Sirah Nabawiyah

Upaya Pemutihan Narasi Sejarah di Era Pemerintahan Bani Umayyah

Rabu, 18 Juni 2025 | 10:00 WIB

Upaya Pemutihan Narasi Sejarah di Era Pemerintahan Bani Umayyah

Ilustrasi penghapusan sejarah. Sumber: Canva/NU Online.

Di balik kejayaan kekuasaan Bani Umayyah, tersimpan kisah pilu ketika narasi sejarah dijadikan alat kekerasan simbolik. Pernahkah Anda membayangkan mimbar-mimbar masjid, yang mestinya mengajarkan cinta dan kedamaian, justru dipakai untuk melaknat seorang sahabat utama Nabi? Artikel ini mengungkap sisi kelam politik era Umayyah dan upaya seorang khalifah yang berani meluruskannya, sekaligus penulis tidak bermaksud menyinggung polemik apa pun yang sedang ramai saat ini. 


Tindakan ini bukan muncul tiba-tiba, melainkan berakar dari ketegangan politik pasca wafatnya 'Ali bin Abi Thalib, ketika Bani Umayyah berupaya merebut narasi sah kepemimpinan umat. Dengan mengontrol wacana di ruang-ruang ibadah, mereka membentuk persepsi publik yang menyudutkan Ahlul Bait. Sejarah dijadikan instrumen dominasi, bukan untuk mengenang kebenaran, tetapi untuk memperkuat kekuasaan dan memadamkan oposisi ideologis. 


Muawiyah bin Abi Sufyan, khalifah pertama Dinasti Umayyah, memerintahkan agar nama Ali bin Abi Thalib dilaknat dalam khutbah Jumat di seluruh wilayah kekuasaan selama kurang lebih 40 tahun (sejak era pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan [661–680 M] hingga masa khalifah Umar bin Abdul Aziz [717–720 M]). Upaya ini bukan hanya penghinaan verbal, tetapi juga pembunuhan karakter secara sistemik. Mimbar-mimbar masjid dijadikan alat delegitimasi simbolik. Dahulu, mimbar khutbah Jumat itu seperti media sosial pada hari ini. Rentan dijadikan alat propaganda pemerintah.


Begitu menggetarkan ironinya saat itu, Ibnu Hazm dalam al-Muhalla bil-Atsar merekam satu potret tragis sebuah protes umat. Usai merampungkan shalat Id, kaum Muslimin serempak walkout meninggalkan masjid, enggan duduk mendengar khutbah. Bukan karena tak beradab, tapi karena mimbar suci telah dikotori dengan isi cacian dan laknat kepada ʿAli bin Abi Thalib. Mereka memilih hengkang, sebab diam di tempat justru berarti ikut mengiyakan dusta dan kebencian. (Ibnu Hazm, al-Muhalla bil-Atsar, [Beirut: Darul Kutub Al-Islamiah, 2010], juz III, h. 299)


Ibnu Jarir ath-Thabari, sejarawan Islam kenamaan yang hidup di era Abbasiyah, mencatat dalam Tarikhul Umam wal Muluk bahwa Hujr bin 'Adi al-Kindi tampil sebagai tokoh penting yang lantang membela Ahlul Bait dalam pusaran politik pasca wafatnya 'Ali bin Abi Thalib. Sebagai sahabat Nabi dan simpatisan setia, ia menolak keras kutukan terhadap 'Ali yang diselipkan dalam khutbah resmi Ziyad bin Abi Sufyan di Kufah di era pemerintahan Muawiyah. Ia tak tinggal diam saat agama dijadikan alat kuasa. Sebagai informasi, Ziyad adalah saudara tiri Muawiyah dari hubungan tidak sah.


Ketegangan memuncak ketika Ziyad memperpanjang khutbah Jumat demi menyisipkan cacian politik. Melihat ibadah diperalat sebagai propaganda kekuasaan, Hujr berdiri dan memprotes keras dengan teriakan "Shalat! Shalat!", aksi simbolik yang mengguncang wibawa negara. Protes itu berbuntut panjang. Hujr ditangkap, diborgol, dan akhirnya dihukum mati oleh Mu'awiyah. Ia pun dikenang sebagai syuhada pertama yang gugur karena membela kehormatan Ahlul Bait di era Umayyah.  (Ath-Thabari, Tarikhul Umam wal Muluk, [Kairo: Darul Ma'arif, 1967], juz V, h. 256)


Tindakan represif terstruktur terhadap kubu oposisi dan simpatisan Ahlul Bait tidak berhenti setelah wafatnya Muʿawiyah bin Abi Sufyan. Tekanan justru semakin sistematis di era Abdul Malik bin Marwan, khalifah Umayyah ke-5, dan anaknya Walid bin ʿAbd al-Malik. Al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi, sebagai gubernur Irak dan kawasan timur, dikenal sebagai tangan besi kekuasaan yang menjabat selama periode Abdul Malik dan Walid. Ia tidak segan menumpas siapa pun yang dianggap menentang narasi negara.


Dalam sejarah kekuasaan Umayyah, al-Hajjaj dikenal sebagai simbol represi brutal. Di Kufah dan Basrah, ribuan orang ditangkap, dibunuh, atau dikriminalisasi hanya karena menunjukkan kecintaan kepada ʿAli bin Abi Thalib. Bentuk hukuman seperti salib, penggal kepala, dan pengawasan ideologis diterapkan secara masif. Dalam khutbah-khutbah resmi, pujian terhadap Umayyah diwajibkan, sementara nama-nama Ahlul Bait dipinggirkan, bahkan dicaci.


Salah satu laporan paling dramatis dicatat oleh Ibnu Jarir ath-Thabari. Ia menyebutkan kisah tragis 'Athiyyah bin Saʿd al-ʿAufi, seorang alim dan pecinta Ahlul Bait. Ketika al-Hajjaj memaksanya mencaci ʿAli di mimbar, 'Aṭiyyah menolak dengan tegas. Akibatnya, ia dihukum cambuk sebanyak 400 kali dan digunduli rambut serta janggutnya. Ini bukan hanya hukuman fisik, tapi juga simbol penghinaan publik terhadap sosok berintegritas.


Setelah insiden tersebut, 'Athiyyah memilih mengungsi ke Khurasan, wilayah yang secara politik lebih longgar dan jauh dari cengkeraman kekuasaan pusat. Ia tinggal di sana bertahun-tahun dan menjadi simbol perlawanan sunyi terhadap kekuasaan tirani. Meski kemudian kembali ke Kufah, luka sejarah yang menimpa dirinya menjadi warisan pahit represi ideologis terhadap Ahlul Bait di era Umayyah yang jejaknya membekas hingga generasi-generasi berikutnya. (Ath-Thabari, Tarikhul Umam wal Muluk, [Kairo: Darul Ma'arif, 1967], juz XI, h. 641)


Semua itu menunjukkan bahwa Bani Umayyah berkuasa dengan menindas. Mereka menyusun narasi kemenangan dengan menumpuk jasad para pecinta Ahlul Bait. Kekerasan simbolik di mimbar, penjara untuk para imam, pembunuhan karakter, dan propaganda historis, menjadi satu paket represi. Ahlul Bait bukan dilupakan karena tidak penting, melainkan karena terlalu kuat untuk ditoleransi dalam rezim yang haus akan kendali total.


Pemutihan Narasi Sejarah oleh Umar bin Abdul Aziz

Umar bin Abdul Aziz, khalifah ke-8 Dinasti Umayyah, dikenal bukan hanya sebagai reformis sosial, tetapi juga tokoh penting dalam rekonstruksi historiografi Islam. Ketika naik tahta pada tahun 717 M, ia mewarisi rezim yang sarat dengan distorsi sejarah dan dendam politik. Ia menyadari bahwa untuk memperbaiki masyarakat, ia harus memurnikan memori kolektif umat Islam dari narasi buatan rezim sebelumnya. Meski ia menyadari bahwa dirinya akan banyak mendapat penjegalan dari keluarga besar rezim Muawiyah.


Langkah pertama yang ia ambil adalah menghentikan intimidasi terhadap simpatisan Ahlul Bait, terutama tradisi melaknat Ali bin Abi Thalib di mimbar-mimbar shalat Jumat. Umar menghapusnya dan menggantinya dengan pembacaan ayat Al-Qur'an Surat An-Nahl ayat 90 yang hingga kini kita bisa mendengarnya di mimbar-mimbar khutbah. Tindakan ini adalah simbol besar dari dekonstruksi narasi sektarian yang diwariskan Dinasti Umayyah. Aturan ini diundangkan secara resmi di era Umar dan seluruh gubernur mendapat instruksi untuk memberlakukannya di wilayah kekuasaan masing-masing.


Ibnul Atsir dalam Al-Kami Fit Tarikh menjelaskan, langkah ini tidak lahir tanpa dasar historis. Umar bin Abdul Aziz, dalam kesaksiannya sendiri, pernah mendapat teguran dari gurunya, 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin 'Utbah, ketika ia masih muda dan terlibat dalam diskursus negatif tentang Ali. Gurunya menegurnya, "Sejak kapan engkau mengira Allah murka terhadap para sahabat Perang Badar dan peserta Bai'at Ridwan, padahal Allah telah ridha kepada mereka?" Teguran itu menggetarkan hatinya hingga ia bertobat dari ucapan buruk terhadap Ali dan berjanji meninggalkan sikap seperti itu.


Dalam pengalaman pribadinya, Umar juga menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya, meskipun terlibat dalam tradisi melaknat Ali, menunjukkan sikap ragu dan kegugupan setiap kali harus mengucapkan celaan itu dalam khutbah. Ketika Umar bertanya mengapa, sang ayah menjawab, "Seandainya orang-orang di sekeliling kita mengetahui tentang Ali sebagaimana kami mengetahuinya, mereka pasti akan berpaling dari kita dan mengikuti anak-anak keturunan Ali." Kesaksian ini menyingkap bahwa di balik propaganda, ada pengakuan diam-diam terhadap keutamaan Ali yang tidak bisa dibungkam sepenuhnya. (Ibnu Atsir, Al-Kami fit Tarikh, [Beirut: Darul Kitab Al-'Arabi, 1997],  juz IX, h. 98).


Namun, pemutihan narasi sejarah yang dilakukan Umar tidak selalu diterima baik oleh seluruh elit Umayyah. Sebagian faksi internal merasa upaya ini mengancam legitimasi politik mereka yang dibangun dari narasi antagonistik terhadap Ahlul Bait. Umar tetap teguh, bahkan ketika kebijakannya membuatnya dijauhi oleh kerabat dekatnya sendiri. Ia lebih memilih menjadi "sejarawan moral" daripada sekadar "penguasa oportunis". Karena dianggap terlalu berbahaya untuk keberlangsungan rezim Dinasti Umayyah, Umar pun meninggal mendadak karena diracun keluarga sendiri pada 720 M. Tragis.


Dalam sejarah, ada penguasa yang menulis kemenangan dengan pedang, dan ada yang menulis kebenaran dengan keberanian. Umar bin Abdul Aziz memilih jalan kedua, meski harus dibayar dengan nyawa. Ia membuktikan bahwa sejarah bukan milik penguasa, melainkan milik mereka yang berani meluruskannya. Kini, mimbar-mimbar yang dulu mengumbar laknat, justru memulai khutbah dengan seruan keadilan dan kasih sayang, warisan sunyi dari seorang khalifah yang jujur.


Ustadz Muhamad Abror, dosen filologi dan sejarah Islam Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta.