Syariah

Kapan Mencukur Rambut Dinilai sebagai Ibadah?

Ahad, 25 Mei 2025 | 06:00 WIB

Kapan Mencukur Rambut Dinilai sebagai Ibadah?

Ilustrasi mencukur rambut. Sumber: Canva/NU Online.

Dalam tradisi Islam, mencukur rambut bukan sekadar tindakan menjaga kebersihan, tetapi juga sarat dengan makna spiritual dan hukum syariat yang beragam. Dalam kitab Tausyeh ‘ala Ibni Qasim, Syekh Nawawi Banten (w. 1316 H) menjelaskan:


وأما حلق الرأس فتارة يسن، وذلك في ثلاثة مواضع: في النسك، وسابع الولادة، وكافر أسلم. وتارة يكره، وذلك لمريد التضحية في عشر ذي الحجة. وتارة يباح وهو فيما عدا ذلك


Artinya: “Adapun mencukur rambut kepala, maka hukumnya terkadang disunnahkan, dan itu dalam tiga keadaan: saat melaksanakan ibadah haji atau umrah (nusuk), pada hari ketujuh kelahiran seorang bayi, dan bagi orang kafir yang masuk Islam. Terkadang hukumnya makruh, yaitu bagi orang yang hendak berkurban pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Dan terkadang hukumnya mubah, yaitu selain dari keadaan-keadaan yang telah disebutkan.” (Syekh Nawawi Al-Bantani, Tausyeh ‘ala Ibni Qasim, [Jakarta, Darul Kutub Al-Islamiyyah: 1423 H], hlm. 163).


Berdasarkan penjelasan Syekh Nawawi Banten, mencukur rambut merupakan amalan sunah dalam tiga keadaan tertentu, yaitu:


1. Sebelum Melaksanakan Ibadah

Mencukur rambut disunahkan bagi seseorang yang akan melaksanakan ibadah, seperti menjelang shalat Jumat. Tujuannya adalah memastikan kebersihan dan kesucian diri saat menunaikan ibadah tersebut.


Syekh Ibrahim Al-Bajuri (w. 1277 H) dalam kitab Hasyiah Al-Bajuri menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah mencukur rambutnya dalam empat kesempatan ibadah, sebagaimana dikutip dari Al-Hafidz As-Sakhawi:


وقد حلق ﷺ رأسه أربع مرات في النسك، الأولى: في عمرة الحديبية، والثانية: في عمرة القضاء، والثالثة: في الجعرانة، والرابعة: في حجة الوداع كما نقل عن الحافظ السخاوي


Artinya: “Nabi Muhammad SAW mencukur rambutnya pada empat momen ibadah: pertama saat Umrah Hudaibiyah, kedua saat Umrah Qadha’, ketiga di Ji’ranah, dan keempat pada Haji Wada’.” (Hasyiah Al-Bajuri, [Kairo, Darul Hadits, t.t.], Jilid I, hlm. 187).


2. Mencukur Rambut Bayi pada Hari Ketujuh Kelahirannya

Disunahkan untuk mencukur rambut bayi pada hari ketujuh setelah kelahiran. Rambut yang dicukur ditimbang, dan dianjurkan untuk menyedekahkan emas atau perak seberat rambut tersebut sebagai wujud syukur kepada Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:


عَنْ سَمُرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ، وَيُسَمَّى، وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ


Artinya, “Dari Samurah, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Seorang bayi tergadaikan dengan aqiqahnya; aqiqah disembelih pada hari ketujuh, diberi nama, dan rambutnya dicukur.” (HR. At-Tirmidzi).


Tujuan mencukur rambut bayi adalah untuk membersihkan kotoran yang mungkin melekat sejak di kandungan, sekaligus sebagai simbol kebersihan dan kesucian. Dalam Islam, kelahiran bayi bukan hanya peristiwa biologis, tetapi juga momen spiritual yang diiringi doa dan amalan agar bayi tumbuh dalam keberkahan. Dengan menjalankan tradisi ini, orang tua diharapkan dapat membimbing anak menjadi pribadi saleh dan bermanfaat bagi agama, keluarga, dan masyarakat.


3. Mencukur Rambut bagi Non-Muslim yang Baru Masuk Islam

Bagi seseorang yang baru memeluk Islam, disunahkan untuk mencukur rambut sebelum mandi wajib, yang juga merupakan amalan sunah saat masuk Islam. Jika orang tersebut belum pernah dalam keadaan junub sebelumnya, mencukur rambut dilakukan sebelum mandi. Namun, jika ia sudah pernah junub, maka mencukur rambut disunahkan setelah mandi wajib. (Hasyiah al-Bajuri, hal. 187)


Selanjutnya, mencukur rambut dapat dihukumi makruh bagi orang yang berniat berkurban hingga hewan kurbannya disembelih. Namun, hukum makruh ini masih menjadi perdebatan di kalangan ulama karena perbedaan penafsiran terhadap hadits berikut:


إذا دخل العشر من ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فلا يمس من شعره ولا بشره شيئا حتى يضحي


Artinya: “Apabila telah masuk sepuluh hari pertama Dzulhijjah dan seseorang di antara kalian hendak berkurban, janganlah menyentuh rambut dan kulitnya sedikit pun hingga selesai berkurban.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan lainnya).


Ulama terbagi menjadi dua pendapat dalam memahami hadits ini. Pertama, larangan mencukur rambut dan memotong kuku ditujukan kepada orang yang berkurban (al-mudhahhi). Larangan ini berlaku sejak awal sepuluh hari Dzulhijjah hingga selesai penyembelihan kurban. Kedua, larangan tersebut merujuk pada rambut dan kulit hewan kurban (al-mudhahha), bukan orang yang berkurban.


Jika mengikuti pendapat pertama, maka seseorang yang berniat berkurban dilarang mencukur rambut dan memotong kuku mulai dari tanggal satu Dzulhijjah hingga kurban selesai. Imam An-Nawawi dalam Majmu’ Syarah Muhadzdzab menjelaskan hikmah larangan ini:


قال أصحابنا الحكمة في النهي أن يبقى كامل الأجزاء ليعتق من النار وقيل للتشبيه بالمحرم


Artinya: “Ulama mazhab kami berpendapat, hikmah larangan ini agar seluruh anggota tubuh tetap utuh sehingga terbebas dari api neraka. Ada pula yang berpendapat karena keserupaan (tasyabbuh) dengan orang yang sedang ihram.” (Imam An-Nawawi, Majmu’ Syarah Muhadzdzab, [Kairo, Idaratuth Thaba’ah Al-Muniriyyah, 1347 H], Jilid VIII, hlm. 392).


Dengan demikian, larangan ini bertujuan menjaga keselamatan tubuh dari siksa neraka, sebab ibadah kurban dapat menjadi penebus dosa. Selain itu, ada pula pandangan bahwa larangan ini menyerupai keadaan orang yang sedang ihram, yang juga dilarang memotong rambut dan kuku.


Terakhir, mencukur rambut juga dihukumi mubah di luar kondisi yang telah disebutkan (sunah dan makruh). Misalnya, ketika rambut seseorang sudah terlalu panjang atau mengganggu, seperti karena kutu, sehingga mencukur rambut menjadi kebutuhan untuk menjaga kebersihan dan kenyamanan bagi diri sendiri maupun orang di sekitar.


Hukum mencukur rambut dalam Islam ditentukan oleh konteksnya, yaitu dapat bersifat sunah, makruh, atau mubah. Penjelasan di atas dapat menjadi pedoman untuk memilih waktu yang tepat dalam mencukur rambut, sehingga selain bernilai ibadah, amalan ini juga mencerminkan upaya menjaga kebersihan dan kerapian diri kita. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Muhammad Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman, Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.