Bahtsul Masail

Status Nasab Anak Zina dalam Pernikahan

Senin, 20 Januari 2025 | 17:15 WIB

Status Nasab Anak Zina dalam Pernikahan

Status Anak Zina dalam Pernikahan (freepik).

Assalamu'alaikum wr wb. Mohon bertanya perihal yang ibu saya alami. Ibu saya menceritakan bahwa sebelum menikah dengan ayah, beliau ternyata telah berhubungan badan dengan laki-laki lain, dan ibu menikah dengan ayah dalam keadaan haid yang tidak lancar.
 

Tepat seminggu ibu test pack dan ternyata hamil. Usia kandungan 1 bulan saat diperiksakan, sedangkan ibu dan ayah baru menikah satu minggu.
 

Pertanyaannya, bagaimana dengan status kakak perempuan saya, apakah nasabnya tetap bersambung dengan Ayah saya? Ibu dalam kondisi dilematis, sedangkan kakak saya sudah menikah dan yang menikahkan adalah ayah saya. Mohon untuk dijawab terimakasih. (Hamba Allah)
 

Jawaban

Wa'alaikumsalam wr wb. Saudara penanya dan pembaca setia NU Online yang terhormat. Zina adalah perbuatan yang sangat dilarang agama dan termasuk dosa besar. Semoga para pelakunya bertobat dengan sesungguh-sungguhnya, dan dimaafkan dosa-dosa masa lalunya. Semoga kita tidak terjerumus pada perbuatan-perbuatan serupa. Amin. 
 

Setelah kami cermati, inti pertanyaan yang disampaikan adalah bagaimana status anak hasil perzinahan yang lahir dalam hubungan pernikahan yang sah. 
 

Ibu penanya menghadapi dilema karena usia kehamilannya saat diperiksakan kala itu adalah satu bulan, sementara usia pernikahannya baru satu minggu. Ia mengakui bahwa sebelum menikah pernah melakukan hubungan badan dengan laki-laki lain. Hal inilah yang menimbulkan keraguan dalam dirinya tentang asal-usul anak yang dikandungnya saat itu.
 

Apakah anak tersebut hasil dari hubungan di luar nikah dengan laki-laki lain atau dari hubungan dengan suaminya yang sah.
 

Mencermati penjelasan di atas, anak yang dikandung besar kemungkinannya terlahir setelah enam bulan lebih setelah pernikahan dengan asumsi usia kehamilan normal adalah sekitar 37 hingga 42 minggu sejak hari pertama haid terakhir (HPHT), yang artinya seminimal-minimalnya lahir setelah tujuh bulan usia pernikahan (setelah dikurangi satu bulan usia kandungan pada saat usia pernikahan baru satu minggu). 
 

Jika memang benar anak tersebut lahir setelah enam bulan sejak kemungkinan pertama kali mereka berhubungan badan setelah akad nikah, maka menurut pandangan fiqih nasab anak tersebut bersambung kepada suaminya.
 

Berikut Syekh Abdurrahman:
 

وَإِمَّا لَاحِقٌ بِهِ وَيَحْرُمُ نَفْيُهُ بَلْ هُوَ كَبِيْرَةٌ، وَوَرَدَ أَنَّهُ كَفَرَ إِنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ مِنْهُ، أَوِ اسْتَوَى الْأَمْرَانِ بِأَنْ وَلَدَتْهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَأَكْثَرَ إِلَى أَرْبَعِ سِنِيْنَ مِنْ وَطْئِهِ … بَلْ يَلْحَقُهُ بِحُكْمِ الفِرَاشِ كَمَا لَوْ عَلِمَ زِنَاهَا وَاحْتَمَلَ كَوْنُ الْحَمْلِ مِنْهُ أَوْ مِنَ الزِّنَا، وَلَا عِبْرَةَ بِرَيْبَةٍ يَجِدُهَا مِنْ غَيْرِ قَرِيْنَةٍ
 

Artinya, "Ada kalanya anak bernasab kepada suami, serta haram menafikannya. Bahkan, hal itu termasuk dosa besar. Diriwayatkan bahwa orang bisa dianggap kafir jika ia menafikan anak tersebut, padahal ia memiliki dugaan kuat atau keyakinan bahwa anak itu adalah darinya, atau jika keadaannya ragu-ragu yaitu ketika anak dilahirkan setelah enam bulan atau lebih hingga empat tahun dari hubungan badan dengannya ...
 

Bahkan anak tersebut tetap dinasabkan kepada suami berdasarkan hukum firasy (hubungan pernikahan), sebagaimana halnya jika ia mengetahui istrinya berzina, tetapi ada kemungkinan bahwa kehamilan itu berasal darinya atau dari zina. Keraguan tanpa adanya bukti tidak dianggap.
 

فَالْحَاصِلُ أَنَّ الْمَوْلُوْدَ عَلَى فِرَاشِ الزَّوْجِ لَاحِقٌ بِهِ مُطْلَقاً إِنْ أَمْكَنَ كَوْنُهُ مِنْهُ، وَلَا يُنْتَفَى عَنْهُ إِلَّا بِاللِّعَانِ وَالنَّفْيِ، وَتَارَةً يَجِبُ، وَتَارَةً يَحْرُمُ، وَتَارَةً يَجُوْزُ، وَلَا عِبْرَةَ بِإِقْرَارِ الْمَرْأَةِ بِالزِّنَا، وَإِنْ صَدَّقَهَا الزَّوْجُ وَظَهَرَتْ أَمَارَاتُهُ
 

Artinya, "Kesimpulannya, seorang anak yang lahir dalam ikatan pernikahan dianggap bersambung nasabnya kepada suami secara mutlak jika masih memungkinkan anak itu berasal darinya. Anak tersebut tidak dapat dinafikan kecuali melalui proses sumpah li’an dan penafian. Kadang menafikan itu wajib, kadang haram, dan kadang diperbolehkan. Pengakuan istri bahwa ia berzina tidak dianggap, meskipun suami mempercayainya dan tanda-tanda zina tampak jelas." (Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: 2016], halaman 291).
 

As-Syarif Muhammad bin Ahmad bin Anqa’ dalam kitabnya Al-Iksir Al-Aziz sebagaimana dikutip dan diringkas oleh Syekh Abdurrahman menjelaskan hadits riwayat Imam Muslim: "Anak bagi suami yang sah", jika seorang istri melakukan zina sampai melahirkan anak, maka anak tersebut nasabnya bersambung kepada suami yang sah, bukan kepada laki-laki yang menzinainya, meskipun ia mengklaim anak tersebut adalah anaknya.
 

مَسْأَلَةٌ: مُلَخَّصَةٌ مَعَ زِيَادَةٍ مِنَ الْإِكْسِيْرِ الْعَزِيْزِ لِلشَّرِيْفِ مُحَمَّدٍ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ عَنْقَاءٍ فِي حَدِيْثِ: الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ الخ، إِذَا كَانَتِ الْمَرْأَةُ فِرَاشاً لِزَوْجِهَا أَوْ سَيِّدِهَا فَأَتَتْ بِوَلَدٍ مِنَ الزِّنَا كَانَ الْوَلَدُ مَنْسُوباً لِصَاحِبِ الْفِرَاشِ لَا إِلَى الزَّانِي، فَلَا يَلْحَقُهُ الوَلَدُ وَلَا يُنْسَبُ إِلَيْهِ ظَاهِراً وَلَا بَاطِناً وَإِنِ اسْتَلْحَقَهُ
 

Artinya, "Masalah: Ringkasan dengan tambahan dari kitab Al-Iksir Al-Aziz karya As-Syarif Muhammad bin Ahmad bin Anqa’ terkait hadis: “Anak bagi suami yang sah”, yaitu jika seorang perempuan menjadi firasy (istri sah) bagi suaminya atau menjadi budak perempuan bagi tuannya, lalu ia melahirkan seorang anak dari hasil zina, maka anak tersebut tetap dinisbatkan kepada pemilik firasy (suami atau tuannya), bukan kepada laki-laki yang berzina dengannya. Anak itu tidak disandarkan kepada pezina, baik secara lahir maupun batin, meskipun pezina tersebut mengklaim (istilhaq) anak itu sebagai anaknya." (Abdurrahman, 308).
 

Walhasil, zina adalah dosa besar yang harus dihindari oleh setiap orang Islam. Kakak perempuan penanya secara hukum fiqih nasabnya adalah kepada ayah penanya sebagai suami ibu yang sah jika dilahirkan setelah enam bulan sejak kemungkinan pertama kali mereka berkumpul setelah akad nikah sebagaimana dijelaskan dalam hadits "Al-walad lil firasy", kecuali ayah saudara menafikan kakak perempuan penanya, bahwa ia bukan merupakan anaknya dengan mekanisme sumpah li'an
 

Dengan demikian, perwalian ayah penanya dalam pernikahan kakak perempuannya sudah tepat dan sah secara hukum fiqih. Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan semoga bermanfaat. Wallahu a'lam. 
 

 

Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo