Tarikh Ath-Thabari: Kitab Sejarah Islam Tua yang Kebal dari Intervensi Rezim
Kamis, 26 Juni 2025 | 14:00 WIB
Dalam dunia historiografi Islam, nama Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H) dikenal bukan sekadar sebagai sejarawan, tetapi juga sebagai penjaga integritas sejarah yang nyaris tak tertandingi. Karya monumentalnya, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (lebih dikenal sebagai Tarikh ath-Thabari), telah menjadi rujukan utama dalam studi sejarah awal Islam, termasuk oleh para sarjana Barat. Keistimewaannya terletak bukan hanya pada keluasan narasi, tetapi juga pada keberaniannya menulis sejarah "sebagaimana adanya", bahkan ketika menyangkut sisi kelam kekuasaan Bani Abbasiyah.
Ath-Thabari hidup pada masa dominasi Dinasti Abbasiyah, sebuah rezim kuat yang kerap mempraktikkan sensor dan pengawasan ketat terhadap naskah-naskah yang berpotensi menurunkan citra kekhalifahan. Tragedi Mihnah, misalnya, yang berupaya menerapkan ortodoksi Mu'tazilah secara otoriter dan menjatuhkan banyak korban. Namun uniknya, dalam Tarikh-nya, Thabari menarasikan berbagai peristiwa tragis, kudeta, pengkhianatan, bahkan pembunuhan di lingkungan istana Abbasiyah tanpa tedeng aling-aling. Upaya ini menjadi bukti independensi akademik yang luar biasa dari seorang ulama di tengah tekanan penguasa.
Salah satu kisah mengerikan yang dicatat Thabari adalah pembunuhan Khalifah Al-Mutawakkil (r. 232–247 H) oleh putranya sendiri, Al-Muntashir, hanya demi kursi kekuasaan. Kejadian ini bukan hanya kudeta dalam rumah tangga kekhalifahan, tapi juga salah satu bukti betapa politik dinasti Abbasiyah penuh darah dan intrik. Dalam narasi Thabari, pembunuhan tersebut berlangsung secara dramatis dan brutal. Al-Mutawakkil dibunuh oleh para pengawal atas perintah Al-Muntashir, dengan tubuhnya ditikam dan dirobek, lalu kekuasaan langsung beralih kepada si pembunuh.
Ironinya, hanya sesaat setelah darah Al-Mutawakkil tumpah oleh tangan anaknya sendiri, Al-Muntashir langsung disambut sebagai khalifah tanpa jeda penyesalan. Tak ada jeda duka atau isak penyesalan dari pelaku, bahkan Al-Muntashir tampak dingin menerima baiat kekuasaan. Berikut adalah kutipan narasi Thabari yang membuat kita tidak habis pikir:
فَبَعَجَ بَطْنَهُ بِالسَّيْفِ، وَبَدَرَ الْبَاقُونَ إِلَى الْمُتَوَكِّلِ، وَهَرَبَ عُثْعُثُ عَلَى وَجْهِهِ.... وَخَرَجَ الْقَوْمُ إِلَى الْمُنْتَصِرِ، فَسَلَّمُوا عَلَيْهِ بِالْخِلَافَةِ، وَقَالُوا: مَاتَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ، وَقَامُوا عَلَى رَأْسِ زَرَافَةَ بِالسُّيُوفِ، فَقَالُوا لَهُ: بَايِعْ، فَبَايَعَهُمْ، وَأَرْسَلَ الْمُنْتَصِرُ إِلَى وَصِيفٍ: إِنَّ الْفَتْحَ قَتَلَ أَبِي، فَقَتَلْتُهُ، فَاحْضُرْ فِي وُجُوهِ أَصْحَابِكَ، فَحَضَرَ وَصِيفٌ وَأَصْحَابُهُ فَبَايَعُوا.
Artinya, "Lalu perutnya dibelah dengan pedang, dan yang lain segera menyerang Al-Mutawakkil. Para pembunuh itu lalu mendatangi Al-Muntashir dan membaiatnya sebagai khalifah, sambil berkata, "Amirul Mukminin telah wafat." Mereka mendatangi Zarafah (salah satu pejabat istana) sambil menghunuskan pedang dan berkata, "Baiatlah!" Maka ia pun membaiat. Lalu Al-Muntashir mengirim pesan kepada Washif (komandan militer), "Fath telah membunuh ayahku, dan aku telah membunuhnya. Hadirlah bersama orang-orangmu." Maka Washif dan para pengikutnya datang dan turut membaiat." (Thabari, Tarikhul Umam wal Muluk, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, 2011], juz V, h. 337)
Thabari tidak menyensor kutukan rakyat maupun narasi tragis dari peristiwa ini. Ia bahkan mencatat bahwa orang-orang dalam istana mengetahui rencana pembunuhan namun memilih bungkam demi menjaga suasana hati sang khalifah yang sedang bergembira. Upaya ini menegaskan bahwa tragedi tersebut bukan kebetulan, melainkan hasil dari konspirasi politik yang disusun matang, dan Thabari menuliskannya dengan jujur.
Kisah lain yang menunjukkan keberanian Thabari adalah catatannya tentang kekejaman Khalifah al-Mu'tadhid (berkuasa tahun 279–289 H). Dalam salah satu bagian Tarikh-nya, Thabari menuturkan upaya Al-Muʿtadhid saat memerintahkan penyiksaan sadis terhadap seorang bernama Syamilah, seorang tahanan politik yang dituduh menghasut pemberontakan. Orang itu dibakar di atas kayu hingga kulitnya terkelupas sebelum akhirnya dipenggal dan disalib di jembatan Baghdad. (Thabari, Tarikhul Umam wal Muluk, juz X, h. 32)
Lebih dari itu, al-Mu'tadhid juga mencatat sejarah kelam dengan memerintahkan pembunuhan, bahkan penyanderaan dan penculikan perempuan dan anak-anak dalam ekspedisinya ke wilayah Syiban. Thabari tidak menyembunyikan catatan bahwa ribuan warga sipil dibunuh dan ditenggelamkan, serta ribuan lainnya ditawan dan digiring ke Baghdad. Padahal, Islam menegaskan bahwa dalam kondisi berperang, warga sipil tidak boleh menjadi korban.
Baca Juga
Sejarah dan Asal Muasal Shalawat Nabi
Fakta ini menggambarkan bahwa kekuasaan Abbasiyah tidak hanya diselimuti kemegahan istana, tetapi juga penuh dengan kekerasan struktural terhadap masyarakat pinggiran. Berikut adalah laporan kutipan Ath-Thabari terkait kekejaman Al-Mu'tadhidh:
ثُمَّ وَرَدَ كِتَابُ ٱلْمُعْتَضِدِ أَنَّهُ أَسْرَى إِلَى ٱلْأَعْرَابِ مِنَ ٱلسِّنِّ، فَأَوْقَعَ بِهِمْ، فَقَتَلَ مِنْهُمْ مَقْتَلَةً عَظِيمَةً، وَغَرِقَ مِنْهُمْ خَلْقٌ كَثِيرٌ فِي ٱلزَّابَيْنِ، وَأَخَذَ ٱلنِّسَاءَ وَٱلذَّرَارِيَّ، وَغَنِمَ أَهْلُ ٱلْعَسْكَرِ مِنْ أَمْوَالِهِمْ مَا أَعْجَزَهُمْ حَمْلُهُ، وَأَخَذَ مِنْ غَنَمِهِمْ وَإِبِلِهِمْ مَا كَثُرَ فِي أَيْدِي ٱلنَّاسِ حَتَّى بِيْعَتِ ٱلشَّاةُ بِدِرْهَمٍ وَٱلْجَمَلُ بِخَمْسَةِ دَرَاهِمَ، وَأَمَرَ بِٱلنِّسَاءِ وَٱلذَّرَارِيِّ أَنْ يُحْفَظُوا حَتَّى يُحْدَرُوا إِلَى بَغْدَادَ.
Artinya, "Kemudian datang surat dari Khalifah Al-Muhtadhihd yang memberitahukan bahwa ia telah menyerbu kelompok Arab dari wilayah As-Sinn. Ia menyerang mereka dengan kekuatan besar. Banyak yang tewas, banyak pula yang tenggelam di Sungai Az-Zab. Perempuan dan anak-anak mereka ditawan, dan pasukannya memperoleh rampasan yang sangat banyak hingga tak sanggup dibawa semua. Kambing dan unta rampasan membanjiri pasar sampai-sampai kambing dijual hanya satu dirham dan unta lima dirham. Al-Muʿtadhid memerintahkan agar para perempuan dan anak-anak tawanan dijaga dengan ketat untuk kemudian dibawa ke Baghdad." (Thabari, Tarikhul Umam wal Muluk, juz VIII, h. 166)
Meski hidup dalam atmosfer seperti itu, Thabari tetap menuliskan kebenaran. Ia tidak membungkus kekerasan dengan pujian, tidak menyelewengkan fakta menjadi glorifikasi. Bahkan khalifah muda seperti al-Muqtadir (berkuasa tahun 295–320 H) yang naik tahta di usia 13 tahun, Thabari narasikan sebagai boneka kekuasaan. Ia mendeskripsikan bagaimana kebijakan negara diatur oleh para panglima dan pejabat bayangan, sementara khalifah hanya menjadi simbol formal yang tak punya kendali.
Thabari tidak berhenti pada deskripsi peristiwa politik. Ia juga mencatat penderitaan sosial-ekonomi yang diakibatkan ketidakmampuan pemerintah pusat. Ia menulis bahwa pada masa al-Muqtadir, para jemaah haji kelaparan dan kehausan di perjalanan pulang dari Mekah. Beberapa bahkan dikisahkan minum air kencing sendiri untuk bertahan hidup. Ironi ini merupakan bukti bahwa kekuasaan Abbasiyah bukan hanya gagal dalam mengelola politik, tapi juga gagal dalam fungsi dasar negara, yaitu melindungi warganya. (Thabari, Tarikhul Umam wal Muluk, juz X, h. 139)
Menariknya, dalam setiap babakan peristiwa, Thabari tidak serta-merta menjadi hakim yang menghakimi. Ia menyajikan narasi dari berbagai sumber, membiarkan pembaca untuk menyimpulkan. Gaya riwayat ini, yang mencantumkan sumber-sumber periwayat secara jujur, menjadikan Tarikh ath-Thabari bukan hanya sumber sejarah, tapi juga karya ilmiah yang metodologis. Ia membedakan antara apa yang ia yakini dan apa yang ia riwayatkan.
Keberanian Thabari untuk menuliskan sejarah gelap Abbasiyah ini menjadi ironi tersendiri. Sebab, di masa itu, beberapa sejarawan memilih menulis atas perintah penguasa dengan menyusun sejarah resmi istana yang penuh glorifikasi dan pemutihan dosa politik. Misalnya, Al-Baladzuri (w. 892), penulis Futuhul Buldan, bekerja di bawah Khalifah al-Mutawakkil dan dikenal karena tulisannya yang menampilkan penaklukan Islam dengan nada yang mendukung kekuasaan Bani Umayyah dan Abbasiyah. Ia jarang menyinggung aspek represif atau kezaliman dalam kebijakan ekspansi kekuasaan tersebut.
Dengan reputasinya sebagai mufassir dan faqih besar, Thabari justru menjaga marwah keilmuan dengan mencatat segala yang terjadi meski pahit dan menakutkan. Tidak heran bila Tarikh ath-Thabari menjadi kitab yang tidak lekang oleh zaman. Bukan hanya karena kelengkapannya, tapi karena keberaniannya. Di tengah dominasi narasi tunggal dari penguasa, karya ini menjadi oase kebenaran yang ditulis tanpa takut. Bahkan ketika sejarawan sezamannya bungkam atau tunduk, Thabari tetap mencatat kebenaran sejarah sebagaimana faktanya.
Akhirnya, membaca Tarikh ath-Thabari bukan hanya berarti membuka lembaran masa lalu. Ia adalah cermin kejujuran sejarah yang langka, yang bahkan hari ini sulit ditemukan. Jika sejarah adalah jendela peradaban, maka Tarikh ath-Thabari adalah jendela yang tidak dilapisi tirai kepentingan. Terbuka bagi siapa pun yang ingin belajar dari masa lalu dengan jujur dan kritis.
Ustadz Muhamad Abror, dosen filologi dan sejarah Islam Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta.