Ekologi vs Ekstraksi: Beberapa Putusan Munas NU untuk Lindungi Alam
Rabu, 18 Juni 2025 | 15:15 WIB
Kontroversi antara PBNU dan Greenpeace soal dampak penambangan nikel di Raja Ampat mencerminkan ketegangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Ketua PBNU, Ulil Abshar Abdalla, berpendapat bahwa ekses penambangan dapat ditangani tanpa menghentikan pembangunan, sementara Greenpeace, diwakili oleh Iqbal Damanik, memperingatkan kehancuran ekologis jangka panjang, seperti hilangnya Pulau Gag dalam 25 tahun ke depan, yang merugikan generasi mendatang dan bertentangan dengan prinsip keberlanjutan.
Dalam konteks pengelolaan tambang dan pelestarian alam, Keputusan NU, baik yang mengatur pengelolaan tambang maupun pemeliharaan alam, menentang eksploitasi sumber daya alam berlebihan. Keputusan-keputusan tersebut, baik yang secara eksplisit mengatur pengelolaan tambang maupun yang secara implisit menyinggung pemeliharaan alam, cenderung menentang eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Sebagai wujud komitmen tersebut, NU telah mengeluarkan sejumlah putusan penting, dimulai dari Munas Alim Ulama di Cipasung tahun 1994.
Putusan Muktamar NU di Cipasung (1994) soal Mencemarkan Lingkungan
Pada Muktamr NU di Cipasung, Tasikmalaya tahun 1994, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) merespons dampak buruk industrialisasi Orde Baru, khususnya pencemaran lingkungan akibat limbah pabrik, dengan sikap tegas berlandaskan fiqih. Keputusan Muktamar menetapkan bahwa perbuatan mencemari lingkungan yang menyebabkan dharar (kerugian) hukumnya haram dan tergolong tindakan kriminal (jinayat). (Lihat Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, halaman 512).
Pelaku pencemaran diwajibkan mengganti kerugian serta dikenai hukuman ta’zir melalui pendekatan amar ma’ruf nahi munkar. Landasan utama keputusan ini adalah QS Al-A’raf: 56, yang melarang tindakan merusak bumi setelah diperbaiki, sebagaimana dijelaskan dalam At-Tafsirul Kabir bahwa larangan tersebut mencakup kerusakan terhadap jiwa, harta, nasab, agama, dan akal. Prinsip la dharara wa la dhirara dari kitab Al-Mawahibus Saniyah semakin memperkuat argumen bahwa segala bentuk tindakan merugikan, termasuk pencemaran lingkungan, dilarang dalam Islam.
Keputusan ini mencerminkan komitmen NU untuk menjaga kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah) dengan pendekatan berbasis nilai agama. Namun, meskipun menunjukkan kepekaan terhadap isu lingkungan, keputusan tersebut belum secara eksplisit menyinggung industri ekstraktif, seperti pertambangan, yang menjadi sumber kerusakan lingkungan berskala besar.
Putusan Munas NU di Cirebon (2012) soal Undang-undang Pertambangan
Pada Munas Nahdlatul Ulama (NU) tahun 2012, pembahasan secara eksplisit mengarah pada aktivitas eksploitasi sumber daya alam, khususnya penggalian dan pengelolaan sumber daya mineral serta energi. Komisi Bahtsul Masail Diniyyah Qonuniyyah mengkaji sejumlah peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas), Mineral dan Batubara (Minerba), serta Sumber Daya Air.
Putusan tersebut mengkritik pengelolaan migas, minerba, dan air karena minimnya otoritas pemerintah, rendahnya penerimaan negara, ketidakadilan bagi hasil daerah, komersialisasi air, dan lemahnya perlindungan ekologi. Rekomendasi NU meliputi penguatan kontrol negara, rasio penerimaan minimal 10% (usyur) plus pajak, bagi hasil adil untuk daerah, penghapusan komersialisasi air, dan pembatalan pasal UU yang bertentangan dengan UUD 1945 serta semangat desentralisasi.
Berdasarkan Munas NU 2012, NU belum secara tegas memandang industri ekstraktif sebagai aktivitas yang selalu merugikan. Fokus utama keputusan tersebut adalah mendorong penguatan otoritas negara dalam pengelolaan sumber daya alam guna mencegah dominasi pihak asing. Landasan argumentasi putusan ini diperkuat oleh pandangan Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, yang menegaskan pentingnya kedaulatan negara atas sumber daya alam demi kemaslahatan umum:
والخلاصة أن المعادن الجامدة والسائلة للدولة عند المالكية في مشهور المذهب لأن المعادن قد يحيط بها شرار الناس، فلو لم يكن حكمها للإمام لأدى الأمر إلى الفتن والهرج. (وهبة الزحيلي، الفقه الإسلامي وأدلته، بيروت: دار الفكر، الطبعة الثالثة، 1409 هـ / 1989 م، الجزء الخامس، ص 584–583)
Artinya, "Kesimpulan: tambang benda keras atau cair adalah milik negara, menurut ulama Malikiyah dalam pendapat yang masyhur. Oleh karena tambang itu dapat saja ditemukan oleh orang-orang yang jahat, maka kalau tidak menjadi milik negara, tentu dapat mendatangkan banyak malapetaka, dan kekacauan." (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1989], juz V, halaman 583-584).
Selanjutnya, pada Konferensi Besar dan Munas Alim Ulama di Jombang (2015), PBNU menggeser fokus ke kritik sistemik terhadap eksploitasi sumber daya alam (SDA) oleh korporasi besar, yang menyebabkan kerusakan lingkungan seperti lubang galian bauksit di Riau, batubara di Kalimantan, dan emas di Papua.
Keputusan menyatakan bahwa eksploitasi berlebihan yang merusak lingkungan hukumnya haram, begitu pula pemberian izin penambangan yang menyebabkan kerusakan permanen jika disengaja. Masyarakat diwajibkan melakukan amar ma’ruf nahi munkar sesuai kemampuan. Selain itu, pengelolaan SDA yang lebih menguntungkan investor dinilai haram karena merugikan rakyat. Pemikiran NU pun terus berkembang, dan pada Munas 2015 di Jombang, fokus beralih ke kritik sistemik terhadap eksploitasi sumber daya alam.
Putusan Muktamar NU di Jombang (2015) soal Larangan Eksploitasi Alam secara Berlebihan
Muktamar NU di Jombang tahun 2015 mempertegas posisi organisasi dalam mengadvokasi pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang berpihak pada kesejahteraan rakyat, sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. NU secara eksplisit mengkritik praktik monopoli, oligopoli, dan kartel dalam pengelolaan SDA, yang dinilai tidak hanya melanggar prinsip syariat Islam, tetapi juga bertentangan dengan semangat konstitusi yang menekankan pengelolaan SDA untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dalam pandangan NU, struktur pengelolaan yang timpang ini memperparah ketidakadilan sosial-ekonomi dan kerusakan lingkungan, terutama melalui eksploitasi berlebihan oleh korporasi besar. Untuk mengatasi hal ini, Putusan NU 2015 merekomendasikan moratorium penerbitan izin operasi perusahaan skala besar, penghentian pendekatan kekerasan dalam penyelesaian konflik agraria, pembentukan lembaga independen untuk mediasi konflik tanah, serta pengembalian hak atas tanah kepada rakyat yang terdampak.
Argumen pelarangan eksploitasi alam secara berlebihan dalam putusan Muktamar tersebut dibangun di atas landasan yang merujuk pada otoritas ulama klasik dan kontemporer. Tafsir Ar-Razi (jilid VIII, halalam 146) terhadap QS Al-A’raf: 56, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diperbaiki”, menguraikan bahwa larangan fasad (kerusakan) mencakup segala bentuk ancaman terhadap lima prinsip dasar syariat: jiwa, harta, nasab, agama, dan akal.
Dalam konteks modern, eksploitasi SDA yang merusak ekosistem, menggusur komunitas lokal, dan mengancam keberlanjutan sumber daya jelas termasuk dalam kategori fasad ini. Ar-Razi menegaskan bahwa asas hukum dalam ayat ini adalah pelarangan mutlak segala bentuk dharar (kerugian), kecuali terdapat dalil khusus yang membolehkan, sehingga eksploitasi berlebihan tanpa memitigasi dampaknya dianggap haram.
Senada dengan itu, Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami menekankan prinsip la dharara wa la dhirara (tidak boleh ada kerugian maupun menyebabkan kerugian) sebagai dasar untuk mencegah tindakan yang merugikan masyarakat luas. Syekh Wahbah berargumen bahwa negara memiliki legitimasi syar’i untuk mengintervensi kepemilikan atau aktivitas pribadi—termasuk dalam pengelolaan SDA, jika hal tersebut menimbulkan kerugian umum, seperti monopoli sumber daya atau kerusakan lingkungan.
Prinsip ini mengkritik model ekstraktif yang mengutamakan profitabilitas korporasi di atas kemaslahatan kolektif, sekaligus mendukung rekomendasi NU untuk membatasi dominasi perusahaan besar dan memastikan keadilan distribusi manfaat SDA.
Lebih lanjut, landasan dalam putusan tersebut juga dilengkapi pendapat dari kitab monumental Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab. Pendapat tersebut menyoroti larangan tadlis (penipuan) dalam transaksi, termasuk menyembunyikan kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas ekonomi. Kerusakan yang dimaksud dalam melandasi putusan ini tentu saja sebagaimana yang disebabkan oleh aktivitas industri ekstraktif yang melakukan eksploitasi SDA secara berlebihan.
Jika ditelaah dengan pendapat Imam An-Nawawi di atas, korporasi yang mengabaikan dampak ekologis atau sosial dari operasinya dapat dianggap melakukan tadlis, yang meskipun tidak membatalkan transaksi secara teknis, tetap merupakan pelanggaran syariat karena menimbulkan dharar. Pandangan ini memperkuat kritik NU terhadap praktik ekstraktif yang tidak transparan dan tidak bertanggung jawab, sebagaimana dalam putusan.
Secara analitis, putusan Muktamar 2015 menunjukkan perkembangan pemikiran ekologis NU yang semakin kritis dibandingkan dengan keputusan-keputusan sebelumnya, seperti pada Munas 2012 yang lebih berfokus pada penguatan otoritas negara. Namun, meskipun rekomendasi seperti moratorium izin dan pembentukan lembaga penyelesaian konflik agraria menawarkan langkah progresif, pendekatan ini masih belum sepenuhnya mengatasi akar struktural ketimpangan, seperti liberalisasi pasar SDA atau lemahnya penegakan hukum lingkungan.
Lahirnya buku Fikih Energi Terbarukan tahun 2017
Kemudian yang terakhir, buku Fiqih Energi Terbarukan, hasil kolaborasi LAKPESDAM-PBNU, memperkuat komitmen NU terhadap pelestarian lingkungan dengan pendekatan fiqih yang kritis dan solutif. Buku ini mengecam eksploitasi energi fosil yang menyebabkan kerusakan lingkungan, seperti deforestasi dan pencemaran, yang dinyatakan haram karena menimbulkan dharar (kerugian).
Berpijak pada Muktamar Cipasung 1994 dan Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup 2007, NU memandang pelestarian lingkungan sebagai jihad bi’iyah. Energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin, diusung sebagai solusi yang mendukung hifzhul bi’ah, dengan emisi karbon jauh lebih rendah (40–200 g/kWh) dibandingkan batu bara (900 g/kWh). Pada buku ini dijelaskan bahwa manusia harus memakmurkan bumi, bukan mengeksploitasinya, dan mengkritik dominasi swasta atas sumber daya vital yang bertentangan dengan keadilan sebagaimana tercermin dalam beberapa ayat Al-Qur'an.
Perjalanan pemikiran ekologis NU, dari Cipasung 1994 hingga Fikih Energi Terbarukan 2017, mencerminkan komitmen kuat untuk mengintegrasikan nilai Islam dalam pelestarian lingkungan, yang perlu diwujudkan melalui kebijakan dan aksi nyata.
Ustadz Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online