Nikah/Keluarga

Ketentuan Nafkah Anak Setelah Orang tua Bercerai

Jumat, 16 Agustus 2024 | 13:00 WIB

Ketentuan Nafkah Anak Setelah Orang tua Bercerai

Ilustrasi perceraian. Sumber: Canva/NU Online

Mengarungi mahligai pernikahan tidaklah semudah yang digambarkan dalam sinetron televisi. Pernikahan membutuhkan lebih dari sekadar cinta; dibutuhkan saling pengertian, pemahaman, dan kesadaran akan hak serta kewajiban masing-masing pasangan. Kehadiran buah hati yang diidam-idamkan sering kali menjadi harapan besar bagi pasangan suami istri dapat mempererat ikatan cinta dan kebersamaan mereka.


Namun, ketika komunikasi yang baik tidak terjalin dan rasa pengertian mulai memudar, perceraian bisa menjadi pilihan yang tak terelakkan. Dalam situasi seperti ini, anak sering kali menjadi korban perpisahan orang tuanya.

 

Anak yang tadinya menjadi simbol cinta dan harapan, kini harus menghadapi kenyataan pahit bahwa kedua orang tua mereka tak lagi bersama. Setiap anak berhak mendapatkan kebahagiaan, perlindungan, pengasuhan, dan kasih sayang dari orang tuanya. Semua itu tentu membutuhkan banyak biaya. Lantas, kepada siapa beban biaya atau nafkah anak harus dibebankan?


Dalam Islam terdapat istilah hadhanah yakni tindakan menjaga anak yang belum tamyiz dan belum bisa mandiri, serta mendidiknya dengan hal-hal yang baik dan melindunginya dari segala sesuatu yang dapat membahayakannya. Ini adalah semacam perwalian, hanya saja hal ini lebih cocok dilakukan oleh perempuan karena mereka lebih penyayang, lebih mahir dalam mendidik, lebih sabar dalam melaksanakannya, dan dapat konsisten dalam menjaga anak-anak. 


Hadhanah sendiri disebabkan perceraian. Dalam ketentuan fiqih, sang ibulah yang lebih berhak mengasuh anak tersebut hingga usia tujuh tahun. Setelah itu, anak tersebut diberi pilihan antara kedua orang tuanya, dan kepada siapa pun yang dipilihnya, anak tersebut diserahkan. (Lihat Taqiyuddin al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Damaskus: Darul Khair, 1994], halaman 446). 


Adapun biaya pemeliharaan atau hadhanah dibebankan kepada orang yang berkewajiban menafkahinya (ayah), jika anak tersebut tidak memiliki harta. Berikut penjelasan Syekh Ibrahim al-Baijuri dalam kitabnya, Hasyiyah al-Baijuri yang merupakan anotasi dari kitab Syarah Fathul Qarib:


قوله: (ومؤنة الحضانة على من عليه نفقة الطفل) أي أو المجنون كما تقدم في كلامه، ومحل ذلك ما لم يكن له مال، وإلا فهي في ماله


Artinya, "Perkataan Mushanif (dan biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh orang yang berkewajiban menafkahi anak tersebut), atau orang gila sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini berlaku selama anak tersebut tidak memiliki harta. Jika anak tersebut memiliki harta, maka biaya pemeliharaannya diambil dari hartanya." (Hasyiyah al-Baijuri, [Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah t.t] jilid II halaman 365).


Senada dengan penjelasan di atas Syekh Wahbah Az-Zuhaili menegaskan bahwa biaya hadhanah diambilkan dari harta anak tersebut. Jika tidak memiliki harta, maka biaya tersebut ditanggung oleh ayah atau orang yang wajib menafkahinya. Berikut keterangannya:


المكلف بنفقة الحضانة: يرى جمهور الفقهاء أن مؤنة (نفقة) الحضانة تكون في مال المحضون، فإن لم يكن له مال، فعلى الأب أو من تلزمه نفقته؛ لأنها من أسباب الكفاية والحفظ والإنجاء من المهالك. وإذا وجبت أجرة الحضانة فتكون ديناً لا يسقط بمضي المدة ولا بموت المكلف بها، أو موت المحضون، أو موت الحاضنة


Artinya, "Orang yang berkewajiban menanggung biaya pemeliharaan (hadhanah) menurut mayoritas ulama. Biaya pemeliharaan (nafkah) hadhanah diambil dari harta anak yang diasuh. Jika anak tersebut tidak memiliki harta, maka biaya ditanggung oleh ayahnya atau orang yang wajib menafkahinya, karena hal ini termasuk kebutuhan yang harus dipenuhi, seperti menjaga dan menyelamatkan dari mara bahaya. Jika biaya hadhanah harus dibayar, maka itu menjadi utang yang tidak gugur dengan berlalunya waktu, atau dengan kematian orang yang wajib menanggungnya, kematian anak yang diasuh, atau kematian pengasuh." (Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, [Damaskus: Darul Fikr, 1418 H], jilid X, halaman 7316).


Demikian tadi adalah urutan kewajiban nafkah anak setelah perceraian orang tua yakni biaya (nafkah) mengasuh anak atau hadhanah diambil dari harta anak yang diasuh. Jika anak tersebut tidak memiliki harta, maka biaya ditanggung oleh ayahnya atau orang yang wajib menafkahinya. 


Dalam hukum positif Indonesia juga mengatur tentang kewajiban biaya hadhanah dan nafkah anak setelah perceraian kedua orang tuanya sebagai berikut di antaranya: 


Pasal 156 huruf d Kompilasi Hukum Islam (KHI):

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).


Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:

 “Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut."


Mencermati aturan di atas, maka terlihat terdapat perbedaan, pada Pasal 156 huruf d KHI menegaskan seluruh biaya nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah. Sedangkan Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974  menyatakan walau biaya nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah, namun pengadilan dapat menentukan ibu dari anak menanggung biaya nafkah apabila seorang ayah tidak dapat memenuhi kewajiban nafkah tersebut.


Lalu, terkait besaran nafkah yang harus diberikan ayah setelah bercerai dalam kitab-kitab fikih klasik tidak ditemukan ketentuan yang baku terkait hal itu. Dalam KHI pun tidak ada aturan yang mengatur mengenai berapa jumlah nafkah yang wajib diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya ketika terjadi perceraian.


Oleh sebab itu, penentuan jumlah nafkah anak berdasarkan kebijakan hakim yang memutus perkara setelah melihat fakta-fakta persidangan dan faktor-faktor yang berkaitan dengannya seperti memperhitungkan penghasilannya, jumlah anak, kebutuhan hidup layak anak dan lain sebagainya. Wallahu a'lam.


Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo