Syariah

Tobat dan Syukur untuk Self-Healing Spiritual di Akhir Tahun

Sabtu, 28 Desember 2024 | 20:30 WIB

Tobat dan Syukur untuk Self-Healing Spiritual di Akhir Tahun

Tobat dan syukur. (Foto: NU Online/Freepik)

Akhir tahun sering kali membawa kita pada momen perenungan yang mendalam. Saat kita menilai kembali perjalanan hidup yang telah dilalui, banyak yang merasa bahwa waktu berlalu begitu cepat, meninggalkan banyak penyesalan dan kelalaian. Namun, di balik itu semua, ada dua jalan spiritual yang menjadi self-healing dan membuka kesempatan untuk pemulihan diri, yaitu tobat dan syukur. 


Tobat mengajak kita untuk kembali kepada Allah, mengakui kesalahan, dan memperbaiki diri. Sementara syukur mengajarkan kita untuk menghargai setiap nikmat yang telah diberikan-Nya, merasa bahagia atas apa yang telah tercapai, dan berterima kasih dengan hati yang tulus.


Akhir tahun adalah waktu yang tepat untuk meresapi kedua hal ini. Merenungkan dosa-dosa yang telah diperbuat serta mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan Allah. Dengan tobat, kita memperbaiki hubungan dengan Allah, sementara dengan syukur kita memperkuat hati untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna di tahun yang baru.


Tobat

Akhir tahun sering menjadi momen refleksi bagi banyak orang. Di tengah evaluasi diri, konsep tobat dalam Islam menawarkan panduan spiritual yang relevan untuk self-healing. Tobat bukan sekadar ritual agama, tetapi proses mendalam yang melibatkan pikiran, perasaan, dan tindakan. Dengan memahami hakikat tobat, seseorang dapat menemukan ketenangan batin dan memperbaiki hubungan dengan Allah.


Imam Al-Ghazali menjelaskan konsep tobat sebagai berikut:


اعْلَمْ أَنَّ التَّوْبَةَ مَعْنًى يَنْتَظِمُ مِنْ ثَلَاثَةِ أُمُورٍ: عِلْمٍ وَحَالٍ وَفَعْلٍ، وَالْأَوَّلُ مُوجِبٌ لِلثَّانِي، وَالثَّانِي مُوجِبٌ لِلثَّالِثِ


Artinya: “Ketahuilah, tobat terdiri dari tiga unsur yang saling berkaitan, yaitu pengetahuan, kondisi hati, dan perbuatan. Unsur pertama melahirkan unsur kedua, dan unsur kedua melahirkan unsur ketiga.” (Ihya 'Ulumiddin, [Beirut: Darul Fikr, 2018], juz 4, h. 4)


Selanjutnya, Al-Ghazali menguraikan bahwa yang dimaksud pengetahuan adalah kesadaran seorang hamba atas segala dosa yang telah diperbuatnya. Ia menyadari betul bahwa dosa laksana racun yang sangat membahayakan dirinya dan membuat dia terhalang dari keterhubungan dengan Allah swt.  Kesadaran ini menuntut keyakinan mendalam yang dapat menggugah hati untuk mengakui kesalahan dan dampaknya pada kehidupan spiritual.


Penyesalan adalah inti dari tobat. Ketika seseorang memahami besarnya dosa, hati mulai merasakan sakit dan kehilangan. Rasa sakit ini muncul karena menyadari bahwa dosa menjauhkan diri dari hubungan dengan Allah yang selama ini menjadi sumber ketenangan. Penyesalan bukan hanya perasaan sedih, tetapi juga kesadaran emosional yang mendorong perubahan nyata dalam diri. Dalam tasawuf, gejolak batin inilah yang disebut sebagai ḥāl.


Dari penyesalan, lahirlah tekad untuk bertindak. Tobat mengharuskan seseorang mengambil langkah konkret untuk meninggalkan dosa, bertekad tidak mengulanginya, dan memperbaiki dampak buruk yang telah terjadi. Inilah bentuk nyata dari healing melalui tobat, memperbaiki hubungan dengan Allah, dengan diri sendiri, dan dengan sesama. Proses ini memberikan rasa lega, membangun harapan baru, dan memulihkan jiwa dari luka spiritual.


Tobat bukan hanya untuk mereka yang melakukan dosa besar, tetapi untuk siapa saja yang merasa perlu mendekatkan diri kepada Allah. Akhir tahun adalah waktu yang tepat untuk memulai proses ini. Seorang hamba bisa merenungkan sejenak dan flash back ke kehidupan yang telah dilaluinya selama ini, terutama selama satu tahun terakhir. Betapa banyak kewajiban Tuhan yang telah diabaikan, dosa-dosa yang telah ia perbuat, dan kebaikan-kebaikan yang belum tertunaikan.


Di dalam keheningan, rasakan getaran spiritual yang menyentuh jiwa. Biarkan setiap kesalahan yang pernah dilakukan muncul dalam kesadaran. Mohonlah ampun kepada Allah dengan penuh kesungguhan. Lalu bertekadlah pada diri sendiri dan kepada-Nya untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi di perjalanan hidup yang akan dilaluinya.


Syukur

Akhir tahun adalah waktu yang penuh makna untuk merenung dan meresapi perjalanan hidup. Dalam ajaran Islam, syukur menjadi landasan penting untuk mengolah pengalaman hidup dan menghadirkan kedamaian batin. Syukur bukan hanya tentang rasa terima kasih, melainkan juga proses mendalam yang melibatkan pikiran, hati, dan tindakan, menjadikannya jalan menuju pemulihan diri yang sejati.


Tidak jauh berbeda dengan konsep tobat, Al-Ghazali menjelaskan konsep syukur sebagai berikut:


اعْلَمْ أَنَّ الشُّكْرَ يَنْتَظِمُ مِنْ عِلْمٍ وَحَالٍ وَعَمَلٍ، فَالْعِلْمُ مَعْرِفَةُ النِّعْمَةِ مِنَ الْمُنْعِمِ، وَالْحَالُ هُوَ الْفَرَحُ الْحَاصِلُ بِإِنْعَامِهِ، وَالْعَمَلُ هُوَ الْقِيَامُ بِمَا هُوَ مَقْصُودُ الْمُنْعِمِ وَمَحْبُوبُهُ


Artinya: “Ketahuilah, syukur terdiri atas tiga unsur, yaitu pengetahuan, kondisi hati, dan perbuatan. Yang dimaksud pengetahuan adalah menyadari nikmat yang telah dianugerahkan Allah, sedangkan yang dimaksud kondisi hati (ḥāl) adalah perasaan bahagia atas nikmat yang telah diperoleh, sementara perbuatan adalah amal perbuatan yang lahir sebagai bentuk ketaatan kepada Sang Pemberi Nikmat.” (Ihya 'Ulumiddin, juz 4, h. 99)


Dari penjelasan Al-Ghazali ini dapat dipahami bahwa syukur dimulai dengan kesadaran akan sumber segala nikmat, yaitu Allah. Kesadaran ini membentuk pengetahuan dalam hati, yaitu pemahaman dan kesadaran bahwa segala kebaikan yang kita terima adalah pemberian dari Sang Pemberi Nikmat. Dengan menyadari hal ini, hati kita tergerak untuk bersyukur karena menyadari bahwa semua nikmat yang ada bukan hasil semata dari usaha manusia, melainkan anugerah ilahi.


Hati yang tergerak untuk bersyukur akan melakukan perbuatan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah swt. Al-Ghazali membagi perbuatan ini ke dalam tiga kelompok, yaitu perbuatan hati berupa niat dan tekad untuk melakukan kebaikan, perbuatan lisan berupa ucapan syukur alhamdulillah, dan perbuatan anggota tubuh berupa memanfaatkan dan menggunakan semaksimal mungkin gerak tubuh untuk lebih giat lagi beribadah dan melakukan kebaikan. Inilah bentuk syukur yang utuh dan menyeluruh.


Akhir tahun menjadi momen yang tepat untuk menumbuhkan syukur sebagai cara self-healing. Dengan merefleksikan nikmat yang telah diterima selama ini, terutama satu tahun terakhir, seorang hamba dapat memperbaiki hubungan dengan Allah dan memperbarui semangat hidup. Tentu, kita tidak akan mampu menghitung nikmat yang telah dianugerahkan Allah swt, bahkan kehadiran kita di penghujung tahun ini merupakan bentuk nikmat yang tidak bisa ditukar oleh apapun.


Di akhir tahun ini, mari kita renungkan perjalanan yang telah kita lewati. Tobat dan syukur bukan hanya tentang memperbaiki diri, tetapi juga tentang menerima segala yang telah terjadi dengan hati yang lebih lapang. Semoga kita semua bisa melangkah ke tahun yang baru dengan kedamaian dan tekad yang lebih kuat.


Muhamad Abror, Dosen Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta