Ungkapan Pisah Ranjang dalam Hukum Positif di Indonesia
Sabtu, 19 Juli 2025 | 09:00 WIB
Dahulu kala, bentuk perceraian yang terjadi pada masa Jahiliah bisa disebabkan oleh talak (ungkapan cerai langsung dari suami kepada istri), ila’ (sumpah suami untuk tidak menyentuh istrinya dalam jangka waktu tertentu), dan zhihar (ungkapan pisah ranjang dengan menyamakan istri dengan perempuan yang haram dinikahi, seperti ibu kandung).
Mengutip keterangan Imam Asy-Syafi’i, Kamaluddin Ad-Damiri menjelaskan:
وقال الشافعي: سمعت ممن أرضى من أهل العلم أن أهل الجاهلية كانوا يطلقون بالظهار والإيلاء والطلاق، فأقر الله تعالى الطلاق طلاقًا، وحكم في الإيلاء والظهار بحكمهما
Artinya: “Imam Syafi’i berkata, aku mendengar dari seorang ilmuan yang aku ridhai bahwa masyarakat Jahiliyah menceraikan istrinya dengan zhihar, ila’, dan talak. Kemudian Allah menetapkan talak sebagai perceraian, sedangkan ila’ dan zhihar dengan hukumnya tersendiri.” (Abul Baqa’ Muhammad Ad-Damiri, Najmul Wahhaj fi Syarhil Minhaj, [Jeddah: Darul Minhaj, 2004], jilid. VIII, hlm. 25)
Islam kemudian datang dengan merevisi hukum terkait ungkapan pisah ranjang (zhihar) dan menetapkan dosa besar bagi siapa pun yang melakukannya, melalui firman-Nya dalam surat Al-Mujadilah ayat 1, Allah berfirman:
قَدْ سَمِعَ اللّٰهُ قَوْلَ الَّتِيْ تُجَادِلُكَ فِيْ زَوْجِهَا وَتَشْتَكِيْٓ اِلَى اللّٰهِۖ وَاللّٰهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَاۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌۢ بَصِيْرٌ
Artinya: “Sungguh, Allah telah mendengar ucapan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu (Nabi Muhammad) tentang suaminya dan mengadukan kepada Allah, padahal Allah mendengar percakapan kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Mujadilah: 1)
Pengertian Zhihar
Sebagaimana dikutip dari kitab Fathul Qarib karya Syekh Ibnu Qasim al-Ghazi, definisi zhihar atau ungkapan pisah ranjang adalah sebagaimana berikut:
وهو لغةً مأخوذ من الظَهر، وشرعًا تشبيه الزوج زوجتَه غير البائن بأنثى لم تكن حِلًاّ له
Artinya: “Secara etimologi, zhihar diambil dari kata ‘azh-zhahru’ yang bermakna ‘punggung’. Sedangkan dalam terminologi syariah, zhihar adalah perkataan suami yang menyerupakan istrinya (yang tidak tertalak ba’in) dengan wanita yang tidak halal dinikahi oleh sang suami tersebut.” (Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib Al-Mujib, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 1425 H], hlm. 248)
Para ulama sepakat bahwa ungkapan pisah ranjang (zhihar) hukumnya adalah haram dan termasuk dosa besar. Hal itu didasarkan pada firman Allah surat Al-Mujadilah ayat 2:
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ
Artinya, “Orang-orang yang menzhihar istrinya (menganggapnya sebagai ibu) di antara kamu, istri mereka itu bukanlah ibunya. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah perempuan yang melahirkannya. Sesungguhnya mereka benar-benar telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun,”
Zhihar merupakan tindakan mungkar dan tercela, sebab ia mempersulit dan menghalangi apa yang semestinya bisa dilakukan oleh suami-isteri, serta termasuk perbuatan buruk terhadap seseorang yang mestinya harus diperlakukan baik (istri), sekaligus hal yang dapat mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah Swt, dalam hal ini adalah berhubungan suami istri.
2 Konsekuensi Zhihar
Jika seorang suami menjatuhkan zhihar pada istrinya, maka berlaku konsekuensi sebagai berikut:
- Jika ungkapan zhihar sang suami diiringi dengan talak, seperti setelah mengucapkan zhihar kemudian mengucapkan talak, maka hukum zhihar masuk secara otomatis ke dalam hukum-hukum yang berkaitan dengan talak.
- Jika ungkapan zhihar tidak diikuti talak, maka tidak tercapai sesuatu yang memutuskan pernikahan. Sebab, zhihar dianggap kembali kepada perkataan suami dan bertolak belakang dengan ucapannya sendiri. Konsekuensinya, ketika suami tidak berpisah dengan istri karena telah menyerupakannya dengan salah seorang mahramnya, maka penyerupaan itu hanya dianggap pembatal dari pihak suami dan pelanggar ketentuan. Maka dalam kondisi itu, si suami hanya diwajibkan menunaikan kafarat dan dilakukan pada saat itu pula. (Dr. Mushthafa al-Khin dkk, Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Daul Qalam: 1413 H], jilid. IV, hlm. 147).
Adapun bentuk kafaratnya pertama adalah memerdekakan budak beriman yang sehat jasmani dan rohani serta giat dalam bekerja. Kedua adalah berpuasa selama dua bulan hijriah secara berturut-turut. Ketiga memberi makanan kepada 60 orang miskin. Masing-masing sebanyak satu mud (kira-kira ¾ kg) makanan pokok di negeri si pelaku. Ketentuannya, kafarat tersebut harus berurutan dan bertahap. Tidak bisa langsung beralih kepada kafarat yang ketiga selama kafarat pertama atau kedua bisa ditunaikan.
Ketentuan Zhihar di Indonesia
Secara eksplisit, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dan perubahannya, serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi pedoman utama dalam hukum perkawinan di Indonesia, tidak mengatur secara langsung dan spesifik mengenai ungkapan pisah ranjang (zhihar) sebagai salah satu sebab putusnya ikatan perkawinan atau sebagai bentuk sanksi dalam rumah tangga.
Meskipun tidak diatur secara eksplisit, mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan KHI merupakan hukum materiil di Pengadilan Agama, praktik dan konsekuensi ungkapan pisah ranjang (zhihar) menurut syariat Islam tetap diakui dalam ranah keagamaan. Jika ada kasus zhihar yang diajukan ke pengadilan, hakim dapat melakukan penemuan hukum dengan merujuk pada ketentuan fikih Islam sebagai bagian dari hukum yang hidup di masyarakat, namun tidak akan menjadikan ungkapan pisah ranjang sebagai dasar tunggal putusnya perkawinan.
Perbuatan ungkapan pisah ranjang (zhihar), meskipun tidak diatur secara langsung, dapat menimbulkan dampak psikologis yang serius bagi istri. Ucapan yang menyamakan istri dengan mahram dapat merendahkan martabat dan menyakiti perasaan istri. Dalam konteks ini, zhihar berpotensi dikategorikan sebagai bentuk kekerasan psikologis dalam rumah tangga sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
UU PKDRT mendefinisikan KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga. Sehingga, jika ungkapan pisah ranjang (zhihar) menyebabkan penderitaan psikologis bagi istri, hal ini bisa menjadi salah satu alasan yang mendukung gugatan perceraian atas dasar perselisihan dan pertengkaran terus-menerus, atau bahkan dilaporkan sebagai KDRT.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum positif di Indonesia tidak secara eksplisit mengatur ketentuan ungkapan pisah ranjang (zhihar). Namun, jika perbuatan zhihar ini bisa menimbulkan dampak negatif, khususnya penderitaan psikologis bagi istri, hal tersebut dapat dilihat dalam kerangka hukum KDRT atau sebagai indikasi keretakan rumah tangga yang menjadi dasar gugatan perceraian. Penyelesaian zhihar dalam praktik biasanya akan merujuk pada ketentuan kafarah dalam hukum Islam, yang ditekankan untuk menjaga keberlangsungan perkawinan. Wallahu a’lam.
Muhammad Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.