Nikah/Keluarga

Jeulamee: Mahar Unik dalam Sejarah Aceh, Simbol Cinta atau Status Sosial?

Kamis, 10 April 2025 | 20:00 WIB

Jeulamee: Mahar Unik dalam Sejarah Aceh, Simbol Cinta atau Status Sosial?

Mahar unik dalam sejarah Aceh (freepik)

Bulan Syawal identik dengan bulan anjuran untuk menikah, banyak calon pengantin melangsungkan pernikahan di bulan ini. Dalam menikah ada pemberian yang wajib diberikan mempelai laki-laki yaitu mahar atau mas kawin. Praktik pemberian mahar dapat berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya di Nusantara.

Dalam masyarakat Aceh mahar disebut dengan jeulamee atau jeuname yang dalam dalam sejarahnya memiliki aturan tersendiri. Tulisan ini mengulas sekilas padang dari praktik pemberian mahar dalam Sejarah masyarakat Aceh. 
 

Mahar pada masa Kesultanan Aceh diatur dengan tegas berdasarkan hukum Islam, yang menjadi dasar hukum pernikahan. Mahar wajib dalam pernikahan berdasarkan hukum Islam, yaitu sesuatu yang wajib diberikan oleh pihak pria kepada pihak wanita. Menurut  Syekh Taqiyuddin Al-Hishni, mahar adalah sebutan bagi harta yang wajib atas orang laki-laki bagi orang perempuan sebab nikah atau  bersetubuh. (Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Kutub Al-’Ilmiyah: 1990], jilid II, halaman 60).
 

Jumlah mahar ditentukan berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak, tetapi tetap ada norma sosial yang mengatur besaran mahar. Dalam beberapa kasus, besaran mahar ini bisa ditentukan oleh pihak keluarga atau tokoh masyarakat yang berwenang. Biasanya, semakin tinggi status sosial keluarga wanita, semakin tinggi pula jumlah mahar yang diberikan. 
 

Umumnya dalam adat masyarakat Aceh didapati setelah calon mempelai laki-laki berkeinginan untuk meminang calon mempelai perempuan, maka keluarga pihak laki-laki datang untuk menanyakan jumlah mahar atau mas kawin yang harus ditunaikan setelah akad nikah nanti.
 

Pihak keluarga perempuan biasanya bermusyawarah dulu untuk menentukan jumlahnya yang pantas. Setelah ada suatu kesepakatan, baru diberikan jawaban kepada pihak keluarga calon mempelai laki-laki. Jika sudah disepakati antara dua keluarga, baru dilakukan peminangan, dan dalam peminangan biasanya orang-orang tua dari pihak keluarga calon mempelai laki-laki membawa beberapa mayam emas sebagai panjar dari mahar yang telah ditetapkan itu.
 

Sebelum diterima tanda tunangan itu, terlebih dahulu ditentukan berapa mas kawin atau djenamunyaKalau sudah putus soal djenamu biasa juga ditentukan berapa banyak uang hangus atau uang biaya peralatan (seneudjuk meuih). Biaya uang hangus itu dibuat rancangan (begrooting) berapa banyak orang yang mengantar dan sebesar itulah ditaksir uang hangus itu. Jadi rancangan biaya ini diterima baik oleh kedua belah pihak. (Mohammad Hoesin, Adat Aceh, [Banda Aceh, Dinas Pendidikan dan Kebudayaaan Provinsi Daerah Istimewa Atjeh: 1970], halaman 67).
 

 Adat pemberian mahar di Aceh dahulunya memberlakukan besaran mahar  bagi anak perempuan dari tuanku sebanyak 500 Ringgit Aceh, sekati emas, sedangkan perempuan dari urueng ulee yaitu orang terkemuka, famili raja seperti Cut dan Meurah, begitu juga dengan Ulee Balang berkisar 100 Ringgit Aceh atau 4 bungkai emas.
 

Anak perempuan dari Teungku Imum, Keuchik dan Teungku Meunasah, sebanyak 50 Ringgit Aceh yaitu 2 bungkal emas. Mahar anak perempuan dari rakyat umum berkisar 25 Ringgit Aceh atau satu bungkal emas. Mahar dari satu anak perempuan yang sangat miskin adalah  satu atau dua Tahil (perak) bahkan ada yang kurang.
 

Pada masa penjajahan Belanda, Ringgit ditukar dengan Rupiah Belanda. Besarnya mahar bagi janda  menurut kesepakatan kedua belah pihak. Ada juga mahar dibayar separuhnya dan akan dibayar sepenuhnya ketika dia pertama kali mengunjungi mertuanya. (Hoesin, 45).
 

H.M. Zainuddin menyebutkan besaran mahar:
 

"Adapun djenamu atau mas kawin seorang wanita di Atjeh ditentokan menurut derdjat tarafnja. se-rendahanja satu real (ringgit) dan bagi keluarga orang kaja, Teungku/Ulama, atau saudagar seratus real. Ulee balang lima ratus real dan bagi keluaran Radja atau Sulthan seribu real." (Tarich Atjeh dan Nusantara, [Medan, Pustaka Iskandar Muda: 1961], halaman 541).
 

Dalam sejarah, pemuliaan kepada perempuan terekam ketika Sultanah Safiyatuddin ((1641-1675) yang menerapkan undang-undang Ahwalus Syakhsiyah, karena realita sosial masa itu kaum wanita sering teraniaya ketika terjadi perceraian.
 

Dari sini Majlis Mahkamah Rakyat di bawah Kadhi Malik Al-Adli berhasil membuat undang keluarga yang berisi:
 

"Tiap orang tua harus menyediakan sebuah rumah kepada anaknya yang perempuan, kalau ia telah dipesuamikan, dan rumah itu diserahkan menjadi milik si anak, Kecuali rumah, juga harus diberikan sepetak sawah, sepetak kebun dan seutas emas, Si suami harus tinggal bersama di rumah istrinya, selama hidup rukun maka harta, rumah, sawah, kebun menjadi milik bersama, Si suami harus membawa sepetak sawah kepada istrinya nya.
 

Apabila terjadi perceraian maka suami harus pergi dari rumah istrinya, harta yang ditinggalkan menjadi milik istri kecuali harta yang diusahakan bersama selama masa perkawinan  dibagi dua (harta sihareukat), Dalam masa iddah, nafkah istri menjadi tanggung jawab suami." (Ali Hasjmi, 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu, [Jakarta, Bulan Bintang: 1977], halaman 127). 
 

Masalah mahar juga diulas dalam Qanun Meukuta Alam:
 

منتفکن جناميو كرجاءن أجيه
شهدان سبرمول مك كتا هوي أولهمو هي سكالين أغكوت كرجاءن آچیه بهواسان مس يغ تيك قوله كاتي ترسبوت ایت پائتو جنامو نكري اچيه پائت یغ دبریکن کفدا أنك كامي فغليم فولم پائتو اداله مس حق ضمين کرجاءن پائتو واغ توغکل نگری دان ايسي فتي كرجاءن يغ مطلق دان مس ترسبوت تيدك دبولهكن ملك يغ صح

 

Artinya, “Menetapkan: Jeunamée (mahar) Kerajaan Aceh "Syahdan sebermula maka ketahui olehmu hai sekalian anggota kerajaan Aceh, bahwasanya mas yang tiga puluh kati tersebut itu yaitu Jeunamée negeri Aceh itu yang diberikan kepada anak kami Panglima Polém; yaitu adalah mas hak amin kerajaan; yaitu uang tunggal negeri dan isi peti kerajaan yang mutlak dan mas tersebut tidak dibolehkan milik yang sah.”  (Alih Aksara oleh Mohd Kalam Daud, TA Sakti, Qanun Meukuta Alam, dalam Syarah Tadhkirah Tabaqat Tgk di Mulek dan Komentarnya, [Banda Aceh, Syiah Kuala Uiniversity Press: 2010], halaman 89).
 

Demikianlah mahar dalam sejarah Kesultanan Aceh Darussalam. Mahar memainkan peran dalam menjaga struktur sosial dan budaya. Mahar menjadi simbol status sosial dan kehormatan bagi keluarga wanita.
 

Karena itu, keluarga pihak wanita biasanya sangat berhati-hati dalam menentukan jumlah dan jenis mahar yang akan diterima. Di sisi lain, pihak pria, terutama yang berasal dari kalangan bangsawan cenderung memberikan mahar yang tinggi sebagai bagian dari prestise sosial mereka.
 

Selain itu, mahar bukan hanya dilihat sebagai bentuk materi, tetapi juga sebagai simbol dari komitmen pria untuk memberikan penghormatan dan tanggung jawab terhadap istrinya. Wallahu a'lam.

 

Ustadz Azmi Abubakar, Penyuluh Agama Islam Asal Aceh