Syariah

Hukuman Mati Bagi Pelaku Pembunuhan

Sel, 14 Februari 2023 | 16:15 WIB

Hukuman Mati Bagi Pelaku Pembunuhan

Hukuman mati. (Ilustrasi: freepik/NU Online)

Akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan banyak kasus pembunuhan yang dilaporkan di media masa. Ada banyak motif pembunuhan yang melatarbelakangi terjadinya kasus pembunuhan mulai dari perselingkuhan, kesenjangan ekonomi hingga kecemburuan sosial. Dalam agama Islam terdapat peraturan mengenai hukuman bagi pelaku pembunuhan yang disebut dengan hukum qishash.

Hukum qishash ini adalah hukuman pembalasan yang serupa dengan perbuatan kriminal meliputi merusak anggota tubuh hingga pembunuhan. Pada praktiknya, seorang pembunuh dapat dikenai hukuman mati sebagai balasan atas pembunuhan yang telah ia lakukan. Begitu juga, seorang yang merusak anggota tubuh orang lain dapat dihukum dengan balasan setimpal sebagai hukuman atas perbuatannya.


Syarat dari didirikannya hukuman qishash adalah


1. Pembunuh telah berusia baligh dan berakal sehat. Maka tidak ada kewajiban qishash bagi pelaku yang masih anak kecil maupun orang gila. Menurut pendapat yang masyhur dalam mazhab Syafi’i, seorang yang sengaja mabuk kemudian membunuh orang lain dapat dikenai hukum qishash karena ada unsur kesengajaan mabuk-mabukan. 


Sedangkan orang yang tidak sengaja mabuk kemudian membunuh orang lain, maka tidak dapat dikenai hukuman qishah karena tidak ada kesengajaan mabuk-mabukan tetapi wajib membayar diyat karena termasuk membunuh tanpa sengaja (Qulyubi Ahmad Salamah, Hasyiyata Qalyubi wa Umairah [Beirut: Darul Fikr, 2003] juz IV, halaman 106).


2. Pembunuh bukan termasuk ayah, ibu, kakek, nenek atau leluhur kandung dari pembunuh. Maka tidak ada kewajiban qishash seandainya seorang ayah membunuh anaknya atau seorang kakek membunuh cucunya dan sejenisnya. Akan tetapi, seorang anak dapat dihukum qishash karena membunuh bapak atau kakeknya.


Hal ini dikuatkan dengan hadits


عن سرقة بن مالك قال حضرت رسول الله يقيد الأب من ابنه ولا يقيد الإبن من أبيه

.
Artinya, “Diceritakan dari Suraqah bin Malik ra, beliau mengatakan, ‘Aku hadir (ketika) Rasulullah menetapkan hukuman qishash dari pembunuhan seorang bapak dari (oleh) anaknya, dan Rasulullah tidak menetapkan hukuman qishash dari pembunuhan seorang anak dari (oleh) bapaknya,’” (HR Turmudzi).


3. Korban pembunuhan adalah orang yang dilindungi jiwanya dalam Islam. Hal ini meliputi orang muslim dan orang nonmuslim yang berakad hidup damai dengan umat Islam. Maka, pembunuhan seorang nonmuslim terhadap nonmuslim lainnya seperti di Indonesia dapat dikenai hukuman qishash karena nonmuslim di Indonesia berakad hidup damai bersama umat Islam. (Dr. Musthofa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam asy-Syafi’i [Damaskus: Darul Qalam, 1992] juz VIII, halaman 37).

Pembunuhan terhadap nonmuslim yang berakad hidup damai adalah perbuatan terlarang sebagaimana dalam hadits


قال رسول الله من قتل نفسا معاهدا لم يرح رائحة الجنة وإن ريحها يوجد من مسيرة أربعين عاما


Artinya, “Rasulullah bersabda ‘Barang siapa yang membunuh seseorang yang berakad damai, maka ia tidak akan mencium bau wangi surga, padahal bau wangi surga tercium dari jarak 40 tahun perjalanan’,” (HR Bukhari).


4. Kesetaraan, menurut mazhab Syafi’I pelaku pembunuhan yang dikenai hukum qishash harus setara dengan korbannya dalam segi keimanan dan status kemerdekaannya. Misal contoh, seorang muslim membunuh orang muslim, seorang nonmuslim membunuh nonmuslim, seorang yang merdeka membunuh seorang merdeka dan sejenisnya.


Seandainya tidak setara, maka tidak boleh dikenai hukuman qishash misalnya seorang muslim membunuh nonmuslim, seorang yang merdeka membunuh seorang budak dan sejenisnya. Ulama mazhab Syafi’I mengambil dalil dari hadits Rasulullah


قال رسول الله المسلمون تتكافأ دماؤهم ولا يقتل مؤمنا بكافر


Artinya, Rasulullah bersabda “Orang-orang islam setara darah mereka, dan tidak dikenai hukuman mati (qishash) seorang beriman yang membunuh orang kafir”.(HR.Ahmad)


Sedangkan menurut mazhab imam Abu Hanifah, tidak ada syarat kesetaraan antara pembunuh dan korbannya dalam segi keimanan dan status kemerdekaannya. Mazhab imam Abu Hanifah hanya mensyaratkan kesetaraan sebagai sesama manusia sebagai alasan dijatuhkan hukum qishash pada pelaku pembunuhan.


Hal ini karena mazhab Imam Abu Hanifah memahami mutlaknya perintah al-Qur’an:


كتب عليكم القصاص في القتلى


Artinya, “Diwajibkan kepada kalian semua hukum qishash dalam perkara pembunuhan,” (Qs.Al-Baqarah ayat 178).


Mazhab imam Abu Hanifah juga mengambil dalil dari sikap Rasulullah yang menghukum qishash seorang muslim karena membunuh kafir dzimmi (nonmuslim yang berakad damai dalam konteks negara Islam). Hal ini dikuatkan dengan hadits


عن عبد الرحمن ابن البيلماني أن النبي أقاد مسلما قتل يهوديا وقال أنا أحق من وفى بذمته


Artinya, “Diceritakan dari Abdurrahman bin al-Bailamani bahwa Rasulullah menghukum qishash seorang muslim yang telah membunuh seorang Yahudi. Dan Rasulullah bersabda ‘Aku adalah orang yang paling berhak memenuhi janji dengan tanggungannya,” (HR Daruquthni).


Sedangkan dalam memahami hadits “tidak dikenai hukuman mati (qishash) seorang beriman yang membunuh orang kafir” mazhab imam Abu Hanifah mengarahkan kepada tidak adanya hukum qishash bagi seorang muslim yang membunuh orang kafir harbi (orang kafir yang memerangi Islam). (Dr. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu [Damaskus: Darul Fikr, 2003] juz VII, halaman 5669).


Hukuman qishash hanya boleh dilakukan oleh pihak yang berwajib dari pemerintahan baik dari presiden maupun yang mewakilinya. Tidak boleh bagi masyarakat awam untuk menjalankan hukum qishash kepada pelaku pembunuhan tanpa izin dari pihak berwajib. Dan pihak berwajib boleh menghukum pihak atau masyarakat yang membunuh pelaku pembunuhan yang beralasan mendirikan hukum qishash kepada pelaku pembunuhan. (Asy-Syairazi Abu Ishaq, al-Muhadzab [Kairo: Darul Hadits, 2003] juz III, halaman 191).


Simpulan di sini adalah dalam kasus pembunuhan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini baik seorang muslim yang membunuh nonmuslim maupun sebaliknya adalah kewenangan bagi pihak berwajib dari pemerintahan. Kita harus memasrahkan kepada hukum yang berlaku karena hukuman mati dalam islam berlandaskan kepada ijtihad pihak yang berwajib.


Dalam hukum islam, hukuman qishash dapat digugurkan ketika pembunuh mendapatkan ampunan dari keluarga korban pembunuhan, berakad damai dengan membayar diyat, ataupun matinya pelaku pembunuhan sebelum dihukum.


Ustadz Muhammad Tholchah al-Fayyadl, Mahasiswa Universitas al-Azhar Kairo