Syariah

Kejahatan Anak di Bawah Umur dalam Hukum Positif dan Syariah

Senin, 16 September 2024 | 15:00 WIB

Kejahatan Anak di Bawah Umur dalam Hukum Positif dan Syariah

Ilustrasi borgol. Sumber: Canva/NU Online

Tidak sedikit ditemukan kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak usia dini, mulai dari pencurian, perampokan, pembegalan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan. Contohnya saja kasus dibunuhnya siswi SMP di Palembang pada Minggu 1 September 2024 oleh empat orang anak di bawah umur.

 

Tentunya, ini merupakan kenyataan yang sangat memilukan, di mana anak-anak yang seharusnya menjadi harapan bangsa dan calon pemimpin masa depan, justru terjerumus dalam tindakan yang melanggar norma dan hukum. Lebih tragis lagi, bukannya merasa bersalah atau takut akan konsekuensinya, mereka malah menunjukkan sikap bangga dan sombong atas tindakan keji yang mereka lakukan.


Pembunuhan, tanpa diragukan, merupakan salah satu kejahatan paling besar yang dikecam oleh seluruh umat manusia. Dalam perspektif agama, hal ini juga dipandang sebagai dosa yang sangat berat di hadapan Allah SWT.

 

Allah SWT dalam Surat Al-Maidah ayat 32 menyatakan bahwa membunuh satu jiwa tanpa alasan yang dibenarkan sama halnya dengan membunuh seluruh umat manusia. Ayat ini menggarisbawahi betapa seriusnya dosa pembunuhan, di mana nyawa manusia sangat dihargai dan dilindungi. Ayat tersebut yaitu:


مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا ۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَاد فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاٍۗ 


Artinya, “Oleh karena itu, Kami menetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa siapa yang membunuh seseorang bukan karena (orang yang dibunuh itu) telah membunuh orang lain atau karena telah berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia.” 


Imam Al-Qatadah menafsirkan bahwa dalam ayat tersebut, Allah SWT mengibaratkan membunuh satu jiwa tanpa alasan yang benar sebagai dosa yang setara dengan membunuh seluruh umat manusia. Hal ini menegaskan betapa seriusnya dosa pembunuhan.

 

Tafsiran ini memperlihatkan bahwa merenggut nyawa seseorang, kecuali dalam kasus yang diizinkan oleh hukum syariat, dianggap sebagai kejahatan besar yang tidak hanya merugikan korban, tetapi juga menciptakan ketidakadilan yang sangat luas.

 

Pembunuhan dalam pandangan ini bukanlah sekadar pelanggaran kecil, melainkan dosa besar yang berdampak luar biasa, baik di mata manusia maupun di hadapan Allah SWT. (Al-Bhagawi, Ma’alimut Tanzil fi Tafsiril Qur’an, [Beirut, Daru Ihyait Turats Al-Arabi: 1420 H], jilid II, halaman 42)


Oleh karena itu, setiap orang yang melakukan pembunuhan layak mendapatkan hukuman, tanpa memandang usia pelaku. Namun, jenis hukuman yang diberikan harus disesuaikan dengan kondisi pelaku, terutama jika pelakunya adalah anak di bawah umur.

 

Pertimbangan ini didasarkan pada perbedaan kemampuan fisik, mental, dan sosial antara anak-anak dan orang dewasa. Anak-anak belum sepenuhnya matang secara emosional dan psikologis, sehingga hukum yang berlaku harus memperhitungkan faktor-faktor tersebut agar hukuman yang diberikan tetap adil dan proporsional.

 

Anak sebagai pelaku pembunuhan dalam hukum positif

Pada umumnya, anak di bawah umur dalam hukum positif adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun dan belum menikah. Apabila anak di usia tersebut melakukan kejahatan pembunuhan maka hukumannya telah diatur dalam undang-undang nomor 3 tahun 1997 dan juga nomor 11 tahun 2012.

 

Sekiranya ada dua hukuman yang diberlakukan pada anak usia dini apabila ia terbukti membunuh. Pertama adalah hukuman pidana pokok, dan yang kedua ialah hukuman tambahan. Setiap dari dua hukuman ini memiliki rincian dan turunannya masing-masing.

 

1. Hukuman pidana pokok

Hukuman ini dikenakan pada anak, dan terdiri dari empat macam. Berikut uraiannya:

 

a) Pidana penjara

Pasal 26 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 menjelaskan aturan pidana penjara bagi anak di bawah umur. Pada ayat 1 dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan pada anak nakal paling lama setengah dari maximum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. 

 

Selanjutnya ayat 2 menyebutkan bahwa apabila anak nakal tersebut melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan paling lama 10 tahun penjara.

 

Tentunya ketentuan ini sangat mempertimbangkan perkembangan hidup anak yang seharusnya mendapat tempat tumbuh kembang yang baik. Penting untuk dicatat bahwa ketentuan yang termaktub di atas berlaku pada anak yang sudah berumur 12 tahun hingga 18 tahun.

 

Adapun anak yang belum mencapai usia 12 tahun maka ia hanya dikenakan sanksi tindakan seperti halnya tertuang dalam ayat 3 dan 4. Maksud dari tindakan di sini sebagaimana disebutkan dalam pasal 24 UU No 3 tahun 1997, adalah sebagai berikut: 

 
  • Mengembalikan anak kepada orang tua, wali, orang tua asuh.
  • Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
  • Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
 

b) Pidana Kurungan

Pada Undang-Undang yang sama pasal 27 diuraikan bahwasanya paling lama pidana kurungan yang dijatuhkan pada anak nakal adalah setengah dari maximum pidana kurungan bagi orang dewasa. Sedangkan kurungan untuk orang dewasa paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun.

 

c) Pidana Denda

Pidana denda bagi anak yang melakukan tindakan pembunuhan diatur dalam pasal 28 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997. Dijelaskan bahwa denda yang diberatkan pada anak usia dini adalah sebagai berikut:

 
  • Pidana denda yang dapat dijatuhkan pada anak nakal paling banyak setengah dari maximum ancaman pidana denda orang dewasa.
  • Apabila denda tersebut tidak dapat dipenuhi maka diganti dengan latihan kerja.
  • Wajib latihan kerja dilakukan paling lama 90 hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4 jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari.
 

d) Pidana dengan Syarat

Sanksi pidana ini dijelaskan pada pasal 71 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 yang bentuk hukumnya sebagai berikut:

  • Pembinaan di luar lembaga
  • Pelayanan masyarakat
  • Pengawasan. Pengawasan sendiri paling singkat tiga tahun dan paling lama dua tahun di bawah pengawasan penuntut umum dan dibimbing oleh pembimbing kemasyarakatan.


2. Hukuman Tambahan

Adapun hukuman tambahan maka ini mencakup pencabutan hak-hak tertentu dan perampasan barang-barang tertentu. Hal ini bisa dilihat dan dirujuk langsung dalam KUHP pasal 5 dan KUHP pasal 9. (Ricky Candra, Tindak Pidana Pembunuhan oleh Anak di bawah Umur, [Jakarta, Uin Syarif Hidayatullah: 2022 M], halaman 44-48)


Anak sebagai Pelaku Pembunuhan Perspektif Islam

Pada prinsipnya, pidana pembunuhan dalam Islam mewajibkan pelakunya untuk dikenai qishas jika ada motif kesengajaan, dan jika tidak ada unsur sengaja seperti pembunuhan bermotif kesalahan atau menyerupai sengaja (syibhul 'amdi) maka hanya diwajibkan membayar diyat, yaitu denda 100 ekor unta untuk dibayarkan pada keluarga korban.


Peraturan di atas berlaku bagi siapa saja, entah orang tua, orang dewasa dan anak kecil. Namun penerapan qishas bagi anak usia dini jika membunuh dengan sengaja bukanlah sesuatu yang dibenarkan karena syarat dan ketentuan qishas tidak terpenuhi. 


Dalam kitab-kitab fiqih semisal Al-fiqhul Islami wa Adillatuhu disebutkan bahwa salah satu syarat terwujudnya qishas ialah pelaku pembunuhan harus orang mukallaf, yakni sudah baligh dan berakal.

 

Sehingga anak usia dini yang belum baligh apabila terbukti melakukan pidana pembunuhan dengan sengaja maka tidak dikenai qishas. Tidak diberikan sanksi qishas tidak lain dikarenakan anak kecil belum mampu menanggung sanksi berat seperti itu. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Damaskus, Darul Fikr: t.t], jilid VII, halaman 5665)


Selain itu, dalam ajaran Islam, anak-anak belum dibebani dengan tanggung jawab hukum (taklif), karena mereka belum mampu membedakan dengan jelas maksud dan tujuan dari setiap tindakan yang mereka lakukan.

 

Dengan demikian, unsur kesengajaan dalam tindak kriminal yang dilakukan oleh anak-anak tidak dapat dinilai atau dipertimbangkan sebagai dasar hukuman yang sama dengan orang dewasa. Rasulullah SAW bersabda:


رفع القلم عن ثلاث: عن الصبي حتى يبلغ وعن النائم حت يستيقظ وعن المجنون حتى يفيق


Artinya, “Ketentuan hukum diangkat dari tiga golongan: dari anak kecil sampai ia baligh, dari orang tidur sampai ia bangun, dan dari orang gila sampai ia waras.”(HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)


Anak usia dini atau yang belum baligh sendiri dalam kajian fiqih sering diartikan dengan anak yang belum keluar sperma, atau belum menstruasi (haidh) khusus bagi wanita, atau belum mencapai umur 15 tahun menurut mazhab Syafi’i dan 18 tahun menurut mazhab Hanafi dan Maliki. (Komisi Waqaf Kuwait, Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Darus Salasil: 1427 H], jilid VII, halaman 7)


Kendati anak kecil belum bisa dikenai qishas, namun Islam mengajukan solusi dengan menjatuhkan sanksi yang proporsional pada si anak yang bertindak kriminal jika ia sudah mumayyiz (anak yang bisa membedakan baik dan buruk), agar dapat memberikan efek jerah bagi si anak dan juga menjaga lingkungan sosialnya tetap kondusif. Adapun anak yang belum mumayyiz maka tidak dihukumi apa-apa. Diterangkan dalam Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyah:


الأْوَّل: الصَّغِيرُ غَيْرُ الْمُمَيِّزِ وَهَذَا لاَ تُطَبَّقُ عَلَيْهِ عُقُوبَةٌ مِنَ الْعُقُوبَاتِ الْبَدَنِيَّةِ أَصْلاً؛ لاِنْعِدَامِ مَسْئُولِيَّتِهِ.
الثَّانِي: الصَّبِيُّ الْمُمَيِّزُ لاَ تُطَبَّقُ عَلَيْهِ الْحُدُودُ وَالْقِصَاصُ، وَلَكِنْ يُؤَدَّبُ عَلَى مَا ارْتَكَبَ بِمَا يَتَنَاسَبُ مَعَ صِغَرِ سِنِّهِ؛ بِالتَّوْبِيخِ وَالضَّرْبِ غَيْرِ الْمُتْلِفِ 


Artinya: “Pertama, anak kecil yang belum mencapai tamyiz (belum bisa membedakan antara baik dan buruk), tidak bisa dikenakan hukuman fisik apa pun (qishas), karena dia tidak memiliki tanggung jawab atas perbuatannya.

 

Kedua, anak yang sudah mencapai tamyiz, meskipun tidak dikenakan hukuman hudud atau qishas, tetap bisa diberikan sanksi yang sesuai dengan usianya, seperti teguran atau pukulan ringan yang tidak menyebabkan kerusakan.” (Komisi Waqaf Kuwait, Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyah, [Mesir, Matabi’ Daris Shafwah:1427 H], jilid XXVII, halaman 33)


Apabila seorang anak melakukan tindak pembunuhan yang tidak disengaja, maka keluarga anak tersebut diwajibkan membayar diyat, yaitu ganti rugi kepada keluarga korban berupa 100 ekor unta, sesuai dengan ketentuan syariat Islam.

 

Pembayaran diyat ini merupakan bentuk tanggung jawab keluarga, karena anak belum sepenuhnya bertanggung jawab secara pribadi atas tindakannya menurut hukum Islam. Hal ini sebagaimana tertulis dalam Al-Mausu’ah Al Kuwaitiyyah.


وكذا لو قتل إنسانا خطأ وجبت الدية في ماله


Artinya: “Demikian pula, jika seorang anak membunuh orang lain secara tidak sengaja, maka diyat (ganti rugi) wajib dibayarkan dari hartanya.” (Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyyah, jilid XXVII, halaman 33).


Pertanyaan yang muncul, mengapa anak kecil wajib membayar diyat tapi tidak dikenai qishas padahal keduanya merupakan hukuman dari perbuatan si anak. Para ulama menjawabnya dengan mengungkapkan perbedaan antara qishas dan diyat. Qishas termasuk hukum taklifi, sedangkan diyat merupakan hukum wadh’i. Al-khatib Asy-Syirbini menyebutkan:


فلا قصاص على صبي ومجنون لرفع القلم عنهما وتضمينهما متلفاتهما إنما هو من باب خطاب الوضع فتجب الدية في مالهما


Artinya, “Maka tidak ada qishas bagi anak kecil dan orang gila karena dosa mereka tidak tercatat, hanya saja mereka berdua wajib membayar diyat, sebab diyat merupakan khitab wadh’i, sehingga wajib membayar diyat dari harta mereka berdua.” (Al-Khatib Asy-Syirbini, Al-Iqna’ fil Halli Alfazi Abi Syuja’, [Beirut, Darul Fikr: t.t], jilid II, halaman 497)


Ringkasnya, hukum taklifi menyangkut pekerjaan setiap manusia yang mukallaf (balig dan berakal) meliputi wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram sehingga usia seseorang sangat dipertimbangkan di sini.

 

Berbeda dengan hukum wadh’i yang mencakup sebab, syarat dan pelarangan. Untuk terwujudnya tiga hal ini sama sekali tidak bergantung pada usia dan kematangan seseorang dalam berpikir.


Manakala orang gila merusak sesuatu maka ia tidak berdosa namun keluarga yang bersangkutan harus mengganti rugi kerusakan, sebagaimana anak kecil yang membunuh orang lain maka ia tak berdosa namun keluarganya harus mengganti rugi dengan membayar diyat karena pekerjaan mereka berdua merupakan sebab (hukum wadh'i) terjadinya kerusakan dan terbunuhnya seseorang.


Untuk penjelasan yang lebih lengkap terkait hukum taklifi (khithab taklifi) dan hukum wadh’i (khithab wadh’i) bisa ditelusuri di tulisan ini, "Inilah Jenis dan Pengertian Hukum Syariat."


Dari uraian sebelumnya, kita dapat menarik kesimpulan bahwa menghilangkan nyawa orang yang dilakukan anak di bawah umur selain keluarganya harus ganti rugi dengan membayar diyat, anak tersebut juga diberikan sanksi yang proporsional sesuai usianya jika sang anak telah mumayyiz (sekitar 7 tahun) dalam tinjauan hukum Islam, dan telah berumur 12 tahun menurut hukum positif.


Adapun jika belum mumayyiz maka anak tersebut belum bisa diberikan hukuman apa pun dalam Islam, atau belum mencapai usia 12 tahun maka diberikan sanksi tindakan yang memuat edukasi, pendidikan, perlindungan dan tindakan preventif menurut hukum positif. 


Sudah menjadi tanggung jawab kita sebagai orang tua dan masyarakat untuk memastikan bahwa anak-anak kita, yang merupakan generasi penerus bangsa, mendapatkan bimbingan yang tepat dan perlindungan dari berbagai ancaman, baik fisik maupun moral.

 

Penting bagi kita untuk membina intelektual, spiritual, dan emosional mereka sejak dini, sehingga mereka tumbuh dengan pemahaman yang kuat tentang nilai-nilai kebaikan, empati, dan tanggung jawab. 


Kegagalan dalam memberikan arahan yang benar bisa berdampak fatal, baik bagi perkembangan pribadi anak maupun bagi lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, pengawasan, kasih sayang, serta pendidikan moral yang kokoh harus menjadi prioritas, agar anak-anak tidak tergelincir dalam tindakan kriminal atau mencelakakan orang lain. Wallahu 'Alam

 

Ustadz Muhamad Sunandar, Alumni Universitas Al-Ahgaff