketika suami tidak memenuhi, istri bisa mengajukan gugatan cerai?.
Standar Nafkah Minimum
Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairami, dalam kitabnya menjelaskan bahwa standar nafkah minimum ini adalah mencakup makanan, pakaian dan tempat. Masing-masing dari ketiganya ini memiliki standar minimum tersendiri. Standar minimum makanan, misalnya, yaitu kewajiban suami untuk memberikan makanan satu mud kepada istrinya:
أَقَلُّ النَّفَقَةِ الْوَاجِبِ وَهُوَ مُدٌّ فَخَرَجَ مَا لَوْ أَعْسَرَ الْمُتَوَسِّطُ، أَوْ الْمُوسِرُ، عَمَّا وَجَبَ عَلَيْهَا فَلَا فَسْخَ لَهَا. قَوْلُهُ: وَالْإِعْسَارُ بِالْكِسْوَةِ، أَيْ بِأَقَلِّ الْكِسْوَةِ وَيُرَادُ بِأَقَلِّ الْكِسْوَةِ مَا لَا بُدَّ مِنْهُ بِخِلَافِ نَحْوِ السَّرَاوِيلِ وَالْمُكَعَّبِ فَإِنَّهُ لَا فَسْخَ بِذَلِكَ. قَوْلُهُ: وَالْمَسْكَنِ، أَيْ أَقَلُّ الْمَسْكَنِ فَلَا تَفْسَخُ إذَا وَجَدَ الْمَسْكَنَ وَلَوْ غَيْرَ لَائِقٍ بِهَا
Artinya: “Nafkah minimum yang wajib itu adalah satu mud. Maka tidak termasuk apabila suami yang berpenghasilan sedang atau orang kaya mengalami kesulitan, dari nafkah yang wajib diberikan pada istrinya, maka tidak ada gugatan cerai. Maksud dari ketidakmampuan dalam hal pakaian, yaitu pakaian paling sedikit yang wajib wajib darinya, berbeda dengan pakaian seperti celana atau pakaian yang terbuat dari bahan tertentu, maka tidak ada gugatan cerai dengan hal itu. Maksud dari tempat tinggal, yaitu tempat tinggal paling sedikit. Maka istri tidak boleh gugat talak, jika sudah memiliki tempat tinggal sekalipun tidak layak baginya.” (Hasyiyatul Bujairami ‘alal Khatib, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, tt], jilid XI, halaman 418-419).
Secara umum, mud sebagaimana didefinisikan oleh Syekh Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili adalah satu takaran sebesar cakupan dua telapak tangan orang dewasa dan ini harus berupa makanan pokok di suatu negara, misalnya beras (jika di Indonesia). Dalam kitabnya ia mengatakan:
وَالْمُدُّ: حفْنَةُ مِلْءِ الْيَدَيْنِ الْمُتَوَسِّطَتَيْنِ
Artinya: “Satu mud adalah cakupan ukuran penuh dua telapak tangan pada umumnya.” (al-Fiqhul Islami wa Adilatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz II, halaman 910).
Mud merupakan satuan ukuran yang tidak mudah dikonversikan menjadi satuan berat. Beberapa ulama menganggap bahwa satu mud setara dengan berat sekitar 0,6 kilogram. Menurut pandangan ulama Syafi'iyah, satu mud beras, misalnya, setara dengan berat sekitar 675 gram atau 6,75 ons beras. Sedangkan jika dikonversikan ke uang rupiah, +- 15.000 rupiah.
Dengan demikian, jika mengacu pada beberapa penjelasan yang telah dipaparkan, istri melakukan gugatan cerai karena nafkah kurang terpenuhi tergantung pada konteks yang ada dan terjadi dalam hubungan keluarganya. Jika nafkah yang kurang terpenuhi tersebut berhubungan dengan tiga kewajiban nafkah yakni makanan, pakaian, dan tempat tinggal yang paling sedikit, maka ia boleh untuk mengajukan gugatan cerai.
Namun, jika kewajiban nafkah primer suami sudah terpenuhi semuanya, hanya saja istri tidak mendapatkan nafkah lebih, seperti makanan yang enak, pakaian yang nyaman dan tempat tinggal yang mewah, ia tidak boleh mengajukan gugatan talak, karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dalam syariat Islam.
Tidak Boleh Main Hakim Sendiri
Kendati seorang istri memiliki hak untuk mengajukan gugatan cerai dengan syarat-syarat dan ketentuan yang telah dijelaskan, ia tidak boleh main hakim sendiri. Proses tersebut harus dilakukan melalui prosedur yang sah dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum syariat. Ini bertujuan untuk memastikan keadilan dan perlindungan hak-hak semua pihak yang terlibat. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Abdurrahman al-Hadrami:
وَثُبُوْتُ ذَلِكَ عِنْدَ الْحَاكِمِ بِشَاهِدَيْنِ أَوْ بِعِلْمِهِ
Artinya: “Ketetapan itu (istri melakukan gugat cerai) dilakukan di hadapan hakim dengan dua saksi, atau dengan pengetahuan hakim sendiri.” (Jilid I, halaman 516).
Dengan demikian, meski seorang istri boleh mengajukan gugatan cerai ketika memenuhi syarat tertentu, seperti ketidakmampuan suami dalam menyediakan nafkah dasar. Namun, proses ini harus mengikuti prosedur hukum yang sah, tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Pasalnya, pengadilan tentu akan memastikan keadilan dan perlindungan hak-hak semua pihak, dengan keputusan berdasarkan syariat dan bukti yang ada. Wallahu a’lam bisshawab.
Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 3 Persiapan di Bulan Sya’ban, Menyambut Bulan Ramadhan
2
Khutbah Jumat: Mari Persiapkan Diri Menyambut Ramadhan
3
PBNU-BGN Bakal Teken MoU Soal MBG di Pesantren, Jangkau 5 Juta Santri
4
Khutbah Jumat: Perbanyak Shalawat di Bulan Sya'ban
5
Dibarengi Munas dan Konbes NU 2025, Puncak Harlah Ke-102 NU Digelar Malam Ini
6
PBNU dan BGN Sinergi Program MBG dan Pembuatan Dapur Sehat di Pesantren NU
Terkini
Lihat Semua