Di antara pandangan yang sudah jamak diketahui adalah bersyukur ketika mendapatkan sesuatu yang disukai atau yang sesuai dengan nafsu meskipun tidak pernah diminta. Seperti nikmat sehat yang pasti diinginkan oleh semua orang. Maka ketika nikmat ini dicabut sedikit saja, ada rasa sakit di salah satu anggota tubuhnya, misalnya, maka rasa syukur tersebut menjadi berkurang, kemudian mengeluh bahkan menggerutu.
Pandangan ini memang tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Sebab sejatinya segala sesuatu yang menimpa terhadap umat Islam, entah yang menyenangkan atau yang menyedihkan, selama masih beriman maka hal tersebut patut disyukuri. Sebab, sebagaimana kata Syekh Nawawi di dalam kitabnya, Qaṭrul Ghaits, sebaik-baiknya anugerah dari Allah adalah iman dan Islam.
Iman dan Islam ini merupakan fondasi utama perilaku seseorang dalam berbagai aspek kehidupannya, tentu dalam keberagamaannya khususnya. Maka selama pondasi ini masih ada dan kokoh, apa pun yang berada di hadapan seorang muslim sangat pantas untuk disyukuri. Ketika mendapatkan kenikmatan akan bersyukur, begitu juga ketika mendapatkan musibah.
Hal ini pasti menimbulkan pertanyaan: mengapa ketika tertimpa musibah tetap harus bersyukur? Karena seorang muslim sejati akan meyakini bahwa itu merupakan kehendak Allah, dan setiap kehendak-Nya pasti ada kebaikan di dalamnya. Sekurang-kurangnya hadis berikut dapat menjadi barometernya:
إنَّ اللهَ تَعَالَى إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ
Artinya, "Sesungguhnya Allah ketika menyukai suatu kaum/hamba maka akan memberi mereka cobaan." (HR. Ibnu Majah)
Bila dalam hal yang tidak menyenangkan saja masih pantas disyukuri, apalagi dalam hal yang membahagiakan tentu akan semakin pantas lagi. Serta dengan segala anugerah Allah yang telah diberikan selama ini, seyogyanya cara bersyukurnya tidak cukup sekadar mengucapkan hamdalah saja sebagaimana yang sering dilakukan ketika mendapatkan kenikmatan.
Cara bersyukur atas anugerah-anugerah-Nya bisa ditingkatkan dengan semakin bersemangat dalam mengerjakan syariat-Nya, bahkan hingga level syariat yang bersifat sunnah. Hal inilah yang dilakukan Nabi ketika salat malam sampai membuat kakinya bengkak, kemudian Siti Aisyah berkomentar: "Ya Rasulullah, mengapa Anda melakukan ini? Bukankah Tuhan Anda telah mengampuni dosa-dosa Anda di masa lalu dan masa akan datang?" Nabi merespons komentar tersebut dengan bersabda:
أَفَلَا أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا
Artinya, "Apakah saya tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur?" (HR. At-Tirmidzi)
Sebagaimana diketahui, kehidupan Nabi Muhammad penuh dengan rintangan dan perjuangan. Pada saat bersamaan, Nabi juga dijadikan sebagai pemimpin para nabi dan rasul. Kedua aspek ini sama-sama disyukuri oleh Nabi dengan cara beribadah seperti itu sebagai bentuk terima kasih Nabi kepada Allah atas semua hal yang diterimanya.
Dengan demikian, mensyukuri segala anugerah Allah mempunyai berbagai level. Maka ketika beribadah dengan niat mensyukuri anugerah-Nya, yaitu iman, Islam, kesehatan, dan kesempatan, nilai ibadahnya akan berbeda dengan seseorang yang beribadah hanya ingin menggugurkan kewajibannya belaka. Mungkin dari segi lahirnya keduanya terlihat sama saja, tapi Allah dapat mengetahui perbedaan segi batin keduanya.
Oleh karena itu, ketika ibadah dilakukan dengan latar belakang rasa syukur, maka akan lebih serius, fokus, dan khidmat meskipun mungkin itu hanya aspek-aspek eksternal yang seolah-olah tidak terlalu penting. Seperti aspek penampilan, yang dilakukan secara selektif sebagai bentuk totalitasnya dalam beribadah.
Ketika sudah mencapai level ini, maka seorang muslim tersebut bisa saja termasuk dalam kategori ayat yang berbunyi:
وَإِنَّ رَبَّكَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَشْكُرُونَ
Artinya, "Sesungguhnya Tuhanmu niscaya pemberi anugerah terhadap manusia, namun kebanyakan mereka tidak bersyukur." (QS. An-Naml: 73)
Wahbah az-Zuhaili dalam kitab Tafsirul Munir Juz 20, halaman 25, mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa Allah merupakan Dzat yang memberikan anugerah kepada seluruh umat manusia, baik yang beriman maupun yang kafir, dengan sempurna selama di dunia, serta menunda memberikan sanksi atas kekufuran dan kemaksiatan mereka. Hanya saja, mayoritas mereka tetap tidak mensyukuri itu semua.
Dengan mengetahui ayat ini serta bagaimana cara Rasulullah mensyukuri segala anugerah Allah, semoga ada peningkatan dalam cara bersyukur kita. Mulai saat ini, melatih dari hal-hal yang paling sederhana hingga yang paling besar sebagai media untuk bersyukur atas karunia Allah yang tidak akan pernah bisa dihitung jumlahnya.
Ustadz M. Syarofuddin Firdaus, Dosen Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah Ciputat