Bahtsul Masail

Hukum Menitipkan Mahar kepada Calon Istri

Ahad, 2 Juni 2024 | 23:00 WIB

Hukum Menitipkan Mahar kepada Calon Istri

Ilustrasi mahar. (Foto: NU Online/Freepik)

Assalamu'alaikum wr wb. Saya ingin bertanya, semisal calon suami menitipkan uang secara dicicil untuk mahar (pada saat akad bisa berupa uang / emas), apakah boleh? Maksudnya dia titip nabungnya ke saya, karna kalo disimpan sendiri takut terpakai untuk hal lain, apakah diperbolehkan? (Cynthia Kirana)

 

Jawaban

Saudari penanya dan seluruh pembaca yang budiman, semoga selalu dalam lindungan Allah dan limpahan rahmat-Nya. Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kami mengulas terlebih dahulu hukum dan hal-hal yang berkaitan dengan mahar. 

 

Mahar didefinisikan sebagai berikut:

 

الصداق هو المال الذي وجب على الزوج دفعه لزوجته بسبب عقد النكاح

 

Artinya: “Shidaq (mahar) adalah sejumlah harta yang harus diberikan oleh seorang suami kepada istri sebab akad nikah

 

Harta yang diberikan sebagai mahar bisa berbentuk benda atau jasa karena jasa bisa termasuk manfaat yang bernilai seperti mengajar beberapa surat Al-Qur’an.

 

Menyebutkan mahar ketika ijab qobul nikah bukan kewajiban namun kesunnahan sehingga akad nikah yang dilangsungkan tanpa menyebut mahar tetap sah. Walau demikian, dengan selesainya prosesi akad nikah, mahar telah terbebankan kepada suami, baik disebutkan ketika akad atau tidak. Urusan mahar tidak selesai kecuali dengan dibayarkan atau istri merelakan.

 

Di antara hikmah pemberian mahar adalah sebagai bukti kesungguhan suami untuk membina pergaulan yang baik dan rumah tangga yang mulia dengan istri. Mahar sepenuhnya milik istri. Siapapun selain istri tidak memiliki hak atas mahar meskipun orang tua sendiri. Dalam Al-Qur’an disebutkan:

 

فَلاَ تَأْخُذُواْ مِنْهُ شَيْئاً أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَاناً وَإِثْماً مُّبِيناً

 

Artinya: “Janganlah kamu mengambilnya kembali sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan cara dusta dan dosa yang nyata?" (QS An-Nisa [4]:20)

 

Mahar boleh dibayar tunai, tempo waktu, atau dicicil sesuai kesepakatan. Karena mahar harus dibayar tunai, maka seorang istri berhak menolak melayani suami selama mahar belum dibayarkan. Jika disepakati mahar tidak dibayar tunai, istri tidak boleh menolak melayani suami walaupun mahar belum dibayarkan karena sesuai kesepakatan.

 

Mengenai nilai mahar, tidak ada batasan berapa minimal dan maksimalnya. Hanya saja, sebaiknya seorang istri memudahkan urusan mahar sehingga tidak membebani suami dengan meminta mahar tinggi. Sebaliknya, seorang suami sebaiknya memberikan tidak kurang dari 10 dirham perak (lima persen nisab zakat) dan tidak lebih dari 500 dirham (2,5 kali lipat nisab zakat).

 

Dalam kondisi tertentu, kewajiban mahar ini bisa hilang atau hanya wajib dibayarkan separuhnya. Secara rinci, klasifikasi pembayaran mahar dibagi menjadi tiga:

 
  1. Wajib dibayar utuh, yaitu bila suami istri telah berhubungan badan dan bila salah satunya meninggal meski belum sempat berhubungan badan.
  2. Hanya berkewajiban separuh, yaitu bila suami menalak istrinya sebelum sempat berhubungan badan.
  3. Tidak perlu dibayarkan, yaitu bila terjadi perceraian sebelum berhubungan badan yang disebabkan istri, seperti istri meminta fasakh nikah karena aib yang ada pada suami atau istri memfasakh nikah karena aib istri. (Musthofa Khin, Al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Darul Qolam, 992] cet.IV, juz IV, halaman 75-80).
 

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa mahar baru menjadi kewajiban suami dengan selesainya prosesi akad nikah sehingga harta yang diberikan oleh calon suami belum menjadi mahar. Status harta tersebut tergantung pernyataan dari calon suami atau tergantung niatnya bila diserahkan setelah lamaran diterima. Dalam Fatwa Imam Ibnu Hajar disebutkan:

 

وَسُئِلَ) عَمَّنْ خَطَبَ امْرَأَةً وَأَجَابُوهُ فَأَعْطَاهُمْ شَيْئًا مِنْ الْمَالِ يُسَمَّى الْجِهَازَ هَلْ تَمْلِكُهُ الْمَخْطُوبَةُ أَوْ لَا بَيِّنُوا لَنَا ذَلِكَ؟
فَأَجَابَ) بِأَنَّ الْعِبْرَةَ بِنِيَّةِ الْخَاطِبِ الدَّافِعِ فَإِنْ دَفَعَ بِنِيَّةِ الْهَدِيَّةِ مَلَكَتْهُ الْمَخْطُوبَةُ أَوْ بِنِيَّةِ حُسْبَانِهِ مِنْ الْمَهْر حُسِبَ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ أَوْ بِنِيَّةِ الرُّجُوعِ بِهِ عَلَيْهَا إذَا لَمْ يَحْصُلْ زَوَاجٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ لَهُ نِيَّةٌ لَمْ تَمْلِكهُ وَيُرْجَعُ بِهِ عَلَيْها

 

Artinya: “Ditanyakan tentang seseorang yang melamar perempuan dan telah diterima kemudian menyerahkan sesuatu kepada pihak perempuan yang dinamakan jihaz (seserahan). Apakah itu bisa dimiliki perempuan yang dilamar atau tidak. Jelaskanlah kepada kami hukumnya.

 

Beliau menjawab, bahwa hal itu tergantung niat pelamar yang memberi. Bila ia memberikan dengan niat hibah maka perempuan yang dilamar memilikinya atau dengan niat sebagian dari mahar maka dihitung mahar meski tidak sejenis dengan mahar (yang disebutkan dalam akad) atau dengan niat meminta kembali bila pernikahan urung dilakukan atau tiada niat apapun maka perempuan yang dilamar tidak memilikinya dan pelamar bisa memintanya kembali." (Ibnu Hajar al Haitami, Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, [Maktabah Islamiyah, tt.), juz IV, halaman 111).

 

Begitu juga dalam pertanyaan yang sedang kita bahas. Melihat dari runtutan kalimat dalam pertanyaan, ada pernyataan tegas dari calon suami bahwa uang itu adalah uang yang dititipkan sebagai tabungan, bukan cicilan dari mahar. Uang tersebut masih sebatas titipan biasa dan secara fikih tidak ada kaitannya dengan pernikahan. 

 

Hanya saja, kebetulan saat ini dititipkan kepada calon istri maka penitipan seperti ini dalam fikih disebut dengan wadiah dan hukumnya dibolehkan. Sebelum terjadi akad nikah, Anda masih orang lain secara hukum agama meskipun telah terjadi lamaran sehingga titip menitip ini adalah akad yang normal selayaknya titip menitip dengan selain calon istri atau calon suami.

 

Mungkin saja calon suami menitipkan kepada Anda sebagai bukti kesungguhan untuk melangkah ke jenjang lebih serius dan wujud kepercayaan tinggi kepada Anda. Hal yang terpenting, karena belum terjadi akad nikah dan masih berstatus orang lain, kiranya perlu menjaga batas-batas interaksi dengan lawan jenis yang bukan mahram dan bukan suami istri. Insyaallah akan membawa keberkahan. Wallahu a'lam.

 

Ustadz Muhammad Masruhan, Pengajar di Pesantren Al-Inayah Wareng Magelang.