Syariah

Hati-hati Menuduh Orang Lain Berzina, Ini Hukumannya dalam Islam

Senin, 14 Juli 2025 | 12:00 WIB

Hati-hati Menuduh Orang Lain Berzina, Ini Hukumannya dalam Islam

Ilustrasi tuduhan zina melalui media sosial. Sumber: Canva/NU Online.

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi kehormatan dan martabat manusia. Setiap individu memiliki hak untuk hidup dengan tenang, terbebas dari tuduhan dan celaan yang dapat merusak nama baik serta harga dirinya. Menjaga kehormatan sesama, khususnya dalam hal menjaga lisan dari ucapan yang mencemarkan nama baik orang lain, merupakan bagian penting dari ajaran Islam yang tidak boleh diabaikan.


Salah satu bentuk pelanggaran berat terhadap kehormatan seseorang adalah perbuatan qadzaf, yaitu menuduh orang lain berzina tanpa bukti yang sah. Tuduhan seperti ini bukan hanya menyakiti secara pribadi, tetapi juga dapat menimbulkan fitnah, merusak tatanan sosial, dan menyebarkan keresahan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, Islam menetapkan sanksi tegas terhadap pelakunya, baik berupa hukuman di dunia maupun ancaman di akhirat.


Apa itu Qadzaf

Secara bahasa, kata qadzaf berarti “melempar”. Sementara qadzaf secara istilah berarti menuduh seseorang telah melakukan perbuatan zina, tanpa disertai bukti yang sah menurut hukum Islam, dan tuduhan itu disampaikan dalam rangka mencela atau merendahkan martabat orang yang dituduh. Tuduhan ini bukan sekadar pernyataan, tetapi dilontarkan dalam suasana atau niat untuk mempermalukan, memperolok, atau menyebarkan aib.


Syekh Syatha Dimyathi menjelaskan:


والقذف لغة الرمي: يقال قذف النواة أي رماها وشرعا الرمي بالزنا في معرض التعيير: أي في مقام هو التعيير: أي التوبيخ.


Artinya, “Secara bahasa, qadzaf berarti melempar. Misalnya dikatakan, ’dia melempar biji kurma yaitu artinya ia melemparkannya. Sedangkan secara istilah syariat, qadzaf berarti menuduh seseorang berzina dalam konteks mencela, yaitu dalam situasi yang tujuannya adalah menghina atau mempermalukan.” (Syekh Abu Bakar Syatha Dimyathi, I’anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 1997], jilid IV, halaman 169)


Dalam hukum Islam, tuduhan zina terbagi menjadi tiga bentuk: lafaz yang jelas (sarih), sindiran (kinayah), dan sindiran halus (ta’rid). Lafaz yang eksplisit (sharih) adalah ucapan yang secara tegas dan langsung bermakna tuduhan zina, seperti mengatakan “Kamu telah berzina” atau “Hai pezina”.


Sementara itu, kinayah adalah ungkapan yang bisa bermakna tuduhan zina, tapi juga bisa bermakna lain, misalnya menyebut seseorang dengan kata-kata kasar seperti “perempuan nakal” atau “orang fasik.” Tuduhan lewat tulisan di media sosial, pesan, atau status yang mengarah pada zina juga termasuk kinayah. Jika ada niat menuduh zina, maka pelaku dikenai hukuman qadzaf. Namun jika tidak ada niat demikian, hukuman tidak diberlakukan.


Hal ini juga berlaku untuk insinuasi melalui caption, video, atau rekaman audio yang menggiring opini publik agar mencurigai seseorang telah berzina. Meski tak menyebut zina secara langsung, jika berniat menuduh, maka tetap dihukumi sebagai qadzaf.


Adapun ta’rid adalah bentuk sindiran yang sangat halus, yang secara lahir tidak bisa dimaknai sebagai tuduhan zina. Contohnya seperti berkata, “Aku bukan pezina” atau “Ibuku bukan wanita pezina.” Meskipun dalam hati berniat menuduh, selama ucapannya tidak menunjukkan maksud tersebut secara langsung, maka tidak termasuk qadzaf. (I’anatut Thalibin, IV/169)


Dosa Menuduh Zina dalam Islam

Dalam ajaran syariat, menuduh seseorang melakukan perbuatan keji seperti zina tanpa bukti yang sah adalah dosa besar yang tidak bisa dianggap sepele. Allah SWT secara tegas mengutuk perbuatan menuduh zina tanpa bukti dalam firman-Nya:


إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ


Artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terjaga (kehormatannya), yang tidak tahu-menahu dan beriman, mereka dilaknat di dunia dan di akhirat, dan bagi mereka azab yang besar.” (QS. An-Nur: 23)


Ibnu Atsur dalam tafsir at-Tahrir wat Tanwir menjelaskan bahwa ayat ini bentuk pengumuman laknat Allah kepada pelaku qadzaf. Laknat tersebut di dunia berupa cap sebagai orang fasik, kehilangan hak untuk menjadi saksi, serta dijatuhi hukuman cambuk. Adapun di akhirat, mereka akan dijauhkan dari rahmat Allah dan mendapatkan azab neraka yang pedih.

 

واللعن: في الدنيا التفسيق، وسلب أهلية الشهادة، واستيحاش المؤمنين منهم، وحد القذف، واللعن في الآخرة: الإبعاد من رحمة الله، والعذاب العظيم: عذاب جهنم. فلا جدوى في الإطالة بذكر مسألة جواز لعن المسلم المعيّن هنا، ولا في أن المقصود بها من كان من الكفرة.


Artinya, “Makna laknat di dunia adalah difasikkan, dicabut kelayakannya menjadi saksi, dijatuhi hukuman qadzaf, dan membuat kaum mukminin menjauhinya. Sedangkan laknat di akhirat adalah dijauhkan dari rahmat Allah. Adapun ‘azab yang besar’ itu adalah siksa neraka Jahannam.” (at-Tahrir wat Tanwir, [Tunisia, Darul Tunisiyah: 1984] jilid X, halaman 36).


Islam tidak hanya memberi ancaman di akhirat, tapi juga menetapkan hukuman duniawi bagi pelaku qadzaf. Dalam QS. An-Nur ayat 4 disebutkan:


وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

 

Artinya, “Orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terjaga kehormatannya, kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka sebanyak delapan puluh kali cambukan, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”


Ayat ini menjelaskan tiga bentuk hukuman bagi pelaku qadzaf: pertama, didera sebanyak 80 kali cambukan sebagai bentuk hukuman fisik, meskipun saat ini praktik tersebut sudah tidak lagi diterapkan; kedua, kesaksiannya tidak diterima, sebagai bentuk pencabutan kepercayaan dari masyarakat; dan ketiga, dicap sebagai orang fasik, yang berarti ia telah keluar dari sifat adil dan amanah.


Dalam hadits, Rasulullah saw juga menyebut qadzaf atau menuduh zina sebagai dosa besar:


اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا: وَمَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ


Artinya, “Jauhilah oleh kalian tujuh dosa besar yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh berzina terhadap perempuan beriman yang tidak tahu menahu serta menjaga kehormatannya.” (HR. Al-Bukhari)


Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mubiqat dalam hadits ini adalah dosa-dosa besar. Sementara itu menurut penjelasan Al-Muhallab, dosa-dosa tersebut dinamakan mubiqat karena dampaknya sangat berbahaya; ia menjadi sebab kebinasaan dan kehancuran bagi siapa pun yang melakukannya, baik di dunia maupun di akhirat. (Fath al-Bari, [Beirut, Darul Ma’rifah: 1379] jilid XIV, halaman 290)


Dari ayat Al-Qur’an dan hadits di atas, jelas bahwa qadzaf bukanlah perkara ringan dalam pandangan Islam. Ia termasuk dosa besar yang mendatangkan laknat Allah di dunia dan akhirat, serta hukuman berat secara hukum syariat. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga lisan dan kehormatan sesama muslim. Sebagai umat Islam, kita dituntut untuk menahan diri dari ucapan-ucapan yang bisa mencederai nama baik orang lain, terlebih jika tanpa bukti. Wallahu A’lam.


Ustadz Bushiri, Pengajar di Zawiyah Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan.