Nikah/Keluarga

Suami Kekanak-kanakan, Bolehkah Istri Mengajukan Gugatan Cerai?

Senin, 21 Juli 2025 | 12:00 WIB

Suami Kekanak-kanakan, Bolehkah Istri Mengajukan Gugatan Cerai?

Ilustrasi ketidakhadiran ayah. Sumber: Canva/NU Online.

Pernikahan adalah ikatan suci yang dibangun di atas prinsip tanggung jawab, kedewasaan, dan saling menghargai. Dalam kehidupan rumah tangga, kedewasaan emosional kedua belah pihak menjadi syarat penting untuk menciptakan hubungan yang sehat dan harmonis. Namun, tidak sedikit istri yang harus menghadapi kenyataan bahwa suaminya memiliki sifat kekanak-kanakan yang berlebihan, bahkan setelah bertahun-tahun menikah.
 

Fenomena ini tidak hanya menimbulkan ketidakseimbangan dalam rumah tangga, tetapi juga mengarah pada beban psikologis dan ketegangan emosional yang serius. Lalu, bagaimana Islam memandang hal ini, apakah seorang istri boleh mengajukan perceraian karena kepribadian suami yang tidak dewasa?

 
Sebelum menjawab persoalan ini, kita pahami gambaran suami yang kekanak-kanakan dan bagaimana dampaknya terhadap keluarga. Menurut Kendra Han dalam artikelnya yang dimuat tahun 2025 di The Gottman Institute dengan judul "Why Is My Husband Acting So Immature?," laki-laki yang memiliki sifat kekanak-kanakan diistilahkan sebagai ‘man child’. Istilah ini sering digunakan untuk menyebut pria dewasa namun secara emosional seperti remaja.
 

Kurangnya kedewasaan emosional ini terlihat dari perilaku seperti menghindari tanggung jawab rumah tangga, kecanduan game atau dunia maya, serta sulit mengekspresikan emosi dengan sehat. Saat menghadapi masalah, mereka cenderung menyalahkan orang lain, mengeluh, atau bahkan marah, alih-alih berdialog dengan bijak.

 
Penting untuk dipahami bahwa sikap ini bukan semata karena karakter buruk, tetapi bisa jadi merupakan dampak dari trauma masa kecil, rasa takut gagal, atau kecemasan yang belum terselesaikan. Menghadapi pria dengan sifat seperti ini memerlukan pendekatan empatis serta dukungan psikologis agar ia dapat berkembang secara emosional.

 
Memiliki suami yang kekanak-kanakan dapat berdampak serius pada keseimbangan rumah tangga. Istri sering menjadi satu-satunya yang memikul tanggung jawab, baik secara emosional maupun praktis, yang pada akhirnya menimbulkan stres, rasa lelah dan tidak dihargai.
 

Kondisi ini dapat memicu depresi, konflik berkepanjangan, bahkan kekerasan emosional. Selain itu, anak-anak berisiko kehilangan figur ayah yang layak dijadikan panutan, sehingga tumbuh tanpa arahan atau kestabilan emosional yang memadai. Situasi demikian merupakan tanda serius bahwa hubungan berada dalam kondisi yang tidak sehat.


Bolehkah Istri Gugat Cerai?
 
Islam memberi ruang kepada istri untuk keluar dari hubungan rumah tangga yang tidak sehat melalui jalur khulu’, yaitu bentuk perceraian atas permintaan istri dengan memberikan kompensasi kepada suami (gugat cerai).


Khulu’ tidak hanya berlaku dalam kondisi suami melanggar hukum agama secara jelas, tetapi juga ketika istri tidak sanggup hidup dengan suami karena akhlak yang buruk atau perilaku yang tidak menyenangkan, termasuk sifat kekanak-kanakan yang merusak suasana rumah tangga.


Imam Nawawi menjelaskan:

 
ويصح في حالتي الشقاق والوفاق، وخصه ابن المنذر بالشقاق، ثم لا كراهة فيه إن جرى في حال الشقاق أو كانت تكره صحبته لسوء خلقه أو دينه


Artinya, “Khulu’ sah dilakukan baik dalam keadaan berselisih maupun rukun. Ibnu Mundzir mengkhususkannya pada kondisi perselisihan. Tidak ada hukum makruh jika khulu’ dilakukan dalam kondisi perselisihan, atau jika istri tidak menyukai kehidupan bersama suaminya karena buruk akhlaknya atau agamanya,” (Raudhatuth Thalibin, [Beirut, Darul Kutub Islami: 1991], juz VIII, halaman 136).
 

Hal serupa juga disampaikan Imam Al-Mawardi, bahwa istri memiliki hak untuk melepaskan diri dari pernikahan melalui khulu’ jika merasa tidak nyaman hidup bersama suami akibat akhlak yang buruk atau perilaku yang menyakitkan.
 

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ الْمُبَاحُ فَيَكُونُ مِنْ أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ: إِمَّا لِكَرَاهَةٍ وَإِمَّا لِعَجْزٍ. فَأَمَّا الْكَرَاهَةُ فَهُوَ أَنْ تَكْرَهَ مِنْهُ إِمَّا سُوءَ خُلُقِهِ، وَإِمَّا سُوءَ فِعْلِهِ وَإِمَّا قِلَّةَ دِينِهِ وَإِمَّا قُبْحَ مَنْظَرِهِ وَهُوَ مُقِيمٌ بِحَقِّهَا، فَتَرَى لِكَرَاهَتِهَا لَهُ بِأَحَدِ هَذِهِ الْوُجُوهِ أَنْ تَفْتَدِيَ مِنْهُ نَفْسَهَا فَتُخَالِعُهُ فَيَكُونُ ذَلِكَ مُبَاحًا

 
Artinya, “Proses khulu’ yang dibolehkan (mubah), bisa berasal dari salah satu pihak, baik karena kebencian atau karena ketidakmampuan. Kebencian itu bisa muncul karena buruk akhlaknya, buruk tindakannya, lemahnya agama, atau buruk penampilannya, meskipun ia tetap menunaikan hak-hak istrinya. Maka jika istri membenci suaminya karena hal-hal tersebut, lalu ia menebus dirinya dan melakukan khulu’, maka hal itu dibolehkan,” (Al-Hawil Kabir, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: 1999], juz V, halaman 10).

 
Memiliki pasangan hidup yang kekanak-kanakan secara emosional bisa menjadi ujian besar dalam rumah tangga. Islam mengajarkan kesabaran dan perbaikan sebagai langkah awal, namun juga tidak memaksa seorang istri untuk bertahan dalam hubungan yang menyakitkan atau melelahkan secara mental.
 

Jika setelah upaya nasihat, komunikasi, dan perbaikan tidak membuahkan hasil, maka khulu’ adalah pintu keluar yang sah dan dibolehkan secara syar’i.


Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI)
 
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), istri diperbolehkan mengajukan gugatan cerai jika ada alasan sah yang menyebabkan rumah tangga tidak bisa dipertahankan. Salah satu alasan yang dibenarkan adalah suami yang kekanak-kanakan secara berlebihan misalnya tidak bertanggung jawab, bersikap tidak stabil, dan menciptakan konflik terus-menerus.
 
Jika kondisi ini menyebabkan perselisihan berkepanjangan dan hilangnya harapan hidup rukun, maka istri berhak mengajukan cerai. Dalam pasal Pasal 116 KHI, huruf (f) disebutkan: “Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga.”
 

Dengan merujuk pada pandangan para ulama dan Kompilasi Hukum Islam, Islam secara bijak memberikan ruang perlindungan bagi istri yang merasa tertekan dalam pernikahan akibat sikap suami yang kekanak-kanakan. Namun, mengingat pernikahan merupakan wadah yang mulia untuk bertumbuh bersama, keputusan untuk mengajukannya hendaknya dilakukan setelah melalui proses mediasi, dialog terbuka, serta memberikan kesempatan kepada suami untuk berkembang secara emosional dan memperbaiki perilakunya.


Jika semua upaya tersebut telah ditempuh dengan sabar, penuh tanggung jawab, dan itikad baik namun tidak membawa hasil yang diharapkan, maka Islam memberi jalan berupa gugatan cerai (khulu') demi menjaga kesehatan mental, martabat diri, serta masa depan keluarga. Wallahu A’lam. 


Ustadz Bushiri, Pengajar di Zawiyah Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan Madura.