Syariah

Ketegasan Hukuman dalam Islam bagi Pelaku Tuduhan Zina

NU Online  ·  Senin, 14 Juli 2025 | 15:00 WIB

Ketegasan Hukuman dalam Islam bagi Pelaku Tuduhan Zina

Ilustrasi kesedihan korban tuduhan zina. Sumber: Canva/NU Online.

Bayangkan misalnya seorang wanita dituduh berzina oleh tetangganya sendiri hanya karena dendam pribadi. Isu itu menyebar luas, mencoreng nama baik keluarganya, hingga sang ayah dipaksa melakukan tes DNA untuk anak yang baru lahir. Padahal, tidak ada satu pun bukti sah, apalagi empat orang saksi mata yang menyaksikan langsung perbuatan tersebut.


Bagaimana Islam merespons potensi pencemaran kehormatan seperti ini? Islam memosisikan kehormatan sebagai salah satu hak asasi manusia yang paling dijaga, sejajar dengan darah dan harta. Dalam sabda Nabi Muhammad SAW:

 

إِنَّ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ، عَلَيْكُمْ حَرَامٌ


Artinya, “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram (tidak boleh dilanggar) di antara kalian semua.” (HR. Bukhari-Muslim)


Dengan landasan ini, tuduhan zina tanpa bukti yang jelas dalam Islam bukan sekadar dianggap sebagai sebuah kesalahpahaman dalam komunikasi, melainkan pelanggaran besar yang dikenai hukuman tegas. Islam menetapkan had qadzaf, atau hukuman bagi penuduh zina tanpa bukti, sebagai sanksi syar’i bagi siapa pun yang menuduh zina tanpa menghadirkan empat orang saksi yang kredibel. Allah SWT berfirman:

 

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ المُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلاَ تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الفَاسِقُونَ 


Artinya, “Orang-orang yang menuduh wanita-wanita terpelihara (dari zina), kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka sebanyak delapan puluh kali cambukan, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 4)


Ayat ini menunjukkan betapa seriusnya Islam menjaga kehormatan seseorang dari fitnah dan tuduhan yang tidak berdasar. Had qadzaf bukan hanya hukuman fisik, tetapi juga bentuk perlindungan sosial dan moral terhadap kehormatan setiap individu.


Menjaga Kehormatan Perempuan: Pelajaran dari Kisah Sayyidah 'Aisyah

Dalam catatan sejarah Islam, Sayyidah 'Aisyah pernah mengalami cobaan besar berupa tuduhan zina. Peristiwa yang dikenal sebagai Hadits al-Ifk ini menjadi salah satu ujian terberat dalam hidup beliau, juga mengguncang hati Nabi Muhammad SAW sebagai suaminya. Fitnah itu tersebar luas dan berlarut-larut hingga lebih dari satu bulan, tanpa kepastian dan tanpa pembelaan.


Sayyidah 'Aisyah sendiri menggambarkan betapa dalam luka batin yang ia alami akibat tuduhan tersebut. Beliau menuturkan:


بَكَيْتُ تِلْكَ اللَّيْلَةَ حَتَّى أَصْبَحْتُ، لَا يَرْقَأُ لِي دَمْعٌ، وَلَا أَكْتَحِلُ بِنَوْمٍ، ثُمَّ أَصْبَحْتُ أَبْكِي


Artinya, “Aku menangis sepanjang malam hingga pagi. Air mataku tak henti mengalir, dan aku sama sekali tak bisa tidur. Bahkan ketika pagi tiba, aku masih terus menangis.” (HR. Bukhari)


Fitnah itu akhirnya berakhir setelah Allah SWT menurunkan wahyu yang secara tegas membela dan menyucikan Sayyidah 'Aisyah dari segala tuduhan. Turunnya ayat ini tidak hanya menenangkan jiwa Rasulullah SAW dan keluarganya, tetapi juga menjadi momen tegaknya keadilan di tengah masyarakat.


Setelah turunnya ayat pembelaan, Rasulullah SAW berdiri di atas mimbar dan menyampaikan firman Allah kepada para sahabat. Beliau kemudian menegakkan hukum terhadap para penuduh.


Sayyidah 'Aisyah menceritakan:


لَمَّا نَزَلَ عُذْرِي، قَامَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَذَكَرَ ذَلِكَ وَتَلَا الْقُرْآنَ، فَلَمَّا نَزَلَ أَمَرَ بِرَجُلَيْنِ وَامْرَأَةٍ فَضُرِبُوا الْحَدَّ


Artinya, “Ketika turun pembelaanku dari Allah, Rasulullah SAW berdiri di atas mimbar, lalu menyampaikan hal itu dan membacakan Al-Qur’an. Setelah beliau turun, beliau memerintahkan (agar dihukum) dua laki-laki dan satu perempuan, dan mereka pun dijatuhi hukuman had.” (HR. Ahmad)


Peristiwa ini menjadi bukti nyata bahwa Islam, melalui hukum qadzaf, hadir untuk melindungi kehormatan perempuan dari fitnah dan pembunuhan karakter. Ketegasan hukum ini bukan sekadar sanksi, tetapi juga perisai moral yang melindungi perempuan dari luka sosial akibat tuduhan tanpa bukti. Islam tidak membiarkan kehormatan seorang wanita menjadi tumbal dari dendam, gosip, atau spekulasi. Sebaliknya, Islam berdiri kokoh menjaga kehormatan manusia dengan keadilan yang jelas dan tegas.


Menjaga Kehormatan dan Kejelasan Nasab dalam Islam

Dalam pandangan para ulama, tuduhan zina tidak hanya mencederai kehormatan pribadi, tetapi juga mengancam kejelasan nasab, garis keturunan yang menjadi fondasi dalam banyak aspek hukum Islam. Ketika salah satu pasangan suami istri dituduh berzina, dampaknya tidak berhenti pada individu tersebut saja, melainkan juga meluas hingga memunculkan keraguan terhadap nasab anak atau keluarga secara keseluruhan.


Oleh karena itu, Islam menetapkan had qadzaf sebagai perlindungan tegas untuk menjaga tidak hanya kehormatan pribadi, tetapi juga kehormatan keluarga dan nasab. Imam Ibnu ‘Arabi dari mazhab Maliki menjelaskan:


لَا خِلَافَ أَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ جَعَلَ الْأَعْرَاضَ ثُلُثَ الدِّينِ فِي أَبْوَابِ الْمَنْهِيَّاتِ، وَصَانَهَا بِالتَّغْلِيظِ فِيهَا رَجْمًا فِي الْفَرْجِ فَإِنَّهُ مِنَ الْعِرْضِ، وَحَدًّا فِي النَّسَبِ لِأَنَّهُ سَبَبٌ مِنْ أَسْبَابِ الْأَحْكَامِ.


Artinya, “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa Allah SWT menjadikan kehormatan sebagai sepertiga dari agama dalam perkara larangan. Allah menjaganya dengan hukuman berat berupa rajam dalam kasus zina, karena itu bagian dari kehormatan. Begitu pula menetapkan had qadzaf dalam menjaga nasab, karena nasab merupakan salah satu sebab hukum,” (Al-Qabas fi Syarh Muwatthaʾ Malik bin Anas, [Beirut: Darl Gharb al-Islami, cet. I, 1992 M], Jilid I, hlm. 18).


Dengan demikian, ketentuan had qadzaf berlaku universal. Tuduhan tidak hanya dianggap kejahatan jika diarahkan kepada perempuan, tetapi juga jika ditujukan kepada laki-laki. Islam tidak membeda-bedakan dalam menjaga kehormatan. 


Imam al-Lakhni juga menegaskan hal ini:


وَلَا خِلَافَ أَنَّ ذَلِكَ مَمْنُوعٌ مِنَ الرِّجَالِ كَمَنْعِهِ مِنَ النِّسَاءِ


Artinya, “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa (qadzaf) dilarang terhadap laki-laki sebagaimana dilarang terhadap perempuan.” (At-Tabsirah, [Qatar: Wizarat al-Awqaf wa asy-Syuʾun al-Islamiyyah, cet. I, 1432 H/2011 M], juz XIII, hal. 6235)


Islam memandang kehormatan sebagai hak asasi yang sangat agung, sejajar dengan darah dan harta. Karena itu, menuduh seseorang berzina tanpa bukti sah termasuk pelanggaran besar yang mendapat ancaman tegas berupa had qadzaf.

 

Kisah fitnah terhadap Sayyidah ‘Aisyah RA menjadi pelajaran nyata bagaimana luka sosial akibat tuduhan palsu dapat mengguncang kehidupan seseorang. Allah kemudian menurunkan ayat pembelaan, dan Rasulullah SAW menegakkan hukuman kepada para penuduh.


Semua ini menunjukkan bahwa had qadzaf atau hukuman bagi orang yang menuduh zina tanpa bukti adalah benteng syariat dalam menjaga kehormatan seseorang dan memastikan kejelasan nasab, tanpa memandang jenis kelamin, status sosial, atau latar belakang. Islam hadir sebagai pelindung martabat manusia secara menyeluruh. Wallahu a'lam.


Ustadz Ahmad Maimun Nafis, Pengajar di Pondok Pesantren Darul Istiqamah, Batuan, Sumenep.