Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 24: Hukum Menikahi Istri Orang Lain

Sel, 7 Maret 2023 | 07:00 WIB

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 24: Hukum Menikahi Istri Orang Lain

Tafsir Surat An-Nisa ayat 24 perihal menikahi istri orang lain. (Ilustrasi: NU Online/freepik)

Artikel berikut ini menjelaskan Surat An-Nisa ayat 24 secara kajian tafsir. Surat An-Nisa ayat 24 mengandung bahasan perihal hukum menikahi istri orang lain. 


وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ، كِتَابَ اللهِ عَلَيْكُمْ، وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ، فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً، وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ، إِنَّ اللهِ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (النساء: 23)


Wal muhshanātu minan nisā-I illā mā malakat aimānukum, kitāballāhi 'alaikum, wa uhilla lakum mā warā'a dzālikum antabtaghū bi-amwālukum muhshinīna ghaira musāfihīna, famastamta'tum bihiī minhunna fa-ātūhunna ujūrahunna farīdhah, wa lā junāha 'alaikum fīmā tarādhaitum bihī mim ba'dil farīdhah, innallāha kāna 'alīman hakīmā.


Artinya, “Dan diharamkan bagi kalian menikahi para perempuan sedang mempunyai suami, kecuali menyetubuhi para budak perempuan yang kalian miliki; seperti itulah ketentuan muharramatun nisa yang Allah tentukan bagi kalian; dan dihalalkan bagi kalian selain para perempuan yang haram dinikahi itu, agar kalian mencari istri dengan harta-harta kalian dalam kondisi kalian sebagai orang yang menjaga agama kalian dengan mempunyai istri dan dalam kondisi bukan orang yang berzina. Lalu orang yang kalian setubuhi dari para perempuan yang halal dinikahi itu, maka bayarlah maharnya sebagai kefardhuan; dan tidak ada dosa bagi kalian dalam mahar yang kalian saling rela dengannya setelah membayar kadar mahar yang diwajibkan; sungguh Allah adalah Dzat yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana,” (An-Nisa’: 24).


Sababun Nuzul Surat An-Nisa' Ayat 24

Imam As-Suyuthi meriwayatkan sababun nuzul surat An-Nisa' ayat 24 dari riwayat Imam Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasai:


عن أبي سعيد الخدري قال أصبنا سبايا من سبي أوطاس لهن أزواج فكرهنا أن نقع عليهن ولهن أزواج فسألنا النبي صلى الله عليه وسلم فنزلت والمحصنات من النساء إلا ما ملكت أيمانكم يقول إلا ما أفاء الله عليكم فاستحللنا بها


Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Khudri, ia berkata: 'Kami para sahabat mendapatkan beberapa tawanan perempuan dari tawanan Authas (tempat pelarian sebagian kabilah Hawazin dari perang Hunain pada tahun 8 H) yang bersuami. Lalu kami tidak suka menggauli (mengakses kebutuhan biologis kepada) mereka, sementara mereka masih mempunyai suami. Kemudian kami tanyakan kepada Nabi Muhammad saw. Lalu turunlah ayat: 'Dan diharamkan bagi kalian menikahi para perempuan mempunyai suami, kecuali menyetubuhi para budak perempuan yang kalian miliki,' lalu kami menghalalkannya.” (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasai).


Sementara berkaitan ayat bagian akhir Imam As-Suyuti meriwayatkan sababun nuzul dari Imam At-Thabari:


قوله تعالى ولا جناح الآية: أخرج ابن جرير عن معمر بن سليمان عن أبيه قال زعم حضرمي أن رجالا  كانون يفرضون المهر ثم عسى أن تدرك أحدهم العسرة فنزلت ولا جناح عليكم فيما تراضيتم به من بعد الفريضة


Artinya: “Firman Allah Ta'ala 'wa lā junāha' sampai akhir ayat: 'Ibnu Jarir At-Thabari meriwayatkan dari Mu'mmar binb Sulaiman, dari Ayahnya, ia berkata: 'Seorang Hadrami (asal Hadramaut) menyangka bahwa para lelaki sering membayar mahar, lalu bisa jadi kesulitan ekonomi mengenai salah satu dari mereka, kemudian turun ayat: 'wa lā junāha 'alaikum fīmā tarādhaitum bihī mim ba'dil farīdhah,'” (Abdurrahman bin Abi Bakr As-Suyuthi, Lubabun Nuqul, [Beirut, Daru Ihya-il 'Ulum ], halaman 64).


Ragam Tafsir Surat An-Nisa' Ayat 24

Ayat 24 surat An-Nisa' memuat dua bahasan utama, yaitu kelanjutan keterangan tentang muharramatun nisa' atau sejumlah perempuan yang haram dinikah, dan tentang ketentuan mahar.


Bahasan pertama, tentang muharramatun nisa' atau sejumlah perempuan yang haram dinikah. Ayat 24 surat An-Nisa' menjelaskan keharaman menikahi perempuan yang masih menjadi istri orang lain. Kecuali dalam konteks dahulu saat masih berlakunya perbudakan akibat peperangan. Allah berfirman:


وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ


Artinya, “Dan diharamkan bagi kalian menikahi para perempuan sedang mempunyai suami, kecuali menyetubuhi para budak perempuan yang kalian miliki.”


Dalam kondisi seperti itu, tawanan perempuan boleh disetubuhi oleh orang yang memilikinya dengan berbagai syaratnya.


Menurut mazhab Syafi'i, kebolehan itu disyaratkan setelah melalui proses istibra', yaitu proses memastikan rahim kosong dari janin, yaitu:


1. Untuk perempuan yang haid, maka dengan melewati satu haid utuh.


2. Untuk perempuan yang belum atau yang sudah menopause, maka dengan melewati satu bulan; dan


3. Untuk wanita hamil, maka dengan melahirkan. (Muhammad As-Syirbini Al-Khatib, Al-Iqna', [Beirut, Darul Fikr: 1415 H], juz II, halaman 474-475).


Selain itu dalam mazhab Syafi'i juga ada ketentuan lain. Yaitu bagi tawanan perempuan yang bukan Ahli Kitab maka kebolehan disetubui itu bila ia sudah masuk Islam. (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, [Beirut, Daru Ihya-it Turats Al-'Arabi: 1392 H], juz X, halaman 35-36).


Kemudian Allah berfirman:


كِتَابَ اللهِ عَلَيْكُمْ، وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ،


Artinya, “Seperti itulah ketentuan muharramatun nisa yang Allah tentukan bagi kalian; dan dihalalkan bagi kalian selain para perempuan yang haram dinikahi itu, agar kalian mencari istri dengan harta-harta kalian dalam kondisi kalian sebagai orang yang menjaga agama kalian dengan mempunyai istri dan dalam kondisi bukan orang yang berzina.”


Maksudnya, ketentuan dalam ayat 22, 23, dan awal ayat 24 surat An-Nisa', merupakan ketentuan Allah tentang sejumlah perempuan yang haram dinikahi yang wajib ditaati oleh orang Islam.


Selain perempuan yang telah diharamkan dinikahi tersebut—demikian pula sejumlah perempuan yang haram dinikahi berdasarkan petunjuk hadits, yaitu (1) perempuan yang haram dinikahi karena hubungan persusuan; (2) bibi, baik dari jalur ayah maupun ibu dari istri, (3) perempuan yang sumpah li'an oleh suaminya; dan (4) perempuan yang sedang menjalani masa idah—, maka boleh dinikahi oleh lelaki muslim, dimana pernikahannya itu dengan maksud menjaga agama dan menjauhi zina. (Ahmad bin Muhammad As-Shawi, Hasyiyatus Shawi ‘ala Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], juz I, halaman 283); dan (Abdul Qadir Al-Jailani, Tafsir Al-Jailani, [Istanbul, Markaz Al-Jailani lil Buhutsil 'llmiyah: 2009], juz I, halaman 382).


Bahasan kedua, tentang ketentuan mahar. Allah berfirman:


فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً، وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ،


Artinya, “Lalu orang yang kalian setubuhi dari para perempuan yang halal dinikahi itu, maka bayarlah maharnya sebagai kefardhuan; dan tidak ada dosa bagi kalian dalam mahar yang kalian saling rela dengannya setelah membayar kadar mahar yang diwajibkan."


Maksudnya, perempuan-perempuan yang dinikahi dan telah disetubuhi, maka wajib dibayar maharnya secara penuh. Masalah nanti ada kesepakatan lain setelah mahar terbayar, seperti istri merelakan sebagian mahar digunakan untuk keperluan suami dan semisalnya, maka tidak masalah. Asalkan berdasarkan kerelaan istri, maka suami boleh menggunakan mahar yang telah diberikan  kepadanya. Meminjam penjelasan Imam As-Shawi, bagian akhir ayat 24 ini semakna dengan ayat 4, yaitu:


وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً، فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا


Artinya, “Dan berikanlah wanita-wanita yang kalian nikahi maskawinnya secara suka rela. Lalu bila mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS An-Nisa': 4).


Adapun manfaat mengulangi penjelasan kebolehan suami menggunakan mahar untuk keperluan pribadinya seizin istri dalam ayat 24 ini adalah untuk mempertegas kehalalannya. Demikian dijelaskan oleh As-Shawi. (As-Shawi: I/283).


Di akhir ayat Allah menutupnya dengan kalimat:


إِنَّ اللهِ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا 


Artinya, “Sungguh Allah adalah Dzat yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana,” (An-Nisa ayat 23).


Merujuk penjelasan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, maksudnya adalah Allah Dzat yang maha membuat baik kondisi para hamba-Nya, merupakan Dzat Yang Maha Mengetahui atas kesepakatan dan kerelaan yang terjadi di antara mereka, dan Dzat Yang Maha Bijaksana dengan mewujudkan kesepakatan dan kerelaan itu untuk memperbaiki kehidupan mereka. (Al-Jailani: I/383). Wallahu a'lam.


Ustadz Ahmad Muntaha AM–Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda