Bahtsul Masail

Jumlah Mahar Tak Sesuai Akad Nikah, Bagaimana Hukumnya?

Sab, 9 Desember 2023 | 21:00 WIB

Jumlah Mahar Tak Sesuai Akad Nikah, Bagaimana Hukumnya?

mahar atau maskawin. (Foto: NU Online)

Assalamualaikum wr. wb.


Yth. redaksi NU Online. Izin bertanya, apabila akan melangsungkan akad, tetapi mahar yang disebutkan berbeda dengan yang diberikan (mungkin lebih atau kurang), untuk hukum nikahnya seperti apa?


Wa’alaikumussalam wr. wb.

Penanya yang budiman, semoga selalu dalam lindungan Allah swt. Dalam pernikahan, seorang calon suami harus memberikan mahar (maskawin) kepada calon istrinya, entah berapapun sebagaimana yang disepakati oleh si istri. Mengutip keterangan dalam al-Fiqh al-Manhaji, mahar didefinisikan sebagai:


الصداق هو المال الذي وجب على الزوج دفعه لزوجته بسبب عقد النكاح


Artinya: “Mahar adalah harta yang wajib diberikan calon suami kepada calon istri sebab akad nikah.” (Mushthafa al-Khin, dkk, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam asy-Syafi’i, [Damaskus: Darul Qalam, 1992], jilid IV, hal. 77).


Ketika melangsungkan akad nikah, hukum menyebut mahar adalah sunnah sebagaimana keterangan dari Ibnu Qasim dalam Fathul Qarib, dalam bab penyebutan mahar ketika akad. Beliau menjelaskan:


ويستحب تسمية المهر في عقد النكاح


Artinya, “Disunnahkan penyebutan mahar ketika melangsungkan akad nikah.” (Ibn Qasim al-Ghazi, Fathul Qarib, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005], halaman 234).


Kemudian dalam hal penyebutan mahar, cukup menyebutkan harta yang mampu diberikan dan rela diterima oleh calon istri. Sunnahnya, mahar tidak kurang dari sepuluh dirham dan tidak lebih dari lima ratus dirham murni, sebagaimana keterangan Ibn Qasim al-Ghazi dalam Fathul Qarib halaman 234.


Apabila dikonversi, 1 dirham setara dengan 2.975 gram perak, yang kini kurang lebih harganya adalah 11.521 rupiah. Maka sepuluh dirham jumlahnya sama dengan 115.210 rupiah. Angka ini adalah sunnah, apabila lebih tentunya lebih baik. 


Selain itu, menurut Jumhur ulama mahar bukanlah penentu sah dan tidaknya pernikahan, sebab ia bukan bagian dari rukun. Apabila ia bagian dari rukun, niscaya penyebutan mahar menjadi wajib ketika akad. Hal ini sebagaimana keterangan Syekh Wahbah az-Zuhayli dalam al-Fiqhul Islami:


Mayoritas ulama menyatakan akad tanpa mahar atau penetapan ketidaan mahar saat akad, atau dengan menyebutkan sesuatu yang tidak pantas dijadikan mahar tidaklah membatalkan nikah. Alasannya mahar bukan merupakan rukun dan syarat, melainkan salah satu ketentuan pernikahan, maka kecacatan yang terjadi dalam mahar tidak berpengaruh pada akad.” (Syekh Wahbah az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islamiwa Adillatuhu, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid IX, hal. 73).


Ketika mahar yang disebut berbeda dengan realita

Kendati mahar tidak memiliki batas minimal sedikit dan banyak, calon suami hendaknya memberikan mahar sesuai dengan yang ia sebut ketika melangsungkan akad nikah. Ketidaksesuaian mahar bisa terjadi ketika ijab dan qabul dilangsungkan, atau setelah akad selesai.


Apabila yang terjadi adalah kesalahan penyebutan mahar dalam ijab qabul, apabila kurang, contohnya wali mengucapkan, "saya nikahkan fulan dengan putri saya dengan mahar 10 gram emas", kemudian si calon suami menjawab, “Saya terima akadnya dengan 8 gram emas.” dan itu terjadi entah sengaja maupun tidak, maka akadnya tidak sah sebagaimana keterangan Syekh Wahbah.


Akan tetapi apabila dalam qabul mahar yang disebut lebih, semisal wali mengucap, “Saya nikahkan fulan dengan putri saya dengan mahar 10 gram emas,” kemudian si calon suami menjawab, “Saya terima nikahnya dengan 12 gram emas," maka sah akadnya. (Syekh Wahbah az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islamiwa Adillatuhu, jilid IX, hal. 44).


Akan tetapi berbeda kasusnya apabila mahar yang disepakati semisal 10 gram emas, kemudian dalam ijab qabul pun demikian, si wali maupun calon suami sama-sama mengucapkan 10 gram emas tanpa ada kesalahan maupun kekeliruan. Hanya saja, ketika mahar tersebut diberikan kepada istrinya setelah akad, ternyata hanya 8 gram.


Dalam kasus ini, mahar yang telah disebut dalam akad maka jadi milik istri sesuai jumlah yang disebutkan saat itu juga. Maka 10 gram yang disebut saat akad berlangsung, dengan jumlah itu pula si istri mendapatkan haknya. Apabila kurang, maka suami harus membayarnya hingga lunas. 


Hal ini sebagaimana keterangan Imam Syafi’i dalam al-Umm, “Apabila suami menikahi perempuan dengan mahar yang telah disebutkan, maka mahar tersebut ditetapkan sebagai kewajiban suami. Jika suami atau istri meninggal sebelum melakukan hubungan suami istri atau setelah melakukan hubungan suami istri, apabila mahar yang disebut berupa uang maka suami wajib membayar dengan uang.” (Imam asy-Syafi’i, Al-Umm, jilid V, hal. 64).


Dengan demikian, mahar yang disebut saat ijab qabul mau tidak mau harus dipenuhi oleh suami. Apabila sudah berhubungan suami istri, maka mahar harus dibayarkan penuh. Apabila belum berhubungan suami istri, sementara mereka cerai, maka suami tetap berhak memberikan mahar setengahnya, sebagaimana keterangan Asy-Syafi’i:


Jika suami telah menyerahkan mahar kepada istrinya, serta telah bergaul suami-istri, maka mahar itu hak istrinya dan si suami tak berhak menariknya sedikit pun. Demikian jika mahar belum diserahkan, maka mahar tetap menjadi hak si istri dan itu adalah kewajiban suami [untuk membayarnya]. Selanjutnya, jika suami belum mencampuri istrinya, dan telah menyerahkan maharnya, maka ia boleh menarik separuh mahar dari istrinya. Jika mahar belum diserahkan sedikitpun, maka si istri yang berhak mendapatkan separuhnya.” (Imam asy-Syafi’i, al-Umm, jilid V, halaman 216). 


Kewajiban suami dalam membayar mahar sebagaimana yang ia sebut ketika akad nikah berlangsung dapat menjadi gugur apabila sang istri merelakan maharnya tidak perlu dilunasi. Keterangan ini mengacu kepada penjelasan ayat 237 surat Al-Baqarah:


 وَاِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ اِلَّآ اَنْ يَّعْفُوْنَ اَوْ يَعْفُوَا الَّذِيْ بِيَدِهٖ عُقْدَةُ النِّكَاحِۗ


Artinya: “Jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka (bayarlah) separuh dari apa yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka atau pihak yang memiliki kewenangan nikah (suami atau wali) membebaskannya.” (QS Al-Baqarah).


An-Nawawi dalam Raudhatuth Thalibin menjelaskan bahwa ayat di atas menegaskan suami istri yang bercerai sebelum terjadinya hubungan badan, sedang maharnya sudah ditentukan, maka si istri berhak mendapat setengah dari mahar tersebut.


Akan tetapi, ada pengecualian, yaitu ketika istri merelakan atau menggugurkan mahar yang telah disebut ketika akad, dengan mengembalikan semuanya kepada suami atau sebaliknya, suami merelakan mahar yang telah diberikan pada istrinya agar diambil semua tanpa dikembalikan sepeserpun.


Kesimpulannya dalam kasus penanya, disarankan bagi calon suami untuk menyebutkan nominal mahar sesuai dengan jumlah mahar yang akan diberikan pada calon istri. Dalam hal akad nikah, mahar bukanlah penentu sahnya nikah, karena tidak termasuk dalam rukun.


Apabila mahar disebutkan ketika ijab kabul, sudah tentu suami harus membayar mahar sesuai yang disebut. Apabila yang diberikan pasca-nikah tidak sesuai jumlahnya, suami harus melunasi sebagaimana yang disebut saat akad berlangsung.


Hanya saja, apabila istri menggugurkan sisa mahar yang belum dibayar dengan pernyataan yang jelas bahwa dirinya rela, maka kewajiban suami dalam membayar sisanya pun gugur. Wallahu a’lam.


Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences