Sirah Nabawiyah

Memaknai Simbol dalam Ukiran Cincin dan Tulisan Bendera Era Islam Awal

NU Online  ยท  Sabtu, 16 Agustus 2025 | 16:30 WIB

Memaknai Simbol dalam Ukiran Cincin dan Tulisan Bendera Era Islam Awal

Ilustrasi bendera. Sumber: Canva/NU Online.

Sejarah Islam awal tidak hanya tercatat dalam teks-teks besar, tetapi juga tersimpan dalam simbol-simbol kecil yang sarat makna, seperti ukiran pada cincin dan tulisan di bendera. Dari masa Nabi Muhammad hingga kekhalifahan besar seperti Umayyah dan Abbasiyah, simbol ini berperan sebagai penanda otoritas, penguat legitimasi, dan media dakwah yang ringkas namun tajam. Melalui ukiran dan panji, para pemimpin menyampaikan pesan teologis, moral, dan politik yang menembus batas zaman, sekaligus membentuk narasi kepemimpinan Islam.


Penulis mencoba merangkum ukiran cincin dan tulisan bendera pada era Rasulullah hingga kepemimpinan setelahnya berdasarkan laporan 'Ashim Muhammad Rizq dalam Rayatul Islam Minal Liwa' an-Nabawi al-Abyadh ilal 'Alam Al-Utsmani Al-Amar (Kairo: Maktabah Madbuli: 2006), hlm. 89-99.ย 


Pada masa Nabi Muhammad, cincin menjadi salah satu simbol otoritas kenabian. Oleh karena itu, pada cincin beliau terdapat ukiran ู…ุญู…ุฏ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ (Muhammad adalah utusan Allah). Pola demikian kemudian dilanjutkan oleh pemimpin pasca Rasul atau dikenal dengan Khulafaur Rasyidin. Berbeda dengan ukiran cincin Rasulullah, empat khalifah ini memiliki tulisan yang beragam dengan muatan teologis (tauhid) dan nasihat ukhrawi.


Cincin Abu Bakar berukiran tulisan ู†ุนู… ุงู„ู‚ุงุฏุฑ ุงู„ู„ู‡ (Allah sebaik-baiknya Dzat yang berkehendak), Umar bertuliskan ูƒูู‰ ุจุงู„ู…ูˆุช ูˆุงุนุธุง (cukup kematian sebagai penasihat) atau ุขู…ู†ุช ุจุงู„ุฐูŠ ุฎู„ู‚ู†ูŠ (aku beriman kepada Allah yang menciptakanku), Utsman bertuliskan ุขู…ู†ุช ุจุงู„ู„ู‡ ู…ุฎู„ุตุง (saya beriman kepada Allah dengan tulus) atau ุขู…ู†ุช ุจุงู„ู„ู‡ ุงู„ุนุธูŠู… (saya beriman kepada Allah yang Maha Agung) atau ู„ุชุตุจุฑู† ุฃูˆ ู„ุชู†ุฏู…ู† (bersabar atau menyesal), dan Utsman bertuliskan ุงู„ู…ู„ูƒ ู„ู„ู‡ (kekuasaan hanya milik Allah).


Variasi ukiran pada cincin keempat khalifah ini bukan sekadar ornamen, tetapi merupakan media komunikasi politik dan spiritual yang membangun citra pemimpin sekaligus mengukuhkan legitimasi kekuasaan di mata umat. Penting ditegaskan bahwa cincin yang dipakai Nabi hingga era kepemimpinan awal Islam berikutnya, bukan sekadar cincin hiasan, tetapi sekaligus menjadi alat administratif negara seperti untuk dibubuhi pada surat-surat kerajaan. Fungsinya mirip stempel di era modern, hanya saja bukan dicelup ke tinta, tapi berupa stempel timbul (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiah, 2020], hlm. 202).


Tradisi mengukir cincin berlanjut pada era kepemimpinan berikutnya, yaitu Dinasti Umayyah. Menariknya, jika era sebelumnya hanya dilakukan pada cincin, masa Umayyah sudah merambah ke hiasan bendera yang beraneka ragam. Ibnu Khaldun mengkritik tradisi ini sebagai pengaruh dari tradisi Persia dan Romawi yang dinilai berlebihan. Bendera diidentikkan dengan warna tertentu dan dihiasi tulisan-tulisan yang memiliki pesan secara khususย (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 202).


Pendiri sekaligus khalifah Dinasti Umayyah pertama, Mu'awiyah bin Abu Sufyan, memiliki cincin berukiran tulisan ู„ุง ู‚ูˆุฉ ุฅู„ุง ุจุงู„ู„ู‡ (kekuatan hanya milik Allah), Marwan bin Hakam bertuliskan ุงู„ุนุฒุฉ ู„ู„ู‡ (kemuliaan hanya milik Allah), Walid bin Malik bertuliskan ูŠุง ูˆู„ูŠุฏ ุฅู†ูƒ ู…ูŠุช (Wahai Walid, suatu saat kau akan meninggal), Umar bin 'Abdul Aziz bertuliskan ู„ูƒู„ ุนู…ู„ ุซูˆุงุจ (setiap perbuatan ada balasannya), dan Hisyam bin Abdul Malik bertuliskan ุงู„ุญูƒู… ู„ู„ุญูƒูŠู… (hukum hanya milik Allah yang Maha Bijaksana). Sedangkan hiasan bendera Umayyah bertuliskan ู…ุญู…ุฏ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡, dan kemungkinan tambahan syahadat, ayat Al-Qur'an, atau dzikir.ย 


Di Andalusia sendiri, yaitu ada masa Abdurrahman III, bendera bertuliskan ุจู‚ุถุงุก ุงู„ู„ู‡ ุฑุงุถ (ridha terhadap keputusan Allah), dan masa Al-Hakam II dengan tulisan ุจุงู„ู„ู‡ ูŠุซู‚ ูˆุจู‡ ูŠุนุชุตู… (percaya dan berpegang teguh kepada Allah).


Perhatikan, ukiran cincin para khalifah Umayyah merupakan representasi orientasi simbolik yang memadukan pesan tauhid, nasihat moral, dan legitimasi kekuasaan. Mu'awiyah menegaskan sumber kekuatan mutlak ada pada Allah, Marwan mengaitkan kemuliaan hanya kepada-Nya, Walid menanamkan kesadaran akan kematian, Umar bin 'Abdul Aziz menekankan prinsip balasan amal, dan Hisyam menegaskan hukum milik Allah yang Maha Bijaksana. Pesan-pesan ini menjadi penanda identitas kepemimpinan yang ingin terlihat saleh, tegas, dan terikat pada otoritas ilahi di hadapan umat.


Sementara itu, bendera pada masa Umayyah membawa pesan simbolik yang lebih publik sifatnya. Tulisan ู…ุญู…ุฏ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ menjadi peneguh identitas politik Islam, sering dipadukan dengan syahadat, ayat Al-Qur'an, atau dzikir sebagai penguatan legitimasi keagamaan. Pola demikian bisa dimaknai sebagai penguatan citra religius dan simbol kedaulatan politik.


Lanjut ke Dinasti Abbasiyah, ditemukan bahwa cincin Abu Ja'far al-Mansur memiliki ukiran bertulis ุงู„ู„ู‡ ุซู‚ุฉ ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ูˆุจู‡ ูŠุคู…ู† (Allah adalah kepercayaan hamba Allah, dan kepada-Nya ia beriman), Harun Ar-Rasyid bertuliskan ุจุงู„ู„ู‡ ูŠุซู‚ ู‡ุงุฑูˆู† (Harun percaya kepada Allah), Ja'far al-Mutawakkil bertuliskan ุฌุนูุฑ ุนู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ูŠุชูˆูƒู„ (Ja'far bertawakal kepada Allah), Muhammad Al-Muntashir bertuliskan ู…ุญู…ุฏ ุจุงู„ู„ู‡ ูŠู†ุชุตุฑ (Muhammad mengandalkan pertolongan Allah), Al-Mu'tadhidh bertuliskan ุงู„ู…ุนุชู…ุฏ ุนู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ูŠุนุชู…ุฏ (Mu'tadhidh berpegang teguh kepada Allah).


Sedangkan bendera pada era Abbasiyah memiliki ciri warna hitam bertuliskan lafadz ู…ุญู…ุฏ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ menggunakan warna putih atau emas, terkadang ditambah kalimat syahadat, ayat Al-Qur'an, atau nama khalifah yang menjabat saat itu. Khusus pada era Al-Ma'mun, bendera memiliki tulisan ุฐูˆ ุงู„ุฑุฆุงุณุชูŠู† (pemilik dua kepemimpinan, dunia dan agama).


Seiring waktu, kebiasaan menulis nama pada panji tidak hanya dilakukan oleh khalifah, tetapi juga oleh pejabat tinggi dan panglima. Panji khusus terkadang diberi hiasan emas, ayat Al-Qur'an panjang, atau doa khusus. Contohnya, pada masa Al-Qa'im bi Amrillah, panji kehormatan dari sutra putih dihias lafadz "ู„ุง ุฅู„ู‡ ุฅู„ุง ุงู„ู„ู‡ ูˆุญุฏู‡ ู„ุง ุดุฑูŠูƒ ู„ู‡..." di satu sisi, dan lafadz "ู…ุญู…ุฏ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุฃุฑุณู„ู‡ ุจุงู„ู‡ุฏู‰..." di sisi lain, disertai nama khalifah. Pada ujung tongkat panji ditulis basmalah, nama khalifah, dan ayat-ayat tertentu sesuai tema kemenangan atau dukungan Allah bagi orang beriman.


Tradisi ukiran cincin dan tulisan bendera yang berlangsung sejak era Umayyah dan Abbasiyah terus berlanjut hingga era Fathimiyyah, Ayyubiyyah, Mamluk, hingga Utsmani.


Perhatikan, ukiran cincin para khalifah Abbasiyah menegaskan keterikatan pribadi pada Allah sebagai sumber kepercayaan, pertolongan, dan kekuatan moral. Abu Ja'far al-Mansur menekankan Allah sebagai sandaran iman, Harun ar-Rasyid menegaskan keyakinan pribadi, Ja'far al-Mutawakkil memproklamasikan tawakal, Muhammad al-Muntashir menyatakan kemenangan bergantung pada pertolongan Allah, sedangkan al-Mu'tadhidh menegaskan keteguhan berpegang kepada-Nya. Kalimat-kalimat ini menjadi representasi simbolik legitimasi spiritual yang menguatkan citra khalifah sebagai pemimpin yang saleh dan berorientasi ketuhanan.


Jika kita amati polanya secara periodik, pada masa awal Islam, simbol pada cincin dan bendera belum menonjolkan personalitas pemimpin tertentu. Tulisan yang dipilih lebih bersifat umum untuk menegaskan otoritas teologis sebagai penerus kepemimpinan Nabi Muhammad, sebagaimana dilakukan Khulafaur Rasyidin. Penekanan ini menciptakan legitimasi yang bersumber dari wahyu, bukan sekadar kekuatan politik. Dalam konteks masyarakat yang baru terbentuk sebagai komunitas politik-religius, simbol tersebut berfungsi memperkuat identitas kolektif dan menjaga kesinambungan misi kenabian di tengah umat.


Seiring perkembangan zaman dan meluasnya wilayah kekuasaan, simbol-simbol tersebut mulai bergeser menjadi lebih personal dengan mencantumkan nama khalifah yang berkuasa saat itu. Oleh karena itu, di era Abbasiyah, ukiran cincin tidak hanya bermuatan pesan keagamaan, tetapi juga identitas personal pemimpin terkait dengan mencantumkan namanya secara eksplisit. Perubahan ini tampaknya bertujuan mengokohkan otoritas pemimpin di tengah kompleksitas tata kelola dan tantangan stabilitas politik.ย 


Pencantuman nama yang disertai kalimat tauhid, ayat Al-Qur'an, atau semboyan tertentu, menjadikan simbol bukan sekadar tanda legitimasi umum, tetapi juga alat propaganda untuk mempersatukan wilayah luas di bawah figur khalifah yang spesifik.


Walhasil, dengan menelusuri jejak ukiran cincin dan tulisan bendera pada era Islam awal, kita memahami bahwa simbol-simbol ini bukan sekadar hiasan, tetapi juga bahasa politik, spiritual, dan budaya yang hidup. Simbol ini menyimpan pesan yang mengikat generasi, meneguhkan otoritas, serta membentuk kesadaran kolektif umat.

 

Dari kesederhanaan cap kenabian hingga kompleksitas panji kekhalifahan, simbol-simbol ini adalah warisan visual yang menyatukan sejarah dan iman yang mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati lahir dari keyakinan, bukan hanya dari pedang atau tahta.ย Wallahuย a'lam.


Ustadz Muhamad Abror, Penulis Keislaman dan Sejarah Abad Klasik.