Syariah

Harus Rukyat Hilal Tiap Bulan atau Cukup dengan Hisab?

Rabu, 10 Juli 2024 | 19:00 WIB

Harus Rukyat Hilal Tiap Bulan atau Cukup dengan Hisab?

Rukyah hilal tiap bulan atau cukup ddengan hisab? (bmkg.go.id)

Kemarin kita disuguhkan peristiwa yang cukup unik terkait masuknya tahun baru Hijriah tanggal 1 Muharram. Berpijak pada beberapa kalender yang mencatat tanggal 1 Muharram masuk pada hari Ahad 7 Juli 2024, akhirnya masyarakat banyak yang melakukan doa akhir tahun dan awal tahun pada Sabtu sore 6 juli 2024. 
 

Beberapa waktu kemudian, beredar pengumuman dari Lembaga Falakiyah PBNU (LF PBNU) yang menyatakan bahwa hilal tidak berhasil dilihat, meski secara hitungan ilmu hisab hilal sudah dalam ketinggian mungkin dilihat (imkanur ru’yah), namun kenyataannya tidak ada perukyah yang berhasil melihatnya, sehingga harus istikmal yakni menggenapi bulan Dzulhijjah menjadi 30 hari dan 1 Muharram masuk pada hari senin 8 juli 2024.  
 

Lebih lanjut, LF PBNU menjelaskan bahwa posisi hilal awal Muharram sudah imkan ru’yah, namun masih di bawah Qath'y Rukyat NU (QRNU). Singkatnya, keputusan istikmal tersebut karena dua faktor:

  1. Tidak ada laporan terlihatnya hilal dari 19 titik rukyah LFNU dan 20 titik rukyah BMKG di seluruh Indonesia,
  2. Posisi Bulan yang diperhitungkan melalui 7 sistem hisab jama'i NU masih di bawah garis QRNU
     

Menanggapi kejadian ini, ada sebagian masyarakat yang memutuskan untuk mengulang melakukan doa akhir dan awal tahun, juga ibadah dan ritual lainnya. Namun juga tidak sedikit yang tidak melakukan pengulangan dan menganggap cukup dengan hitungan hisab.  
 

Rukyatul Hilal dan Hisab di Tengah Masyarakat

Dalam tataran praktiknya di masyarakat, ru’yatul hilal bukanlah satu-satunya cara untuk menentukan awal bulan. Menurut sebagian ulama, ilmu hisab juga dapat dijadikan pijakan dalam menentukan awal bulan Hijriyah.  
 

Berpijak pada ulama yang menerima hisab, bagi orang yang memiliki keahlian dalam ilmu hisab, ia dapat mengamalkan hasil hisabnya dalam menentukan awal bulan hijriyah. Begitu juga bagi masyarakat umum yang membenarkannya, mereka juga dapat mengamalkan hasil penghitungan dari ilmu hisab
 

Argumentasi Pemberlakuan Hisab 

Syihabuddin Ar-Ramli menjelaskan ada tiga kondisi hilal dari hasil hisab yang dapat diamalkan:

  1. Hilal dipastikan wujud namun tidak mungkin dilihat.
  2. Hilal dipastikan wujud serta pasti dapat dilihat.
  3. Hilal dipastikan wujud dan ada kemungkinan bisa dilihat.
  4. Menurut Ar-Romli, dalam tiga kondisi ini, ahli hisab dapat mengamalkan hasil hisabnya.


Menurut Ar-Ramli, dalam tiga kondisi ini ahli hisab dapat mengamalkan hasil hisabnya. Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj disebutkan: 
 

سُئِلَ الشهَابُ الرَّمْلِيُّ عَنْ الْمُرَجِّحِ مِنْ جَوَازِ عَمَلِ الْحَاسِبِ بِحِسَابِهِ فِي الصَّوْمِ، هَلْ مَحَلُّهُ إِذَا قُطِعَ بِوُجُودِهِ وَرُؤْيَتِهِ، أَمْ بِوُجُودِهِ وَإِنْ لَمْ يُجَوِّزْ رُؤْيَتَهُ؟ فَإِنَّ أَئِمَّتَهُمْ قَدْ ذَكَرُوا لِلْهِلَالِ ثَلَاثَ حَالَاتٍ: حَالَةً يُقْطَعُ فِيهَا بِوُجُودِهِ وَبِامْتِنَاعِ رُؤْيَتِهِ، وَحَالَةً يُقْطَعُ فِيهَا بِوُجُودِهِ وَرُؤْيَتِهِ، وَحَالَةً يُقْطَعُ فِيهَا بِوُجُودِهِ وَيُجَوِّزُونَ رُؤْيَتَهُ. فَأَجَابَ: بِأَنَّ عَمَلَ الْحَاسِبِ شَامِلٌ لِلْمَسَائِلِ الثَّلَاثِ اهـ
 

Artinya, “As-Shihab Ar-Ramli ditanya tentang faktor apa yang menguatkan mengenai kebolehan  ahli hisab untuk mengamalkan hasil hisabnya dalam puasa. Apakah itu ketika sudah dipastikan wujud hilal dan pasti dapat dilihat, atau wujud hilal meskipun tidak mungkin dilihat?
 

Karena para imam mereka telah menyebutkan ada tiga keadaan hilal: pertama, dipastikan ada hilal dan tidak mungkin dilhat, kedua, dipastikan adanya hilal dan pasti dapat dilihat, dan yang ketiga, dipastikan ada hilal dan mungkin bisa dilihat,
 

Lalu beliau menjawab bahwa amal ahli hisab mencakup ketiga permasalahan tersebut.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, [Beirut: Darul Fikr, 2019] juz III, halaman 409).
 

Dalam kajian fiqih di waktu berikutnya, beberapa ulama tidak menerima poin pertama dan ketiga, sehingga mayoritas ulama yang menerima hisab mengarahkan pada poin kedua saja. yakni ahli hisab dapat mengamalkan hasil hisab jika kondisi hilal pasti wujud dan dipastikan mudah terlihat.
 

Meski demikian, pendapat Ar-Ramli tetap dalam keumumannya, yakni cukup dengan wujudnya hilal dan tidak harus dapat dilihat dengan pasti. 
 

Ibnu Qasim Al-‘Ubadi menjelaskan, dalam kondisi hilal dipastikan wujud dan dapat dilihat dengan mudah menurut hasil hisab pasti (qath’i), ketika ada mendung yang menghalangi sehingga tidak berhasil rukyatul hilal setelah matahari terbenam, menurutnya hasil hisab pasti itu cukup untuk digunakan menetapkan awal bulan hijriyah. 
 

Dalam Hawasyis Syirwani disebutkan:

قَوْلُهُ لِأَنَّ الشَّارِعَ إنَّمَا أَنَاطَ الْحُكْمَ بِالرُّؤْيَةِ بَعْدَ الْغُرُوبِ إلَخْ، يَنْبَغِي فِيمَا لَوْ دَلَّ الْقَطْعُ عَلَى وُجُودِهِ بَعْدَ الْغُرُوبِ بِحَيْثُ يَتَأَتَّى رُؤْيَتُهُ لَكِنْ لَمْ يُوجَدْ بِالْفِعْلِ أَنْ يَكْفِيَ ذَلِكَ فَلْيُتَأَمَّلْ سم وَقَوْلُهُ بِحَيْثُ يَتَأَتَّى رُؤْيَتُهُ أَيْ لَوْ لَمْ يُوجَدْ نَحْوُ الْغَيْمِ مِنْ الْمَوَانِعِ
 

Artinya, “(Perkataan Ibnu Hajar: 'Karena Syari’ hanya menetapkan hukum berdasarkan ru’yah setelah matahari terbenam, dsb)', semestinya hanya berlaku dalam keadaan hisab pasti menunjukkan adanya hilal setelah matahari terbenam, sekira dapat dengan mudah dilihat, namun kenyataannya tidak terlihat, itu saja sudah cukup. Angan-anganlah (Ibnu Qasim). Dan pernyataan Ibnu Qasim 'Dapat dengan mudah dilihat', artinya jika tidak ada semisal awan mendung dari hal-hal yang bisa menghalangi.” (As-Syirwani, Hawasyis Syirwani, [Beirut: Darul Fikr, 2019] juz III, halaman 412).
 

Secara garis besar, dalam menentukan awal bulan Hijriyah menggunakan hisab, terdapat dua pendapat. Menurut mayoritas ulama, awal bulan tidak dapat ditentukan dengan hitungan ilmu hisab. Pendapat kedua mengatakan awal bulan dapat ditentukan dengan hitungan hisab, pendapat kedua ini juga didukung oleh beberapa ulama Syafi’iyah seperi imam Ar-Ramli dan As-Subki. 
 

ثَانِيًا قَوْلُ بَعْضِ الْفُقَهَاءِ جَوَازَ الْإِعْتِمَادِ عَلَى الْحِسَابِ فِي إِثْبَاتِ الشَّهْرِ ذَهَبَ مُطَرِّفُ بْنُ عَبْدِ اللهِ مِنَ التَّابِعِيْنَ وَابْنُ قُتَيْبَةَ مِنَ الْمُحَدِّثِيْنَ وَابْنُ عَرَبِيّ مِنَ الصُّوْفِيَّةِ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالَى وَبَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ كَابْنِ شِهَابِ الدِّيْنِ الرَّمْلِيّ وَوَالِدِهِ وَابْنِ دَقِيْقِ الْعِيْدِ وَابْنِ شُرَيْحٍ وَالسُّبْكِيّ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالَى إِلَى الْقَوْلِ بِجَوَازِ الْإِعْتِمَادِ عَلَى الْحِسَابِ فِي إِثْبَاتِ الشَّهْرِ فِي حَالِ وُجُوْدِ الْغَيْمِ وَنَحْوِهِ كَمَا سَيَأْتِي بَيَانُ هَذَا الشَّرْطِ وَقَالُوا: إِنَّ مَعْنَى قَوْلِهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ: اقْدُرُوْا لَهُ قَدِّرُوْهُ بِحِسَابِ مَنَازِلِ الْقَمَرِ فَإِنَّهُ يَدُلُّكُم عَلَى أَنَّ الشَّهْرَ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ أَوْ ثَلَاثُوْنَ يَوْمًا.
 

Artinya, “Pendapat kedua, sebagian ahli fiqih mengatakan bolehnya mengandalkan hisab untuk menentukan bulan. Mutharrif bin Abdullah dari kalangan Tabi'in, Ibnu Qutaybah dari ulama hadis, dan Ibnu Arabi dari kalangan sufi, semoga Allah swt merahmati mereka, dan beberapa ulama Hanafi, Maliki, dan Syafi'i, seperti Ibnu Shihabuddin Ar-Ramli dan ayahnya, Ibnu Daqiq Al-'Id, Ibnu Syuraih, dan As-Subki–semoga Allah swt mengasihi mereka–, mengatakan boleh mengandalkan hisab untuk menentukan bulan ketika terjadi mendung dan sejenisnya, seperti syarat yang akan dijelaskan. 
 

Mereka menyatakan, maksud perkataan Rasulullah saw: "Perkirakanlah" artinya perkirakanlah dengan menghitung (hisab) posisi bulan, karena ini menunjukkan kepadamu bahwa satu bulan mempunyai 29 atau 30 hari.” (Nizar Mahmud Qasim, Al-Ma’ayirul Fiqhiyah wal Falakiyah fi I’dadit Taqawimil Hijriyah, [Darun Nasyar Al-Islamiyah, 2009], 105-106).
 

Simpulan Hukum

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penetapan awal bulan Hijriyah, selain melalui ru’yatul hilal yang telah disepakati legalitasnya, juga terdapat pendapat yang memperbolehkan menggunakan hisab. Masyarakat yang membenarkan hasil hisab, juga dapat mengamalkan sesuai dengan hasil hisab
 

Perbedaan pendapat ulama adalah rahmat, hal ini dapat dijadikan solusi bagi masyarakat yang terlanjur melakukan kegiatan bersama pada sabtu sore 6 Juli 2024 kemarin, berdasarkan hasil hisab atau kalender yang telah beredar.  Wallahu a’lam.
 

Ustadz Muhammad Zainul Millah, Pengasuh Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar