Izin Peredaran Minuman Beralkohol Perspektif Bahtsul Masail
Selasa, 26 November 2024 | 12:15 WIB
Dampak sosial akibat konsumsi minuman beralkohol terus meningkat. Tingginya angka kriminalitas yang dipicu oleh perilaku konsumsi alkohol menjadi ancaman serius di Indonesia. Pemerintah telah mengambil langkah positif melalui peraturan yang mengatur kadar alkohol dan lokasi konsumsi, guna mengendalikan peredarannya secara sembarangan.
Namun, kebijakan pemerintah yang tetap mengizinkan konsumsi alkohol dalam batas tertentu menarik perhatian berbagai pihak, termasuk Nahdlatul Ulama di tingkat pusat maupun wilayah.
Sebagai respon, Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Iistimewa Yogyakarta mengkaji hukum kebijakan ini, khususnya terkait Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/m-dag/per/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol, yang dinilai belum dijalankan secara optimal.
Kebijakan Peredaran Minol dalam Keputusan Bahtsul Masail LBM PWNU DIY
Bahtsul Masail LBM PWNU DIY di Pondok Pesantren ORA AJI Sleman, pada 9 November 2024, membahas persoalan peraturan peredaran minuman beralkohol. Diskusi ini mengangkat tiga sub pertanyaan utama:
- Apakah diperbolehkan bagi pemerintah menetapkan peraturan yang mengizinkan peredaran minuman beralkohol dengan ketentuan tertentu?
- Apakah masyarakat diperbolehkan melakukan penutupan outlet minuman beralkohol secara paksa jika pemerintah tidak tegas terhadap pelanggaran aturan yang berlaku?
- Bagaimana hukum menerima dana atau sedekah yang berasal dari outlet minuman beralkohol?
Setelah melalui perdebatan yang panjang, LBM PWNU DIY memutuskan hukum terkait persoalan ini sebagai berikut:
- Minuman beralkohol adalah produk minuman yang diharamkan. Begitu juga meniagakan dan mengedarkannya adalah perbuatan yang diharamkan. Dalam hal ini pemerintah dibenarkan membuat aturan-aturan tertentu untuk mengendalikan dan membatasi peredaran minuman beralkohol. Hal ini dikarenakan pelarangan secara mutlak justru akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar (akhaffud dhararain), di antaranya potensi tersebarnya pasar gelap minuman beralkohol dan merebaknya alkohol ilegal; penyalahgunaan zat terlarang lainnya atau obat-obatan sebagai pengganti; serta tidak terkendalinya peredaran minuman beralkohol.
- Masyarakat tidak diperbolehkan melakukan penutupan outlet minuman beralkohol, karena hal itu merupakan wewenang pemerintah. Penutupan outlet minuman beralkohol yang dilakukan oleh masyarakat sipil berpotensi menimbulkan permusuhan dan konflik sosial. Masyarakat tetap wajib berupaya melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan mendesak pemerintah secara konsisten menegakkan peraturan-peraturan yang ada, termasuk menutup toko-toko minuman beralkohol yang tidak menaati peraturan yang berlaku.
- Umat Islam tidak diperbolehkan menerima dana sosial dari outlet minuman beralkohol, seperti Outlet23. Hal ini dikarenakan sumber penghasilan dari outlet tersebut adalah jelas dari jual-beli komoditi yang diharamkan. Menerima dana sosial dari outlet minuman beralkohol juga akan menimbulkan kesan dukungan terhadap keberadaan outlet tersebut di tengah masyarakat. (Hasil Rumusan Bahtsul Masail LBM PWNU DIY di Pondok Pesantren ORA AJI Purwomertani, Kalasan, Sleman, DIY, Sabtu 09 November 2024).
Ketiga rumusan di atas menarik untuk dikaji satu persatu.
Izin Peredaran Minuman Beralkohol
Pertama, terkait pertanyaan tentang pemberian izin pemerintah terhadap peredaran minuman beralkohol di wilayah tertentu.
Dalam hal ini, LBM PWNU DIY menegaskan bahwa minuman beralkohol termasuk kategori minuman yang diharamkan. Konsekuensinya, aktivitas seperti memperjualbelikan, mengedarkan, atau membiarkan transaksi minuman beralkohol berlangsung dengan bebas, secara hukum asalnya juga haram karena termasuk dalam kategori i’anah bil ma’siyat (membantu dalam kemaksiatan).
Namun demikian, menurut Bahtsul Masail, pemberian izin oleh pemerintah untuk peredaran minuman beralkohol dalam kondisi tertentu dapat dibenarkan. Alasannya, jika minuman beralkohol dilarang secara mutlak, hal ini justru berpotensi menimbulkan mudarat yang lebih besar, seperti munculnya pasar gelap alkohol, penyebaran alkohol ilegal, penyalahgunaan zat terlarang sebagai alternatif, serta ketidakmampuan mengendalikan peredarannya.
Kasus semacam ini dalam kaidah fiqih dikenal dengan prinsip irtikabu akhaffid dhararain, atau memilih kemudaratan yang paling ringan. Yakni ketika seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang keduanya mengandung keharaman, maka opsi yang dipilih adalah keharaman dengan dampak kerusakan yang lebih kecil.
إِذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتَانِ رُوعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
Artinya, “Apabila berhadapan dua mafsadat, maka yang harus diperhatikan mana yang lebih besar bahayanya, dengan cara mengerjakan yang lebih ringan madlaratnya .” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazhair, 87).
Baca Juga
Hukum Memanfaatkan Cukai Minuman Keras
Bahtsul masail juga menguatkan rumusan jawabannya dengan menggunakan kaidah fiqih yang dirumuskan oleh Syekh Izzuddin bin Abdussalam dalam karya monumentalnya, Qawa'idul Ahkam fi Masalihil Anam.
Syekh Izzuddin menjelaskan, dalam kondisi tertentu kadang dibolehkan memberikan ruang terhadap suatu kemaksiatan—dalam konteks ini, memberikan izin peredaran minuman beralkohol—jika hal tersebut menjadi sarana untuk mencapai kemaslahatan yang lebih besar dan menghindari kerusakan yang lebih parah.
قَدْ تَجُوزُ ٱلْمُعَاوَنَةُ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَانِ وَٱلْفُسُوقِ وَٱلْعِصْيَانِ لَا مِنْ جِهَةِ كَوْنِهِ مَعْصِيَةً، بَلْ مِنْ جِهَةِ كَوْنِهِ وَسِيلَةً إِلَى مَصْلَحَةٍ، وَلَهُ أَمْثِلَةٌ، مِنْهَا مَا يُبْذَلُ فِي ٱفْتِكَاكِ ٱلْأَسْرَى فَإِنَّهُ حَرَامٌ عَلَى آخِذِيهِ، مُبَاحٌ لِبَاذِلِيهِ... وَمِنْهَا أَنْ يُكْرِهَ ٱمْرَأَةً عَلَى ٱلزِّنَا وَلَا يَتْرُكُهَا إِلَّا بِٱفْتِدَاءٍ بِمَالِهَا أَوْ بِمَالِ غَيْرِهَا، فَيَلْزَمُهَا ذٰلِكَ عِنْدَ إِمْكَانِهِ. وَلَيْسَ هٰذَا عَلَى ٱلتَّحْقِيقِ مُعَاوَنَةً عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَانِ وَٱلْفُسُوقِ وَٱلْعِصْيَانِ، وَإِنَّمَا هُوَ إِعَانَةٌ عَلَى دَرْءِ ٱلْمَفَاسِدِ، فَكَانَتِ ٱلْمُعَاوَنَةُ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَانِ وَٱلْفُسُوقِ وَٱلْعِصْيَانِ فِيهَا تَبَعًا لَا مَقْصُودًا
Artinya, “Terkadang diperbolehkan membantu perbuatan dosa dan kefasikan bukan karena hal itu merupakan kemaksiatan, melainkan karena ia menjadi sarana untuk mencapai suatu kemaslahatan.
Kasus ini memiliki beberapa contoh, di antaranya adalah memberikan harta untuk membebaskan tawanan. Harta Tebusan diharamkan bagi yang menerimanya, tetapi diperbolehkan bagi yang memberikannya. Contoh lain ketika seseorang memaksa seorang wanita untuk berzina dan tidak akan melepaskannya kecuali dengan tebusan, maka ia wajib membayar tebusan itu.
Kondisi semacam ini sejatinya bukanlah membantu dalam dosa atau kefasikan. Sebaliknya, ini adalah upaya bantuan untuk mencegah kemudaratan yang lebih besar. Oleh karenanya, keterlibatan dalam dosa dalam konteks ini hanyalah wasilah bukan tujuan utama.” (Qawa'idul Ahkam, juz I, halaman 129).
Selain menggunakan nalar kaidah fiqih, Bahtsul Masail juga mengutip pandangan dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in karya Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah. Dalam kitab dijelaskan, terdapat empat tingkatan nahi munkar jika ditinjau dari dampaknya:
- Kemungkaran dapat hilang sepenuhnya dan digantikan dengan kebaikan.
- Kemungkaran dapat berkurang meskipun tidak sepenuhnya hilang.
- Kemungkaran digantikan dengan kemungkaran lain yang setara.
- Kemungkaran digantikan dengan kemungkaran yang lebih besar.
Dari keempat tingkatan di atas, hanya dua tingkatan pertama yang boleh dilakukan. Tingkatan ketiga memerlukan pertimbangan matang sebelum dilakukan. Sedangkan tingkatan keempat hukumnya haram baik bagi pemerintah maupun masyarakat untuk melakukannya.
Menurut LBM PWNU DIY, kebijakan pemerintah dalam memberikan izin peredaran minuman beralkohol adalah bentuk upaya menghindari tingkatan nahi munkar yang keempat, yaitu membiarkan kemungkaran yang lebih besar terjadi, seperti peredaran alkohol ilegal yang tidak terkendali atau penyalahgunaan zat terlarang lainnya.
Dalam kitab yang sama juga dijelaskan, orang-orang yang sedang meminum khamr tidak boleh dilarang jika pelarangan tersebut justru akan mendorong mereka melakukan kemaksiatan yang lebih besar, seperti pembunuhan, pencurian, atau penculikan anak-anak.
Atas dasar ini, kebijakan pemerintah yang memberikan izin peredaran minuman beralkohol dalam kondisi tertentu menjadi semakin logis dan menemukan justifikasinya.
وإذا رأيت الفساق قد اجتمعوا على لهو ولعب أو سماع مكاء وتصدية فإن نقلتهم عنه إلى طاعة [الله فهو المراد] وإلا كان تركهم على ذلك خيرا من أن تفرغهم لما هو أعظم من ذلك فكان ما هم فيه شاغلا لهم عن ذلك، ... وسمعت شيخ الإسلام ابن تيمية قدس الله روحه يقول: مررت أنا وبعض أصحابي في زمن التتار بقوم منهم يشربون الخمر، فأنكر عليهم من كان معي، فأنكرت عليه، وقلت له: إنما حرم الله الخمر لأنها تصد عن ذكر الله وعن الصلاة، وهؤلاء يصدهم الخمر عن قتل النفوس وسبي الذرية وأخذ الأموال فدعهم
Artinya, "Jika engkau melihat pelaku kefasikan berkumpul untuk bersenang-senang, atau mendengarkan hiburan yang sia-sia, maka jika engkau mampu memindahkan mereka dari keadaan tersebut pada ketaatan kepada Allah, itulah yang diharapkan. Namun, jika tidak mampu, maka membiarkan mereka dalam keadaan tersebut lebih baik daripada membuat mereka berpaling pada sesuatu yang lebih besar kemungkarannya. Apa yang mereka lakukan saat ini menjadi kesibukan yang menghalangi mereka dari kemungkaran yang lebih besar.
Aku pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, berkata: 'Suatu ketika aku bersama sebagian sahabatku melewati sekelompok tentara Tatar yang sedang meminum khamr. Salah seorang yang bersamaku mengingkari mereka, namun aku justru melarangnya. Aku berkata kepadanya:
'Sesungguhnya Allah mengharamkan khamr karena ia menghalangi manusia dari mengingat Allah dan melaksanakan shalat. Sedangkan mereka ini, khamr justru menghalangi mereka dari membunuh nyawa, memperbudak anak-anak, dan merampas harta benda, maka biarkan mereka'.'" (Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in, juz IV, halaman 340).
Penutupan Outlet Miuman Keras secara Paksa oleh Masyarakat Sipil
Kedua, sub pertanyaan bahtsul masail yang membahas apakah warga diperbolehkan melakukan sweeping terhadap outlet penjualan minuman beralkohol jika pemerintah tidak tegas dalam menegakkan aturan terkait pelanggaran tersebut?
Sebagaimana dijelaskan dalam rumusan jawaban, masyarakat tidak diperbolehkan bertindak main hakim sendiri untuk menutup outlet penjualan minuman beralkohol. Tindakan semacam ini berpotensi memicu permusuhan dan konflik sosial di tengah masyarakat.
LBM PWNU Yogyakarta mendasarkan argumentasi ini dengan mengacu pada tahapan nahi munkar sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin:
قَدْ ذَكَرْنَا دَرَجَاتِ ٱلْأَمْرِ بِٱلْمَعْرُوفِ، وَأَنَّ أَوَّلَهُ ٱلتَّعْرِيفُ، وَثَانِيهِ ٱلْوَعْظُ، وَثَالِثَهُ ٱلتَّخْشِينُ فِي ٱلْقَوْلِ، وَرَابِعَهُ ٱلْمَنْعُ بِٱلْقَهْرِ فِي ٱلْحَمْلِ عَلَى ٱلْحَقِّ بِٱلضَّرْبِ وَٱلْعُقُوبَةِ. وَٱلْجَائِزُ مِنْ جُمْلَةِ ذٰلِكَ مَعَ ٱلسَّلَاطِينِ ٱلرُّتْبَتَانِ ٱلْأُولَيَانِ، وَهُمَا ٱلتَّعْرِيفُ وَٱلْوَعْظُ. وَأَمَّا ٱلْمَنْعُ بِٱلْقَهْرِ فَلَيْسَ ذٰلِكَ لِآحَادِ ٱلرَّعِيَّةِ مَعَ ٱلسُّلْطَانِ، فَإِنَّ ذٰلِكَ يُحَرِّكُ ٱلْفِتْنَةَ وَيُهَيِّجُ ٱلشَّرَّ، وَيَكُونُ مَا يَتَوَلَّدُ مِنْهُ مِنَ ٱلْمَحْذُورِ أَكْثَرَ
Artinya, "Kami telah menjelaskan tingkatan-tingkatan amar ma'ruf, bahwa tingkatan pertama adalah pemberian pengertian (ta'rif); kedua nasihat (wa'zhu); ketiga memperkeras ucapan (takhsyin fil qaul); dan keempat pencegahan secara paksa.
Dari semua tingkatan tersebut, yang diperbolehkan terhadap para penguasa hanyalah dua tingkatan pertama, yaitu pemberian pengertian dan nasihat. Adapun pencegahan secara paksa, hal itu tidak dibenarkan dilakukan oleh individu rakyat terhadap penguasa, karena hal itu dapat memicu fitnah, menimbulkan keburukan, dan akibat buruk yang timbul darinya lebih besar." (Al-Ghazali, Ihya' Ulumiddin, juz II, halaman 343).
Dalam penjelasan selanjutnya, Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa mobilisasi massa dan mengangkat senjata untuk menghilangkan kemungkaran secara paksa dapat memicu fitnah yang besar. Karena itu, mayoritas ulama mensyaratkan adanya izin dari pihak yang berwenang sebelum melakukan tindakan tersebut, dalam hal ini adalah kepolisian.
وَأَمَّا جَمْعُ ٱلْأَعْوَانِ وَشَهْرُ ٱلْأَسْلِحَةِ فَذٰلِكَ قَدْ يَجُرُّ إِلَى فِتْنَةٍ عَامَّةٍ، فَفِيهِ نَظَرٌ .وَقَدْ ذَهَبَ إِلَى ٱشْتِرَاطِ ٱلْإِذْنِ فِي هٰذِهِ ٱلْحَالَةِ جَمَهَرَةُ ٱلْعُلَمَاءِ، لِأَنَّهُ يُؤَدِّي إِلَى ٱلْفِتَنِ وَهَيَجَانِ ٱلْفَسَادِ
Artinya, "Adapun pengumpulan masa (a'wan) dan mengangkat senjata, hal tersebut dapat menyebabkan timbulnya fitnah besar yang bersifat umum, sehingga perlu kajian lebih lanjut. Mayoritas ulama berpendapat bahwa tindakan semacam itu mensyaratkan adanya izin, karena dapat memicu fitnah dan kerusakan besar.” (Al-Ghazali, II/346).
Hukum Menerima Sumbangan Dana dari Outlet Minuman Beralkohol
Ketiga, pertanyaan bagaimana hukum menerima dana atau sedekah yang berasal dari outlet minuman beralkohol?
Bahtsul Masail merumuskan:
"Umat Islam tidak diperbolehkan menerima dana sosial dari outlet minuman beralkohol, seperti Outlet23. Hal ini dikarenakan sumber penghasilan dari outlet tersebut adalah jelas dari jual-beli komoditi yang diharamkan. Menerima dana sosial dari outlet minuman beralkohol juga akan menimbulkan kesan dukungan terhadap keberadaan outlet tersebut di tengah masyarakat." (Hasil Rumusan Bahtsul Masail LBM PWNU DIY).
Setidaknya ada dua landasan pemikiran yang digunakan oleh LBM PWNU DIY dalam merumuskan jawaban ini:
- Sumber dana berasal dari transaksi komoditas haram, sehingga hukumnya tidak diperbolehkan.
- Menerima sumbangan tersebut menunjukkan kesan rela dan mendukung kemaksiatan.
Rujukan keputusan salah satunya adalah keterangan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami yang menjelaskan, harta yang secara jelas bersumber dari transaksi haram tidak boleh diterima. Terlebih jika penerimaan tersebut memberikan legitimasi atau dukungan terhadap aktivitas haram.
وَسُئِلَ) رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ بِمَا لَفْظُهُ: لَا يَخْفَى مَا عَلَيْهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى مِنْ بَيْعِ الْخُمُورِ وَتَعَاطِي الرِّبَا وَغَيْرِ ذَلِكَ، فَهَلْ تَحِلُّ مُعَامَلَتُهُمْ وَهَدَايَاهُمْ وَتَحْرُمُ مُعَامَلَةُ مَنْ أَكْثَرُ مَالِهِ حَرَامٌ أَوْ لَا؟ (فَأَجَابَ) نَفَعَنَا اللهُ بِهِ بِقَوْلِهِ: حَيْثُ لَمْ يَتَحَقَّقْ حَرَامًا مُعَيَّنًا جَازَتْ مُعَامَلَتُهُمْ وَقُبُولُ هَدَايَاهُمْ، فَإِنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبِلَ هَدَايَاهُمْ. أَمَّا إِذَا تَحَقَّقَ كَأَنْ رَأَى ذِمِّيًّا يَبِيعُ خَمْرًا وَقَبَضَ ثَمَنَهُ وَأَعْطَاهُ لِلْمُسْلِمِ عَنْ دَيْنٍ أَوْ غَيْرِهِ، فَإِنَّهُ لَا يَحِلُّ لِلْمُسْلِمِ قَبُولُهُ، كَمَا قَالَهُ الشَّيْخَان
Artinya, "Ibnu Hajar Al-Haitami radhiyallahhu ta'ala 'anhu ditanya dengan redaksi pertanyaan: 'Tidak samar bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani biasa menjual khamr, melakukan riba, dan selainnya. Apakah diperbolehkan bertransaksi dengan mereka dan menerima hadiah mereka, serta apakah haram bertransaksi dengan orang yang mayoritas hartanya haram?'
Ibnu Hajar Al-Haitami menjawab: 'Selama harta mereka tidak dapat dipastikan keharamannya, maka dibolehkan bertransaksi dengan mereka dan menerima hadiahnya, karena Nabi saw menerima hadiah mereka.
Namun, jika harta mereka dapat dipastikan, seperti melihat ahli kitab menjual khamr, kemudian menerima uang hasil penjualan itu, lalu memberikannya kepada seorang Muslim untuk melunasi utang atau lainnya, maka tidak dibolehkan bagi seorang Muslim untuk menerimanya," sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ar-Rafi’i dan Imam An-Nawawi'.” (Ibnu Hajar Al-HAitami, Al-Fatawal Fiqhiyah Al-Kubra, juz II, halaman 233).
Rekomendasi Bahtsul Masail LBM PWNU Yogyakarta
Selain memberikan jawaban atas pertanyaan seputar permasalahan minuman beralkohol, LBM PWNU Yogyakarta juga memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah untuk menindaklanjuti permasalahan ini. Berikut ini rekomendasinya:
“Pemerintah wajib menjaga komitmen terhadap penegakan hukum dan menindak semua praktik peredaran minuman beralkohol yang melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Pemerintah juga wajib membuat revisi peraturan untuk menyesuaikan perkembangan fakta peredaran minuman beralkohol, termasuk di antaranya membuat regulasi pelarangan peredaran minuman beralkohol melalui media sosial (online).” Wallahu a'lam.
Ustadz M Intihaul Fudola, Pegiat Literasi dan Aktivis Bahtsul Masail asal Banyuwangi