Nikah/Keluarga

Suami Pengangguran Tak Nafkahi? Ini Hukum Gugat Cerai dalam Islam

Senin, 23 Juni 2025 | 21:00 WIB

Suami Pengangguran Tak Nafkahi? Ini Hukum Gugat Cerai dalam Islam

Gugat cerai suami pengangguran (NUO)

Di tengah realita sosial saat ini, tidak sedikit rumah tangga yang diuji dengan kondisi ekonomi yang sulit. Salah satu permasalahan yang sering muncul adalah ketika suami tidak memiliki pekerjaan alias menganggur dalam waktu yang lama. 
 

Kondisi ini tentu menjadi ujian berat, terlebih jika berimbas pada kelalaian dalam menafkahi keluarga. Dalam banyak kasus, istri menjadi pihak yang menanggung beban ekonomi, bahkan sampai harus meminjam uang demi memenuhi kebutuhan rumah tangga. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar dalam benak banyak orang: apakah istri dibenarkan secara syariat untuk menggugat cerai suami yang tidak mampu memberikan nafkah karena menganggur? 
 

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat persoalan ini dalam bingkai hukum Islam, yang tidak hanya mempertimbangkan sisi fiqhiyah, tapi juga keadilan, maslahat, dan perlindungan terhadap hak-hak perempuan.
 

Dalam Islam, salah satu kewajiban utama suami adalah memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Hal ini termaktub jelas dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 233:
 

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ
 

Artinya, “Kewajiban ayah adalah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut.” (QS. Al-Baqarah: 233).
 

Ayat ini menegaskan bahwa suami sebagai kepala keluarga wajib memenuhi kebutuhan dasar istrinya, baik dalam hal makanan maupun pakaian. Kewajiban ini berlaku selama akad nikah masih sah dan belum terjadi talak atau perceraian.
 

Meski demikian, Islam tidak serta merta menganjurkan perceraian sebagai solusi pertama dari setiap permasalahan rumah tangga. Dalam kondisi suami yang sedang mengalami kesulitan, seperti pengangguran karena dipecat, sakit, atau krisis ekonomi, Islam memberi ruang kepada istri untuk bersabar dan tetap mendukung suaminya dalam mencari jalan keluar.
 

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Qasim Al-Ghazi dalam Fathul Qarib:
 

وإن أعسر بنفقتها أي المستقبلة فلها الصبر على إعساره وتنفق على نفسها من مالها أو تقترض ويصير ما أنفقته دينا عليه
 

Artinya, “Jika suami tidak mampu memberi nafkah kepada istri (yang dimaksud adalah nafkah keesokan harinya), maka istri hendaknya bersabar atas ketidakmampuan suami tersebut, lalu menafkahi dirinya dari hartanya sendiri, atau ia boleh berutang, dan apa yang ia keluarkan tersebut menjadi utang atas suami.” (Fathul Qarib, [Beirut, Darul Ibnu Hazm: 2005], jilid I, halaman 263).
 

Pendapat ini mengisyaratkan bahwa jika suami sedang dalam kondisi sulit, istri bisa memilih untuk bersabar, menafkahi dirinya sendiri dengan harta pribadi, atau meminjam dengan tanggungan menjadi kewajiban suami di kemudian hari.
 

Dalam fiqih, jika ketidakmampuan suami untuk memberikan nafkah berlangsung lama dan tidak ada kejelasan kapan akan berakhir, maka istri diperbolehkan untuk menggugat cerai (fasakh) kepada suaminya. Hal ini ditetapkan demi menghindarkan istri dari kesulitan yang berlarut-larut.
 

Berkaitan dengan ini, Syekh Syatha’ Dimyathi menjelaskan:
 

فرع في فسخ النكاح: وشرع دفعا لضرر المرأة يجوز (لزوجة مكلفة) أي بالغة عاقلة لا لولي غير مكلفة (فسخ نكاح من) أي زوح (أعسر) مالا وكسبا لائقا به حلالا (بأقل نفقة) تجب وهو مد (أو) أقل (كسوة) تجب كقميص وخمار وجبة شتاء
 

Artinya, "Fasakh (pembatalan nikah) disyariatkan untuk mencegah mudarat bagi istri. Karenanya, diperbolehkan bagi istri yang baligh dan berakal untuk melakukan fasakh terhadap suami yang melarat, yakni tidak memiliki harta maupun pekerjaan yang layak dan halal untuk memenuhi nafkah paling minimal seperti satu mud makanan atau sandang seperti gamis, kerudung, atau jubah musim dingin." (I’anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 1997], jilid IV, halaman 98).
 

Hal serupa juga disampaikan oleh Sayyid Abdurrahman Al-Hadrami. Ia menjelaskan bahwa salah satu alasan yang dibenarkan secara syariat bagi seorang istri untuk menggugat cerai adalah ketika suami tidak mampu memberikan nafkah.

Ketidakmampuan ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain suami tidak memiliki penghasilan sama sekali, atau ia menderita penyakit yang menghalanginya untuk bekerja selama tiga hari atau lebih.
 

يَجُوزُ فَسْخُ الزَّوْجَةِ النِّكَاحَ مِنْ زَوْجِهَا حَضَرَ أَوْ غَابَ بِتِسْعَةِ شُرُوطٍ: إِعْسَارُهُ بِأَقَلِّ النَّفَقَةِ وَالْكِسْوَةِ وَالْمَسْكَنِ لَا الْأُدُمِ، بِأَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ كَسْبٌ أَصْلًا، أَوْ لَا يَفِي بِذَلِكَ، أَوْ لَمْ يَجِدْ مَنْ يَسْتَعْمِلُهُ، أَوْ بِهِ مَرَضٌ يَمْنَعُهُ عَنِ الْكَسْبِ ثَلَاثًا
 

​​​​Artinya, “Boleh bagi istri untuk memfasakh nikah dari suaminya, baik suami hadir atau tidak, dengan sembilan syarat; di antaranya suami tidak mampu menafkahi dengan nafkah, pakaian, dan tempat tinggal yang paling minimal (tidak termasuk lauk-pauk), seperti tidak memiliki penghasilan sama sekali, atau penghasilannya tidak mencukupi, atau tidak ada yang mau memperkerjakannya, atau dia menderita penyakit yang menghalanginya bekerja selama tiga hari.” (Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut, Darul Fikr: tt], jilid I, halaman 515).
 

Meskipun alasan untuk gugat cerai atau fasakh sudah terpenuhi, Islam tidak memperbolehkan istri melakukan fasakh secara sepihak tanpa keterlibatan otoritas hukum. Dengan kata lain, hak fasakh harus ditempuh melalui jalur hukum resmi seperti pengadilan agama, disertai bukti atau pengakuan yang sah. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami:
 

وَلَا فَسْخَ بِإِعْسَارِ مَهْرٍ، أَوْ نَحْوِ نَفَقَةٍ (حَتَّى) تُرْفَعَ لِلْقَاضِي، أَوْ الْمُحَكَّمِ وَ(يَثْبَتَ) بِإِقْرَارِهِ، أَوْ بِبَيِّنَةٍ (عِنْدَ قَاضٍ)، أَوْ مُحَكَّمٍ (إعْسَارَهُ فَيَفْسَخَهُ) بِنَفْسِهِ، أَوْ نَائِبِهِ (أَوْ يَأْذَنَ لَهَا فِيهِ)؛ لِأَنَّهُ مُجْتَهِدٌ فِيهِ كَالْعُنَّةِ فَلَا يَنْفُذُ ُمِنْهَا قَبْلَ ذَلِكَ ظَاهِرًا وَلَا بَاطِنًا
 

Artinya, “Tidak sah fasakh karena ketidakmampuan membayar mahar atau semacam nafkah sampai perkara tersebut diajukan ke hakim atau yang ditunjuk (muḥakkam). Kemudian ditetapkan dengan pengakuan suami, atau dengan bukti di hadapan hakim, lalu hakim (atau wakilnya) memutuskan fasakh atau memberi izin kepada istri untuk itu. Karena ini termasuk perkara ijtihadi seperti kasus impotensi, maka tidak sah dilakukan secara pribadi sebelum adanya keputusan dari hakim secara lahir maupun batin.” (Tuhfatul Muhtaj, [Beirut, Darul Ihya’ At-Turats: 1984], jilid VIII, halaman 339).
 

Demikian kebolehan istri menggugat cerai suami yang menganggur dan tidak mampu memberi nafkah. Islam tidak menutup mata terhadap kondisi sulit yang dialami istri, dan memberi jalan keluar yang adil melalui mekanisme fasakh nikah.
 

Keputusan untuk menggugat cerai bukanlah solusi utama, melainkan jalan terakhir setelah upaya sabar dan dialog yang tidak membuahkan hasil. Fasakh nikah dalam Islam disyariatkan bukan untuk merusak ikatan rumah tangga, melainkan untuk melindungi hak-hak istri yang terabaikan. Wallahu a’lam.
 

 

Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan Madura