Syariah

Pandangan Islam soal Testimoni Bombastis tapi Produk Biasa Saja, Bahkan Tidak Sesuai

Selasa, 15 Juli 2025 | 10:00 WIB

Pandangan Islam soal Testimoni Bombastis tapi Produk Biasa Saja, Bahkan Tidak Sesuai

Ilustrasi review produk. Sumber: Canva/NU Online.

Media sosial telah merevolusi banyak aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pemasaran. Salah satu metode promosi yang kian populer saat ini adalah video testimoni, baik dari konsumen biasa maupun tokoh publik yang memiliki pengaruh. Konten semacam ini kerap dianggap ampuh membangun kepercayaan calon pembeli. Namun, pertanyaannya, bagaimana Islam memandang praktik ini, terutama bila testimoni tidak sesuai dengan kenyataan?


Dalam ajaran Islam, setiap transaksi ekonomi harus dibangun di atas fondasi kejujuran dan integritas. Baik penjual maupun pembeli dituntut untuk bersikap transparan, tanpa rekayasa informasi yang menyesatkan. Dalam konteks ini, testimoni produk menjadi wilayah yang perlu dicermati dengan hati-hati, karena berpotensi mengandung unsur penipuan, baik secara langsung maupun terselubung.


Rasulullah SAW dengan tegas memperingatkan bahaya menipu dalam jual beli. Beliau bersabda:


لَيْسَ مِنَّا مَنْ غَشَّنَا


Artinya, "Bukan bagian dari umatku orang yang menipu kami." (HR. Ahmad)


Hadits ini menunjukkan bahwa penipuan dalam bentuk apa pun, termasuk melalui testimoni yang tidak jujur, merupakan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai fiqih muamalah dalam Islam. Dari sudut pandang fiqih, para ulama mengidentifikasi dua bentuk testimoni yang tercela:


1. Testimoni Jujur tetapi Berlebihan

Dalam konteks perdagangan, Islam memberikan panduan yang jelas tentang etika bertransaksi, termasuk cara memuji barang dagangan. Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar al-Asqalani mengutip pandangan Imam al-Muhlib, yang berpendapat bahwa memuji barang dagangan secara berlebihan tidak termasuk dalam kategori penipuan yang haram, meskipun tindakan tersebut tidak dianjurkan:


قَالَ الْمُهْلِبُ: وَلَا يَدْخُلُ فِي الْخِدَاعِ الْمُحَرَّمِ الثَّنَاءُ عَلَى السِّلْعَةِ وَالْإِطْنَابُ فِي مَدْحِهَا، فَإِنَّهُ مُتَجَاوَزٌ عَنْهُ وَلَا يَنْتَقِضُ بِهِ الْبَيْعُ


Artinya: "Imam al-Muhlib berkata: Memuji barang dagangan atau memberikan pujian berlebihan atasnya tidak termasuk dalam penipuan yang haram, karena hal tersebut dapat ditoleransi dan tidak membatalkan akad jual beli." (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, [Beirut: Dar al-Maʿrifah, 1379 H], Jilid XII, hlm. 336)


Pandangan ini menunjukkan adanya kelonggaran dalam praktik perdagangan, di mana pujian berlebihan dianggap sebagai bagian dari strategi pemasaran yang umum, selama tidak mengandung kebohongan yang menyesatkan pembeli. Dengan demikian, akad jual beli tetap sah, dan pelaku tidak dianggap melanggar hukum syariat secara langsung.


Namun, pandangan yang lebih kritis dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya‘ ‘Ulumuddin. Beliau mengecam pujian berlebihan sebagai tindakan yang tidak bermakna dan berpotensi menjerumuskan pelaku ke dalam pertanggungjawaban moral:


وَإِنْ أَثْنَى عَلَى السِّلْعَةِ بِمَا فِيهَا فَهُوَ هَذَيَانٌ، وَتَكَلَّمَ بِكَلَامٍ لَا يَعْنِيهِ، وَهُوَ مُحَاسَبٌ عَلَى كُلِّ كَلِمَةٍ تَصْدُرُ مِنْهُ


Artinya: "Jika seseorang memuji barang dagangan dengan sesuatu yang memang ada padanya, maka itu hanyalah omong kosong dan pembicaraan yang tidak berarti. Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap kata yang diucapkannya," (Al-Ghazali, Ihya‘ ‘Ulumuddin, [Beirut: Dar al-Maʿrifah, t.t.], Jilid II, hlm. 75)


Imam al-Ghazali menekankan bahwa meskipun pujian tersebut tidak sepenuhnya bohong, tindakan tersebut tetap tidak etis karena dapat menyesatkan pembeli secara emosional atau memengaruhi keputusan mereka secara tidak proporsional. Lebih jauh, beliau mengingatkan bahwa setiap ucapan dalam Islam memiliki konsekuensi moral, sehingga pedagang harus menjaga kejujuran dan integritas dalam setiap kata yang diucapkan.


Perbedaan pandangan antara Imam al-Muhlib dan Imam al-Ghazali mencerminkan dua aspek penting dalam etika perdagangan Islam: toleransi terhadap praktik umum dan penekanan pada akuntabilitas moral. Pandangan Imam al-Muhlib lebih berfokus pada aspek teknis hukum fiqih, di mana pujian berlebihan tidak membatalkan akad jual beli selama tidak mengandung kebohongan terhadap kualitas produk. 


Pendekatan ini relevan dalam persaingan antar-penjual, di mana testimoni berlaku sebagai senjata penglaris produk. Sebaliknya, Imam al-Ghazali mengambil perspektif yang lebih luas dengan menekankan dimensi akhlak. Beliau mengingatkan bahwa pujian berlebihan, dalam hal ini testimoni berlebih, dapat dianggap sebagai bentuk manipulasi emosional yang bertentangan dengan prinsip kejujuran (sidq) dalam aktivitas muamalah.


2. Testimoni yang Tidak Jujur

Dalam Islam, kejujuran merupakan pilar utama dalam muamalah, termasuk dalam pemasaran produk. Testimoni yang tidak sesuai fakta, seperti mengklaim keunggulan yang tidak dimiliki suatu produk, jelas merupakan kebohongan. Tindakan ini bukan hanya melanggar etika, tetapi juga dikecam keras dalam syariat sebagai bentuk penipuan yang merugikan.


Imam asy-Syafi’i dengan tegas menyatakan bahwa kebohongan dalam deskripsi produk adalah dosa jika dilakukan secara sengaja:


وَالْبَائِعُ أَثِمَ فِي التَّدْلِيسِ إِنْ كَانَ عَالِمًا


Artinya: "Penjual berdosa dalam melakukan penipuan jika ia mengetahui kebohongannya," (Al-Umm, [Beirut: Dar al-Fikr, cet. II, 1403 H/1983 M], Jilid VII, hlm. 103).


Pandangan ini menegaskan bahwa kesengajaan dalam menyampaikan informasi palsu menjadikan pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya. Kebohongan semacam ini tidak hanya merusak kepercayaan dalam transaksi, tetapi juga melanggar etika kejujuran (sidq) yang menjadi prinsip jual beli. 


Imam al-Ghazali memberikan pandangan yang lebih luas dengan menyebutkan bahwa testimoni palsu merupakan bentuk kezaliman:


فَإِنْ وَصَفَهُ لِلسِّلْعَةِ إِنْ كَانَ بِمَا لَيْسَ فِيهَا فَهُوَ كَذِبٌ، فَإِنْ قَبِلَ الْمُشْتَرِي ذَلِكَ فَهُوَ تَلْبِيسٌ وَظُلْمٌ مَعَ كَوْنِهِ كَذِبًا، وَإِنْ لَمْ يَقْبَلْ فَهُوَ كَذِبٌ وَإِسْقَاطُ مُرُوءَةٍ، إِذِ الْكَذِبُ الَّذِي لَا يُرَوِّجُ قَدْ لَا يَقْدَحُ فِي ظَاهِرِ الْمُرُوءَةِ


Artinya: "Jika seseorang mendeskripsikan barang dagangan dengan sifat yang tidak dimilikinya, maka itu adalah kebohongan. Jika pembeli menerima deskripsi tersebut, itu merupakan penipuan dan kezaliman, di samping kebohongan itu sendiri. Jika pembeli tidak menerimanya, itu tetap kebohongan yang merendahkan martabat pelaku. Kebohongan yang tidak memengaruhi pembeli mungkin tidak merusak kehormatan secara lahiriah," (Ihya‘ ‘Ulumuddin, [Beirut: Dar al-Maʿrifah, t.t.], Jilid II, hlm. 75)


Imam al-Ghazali menyoroti bahwa testimoni palsu tidak hanya melanggar hukum syariat, tetapi juga mencerminkan kezaliman (zhulm) yang berdampak pada hubungan sosial dan keadilan dalam muamalah. Bahkan jika pembeli tidak tertipu, tindakan tersebut tetap merendahkan integritas pedagang.


Untuk menegakkan prinsip keadilan dalam perdagangan, pemerintah dan otoritas terkait perlu memainkan peran aktif dalam mengawasi testimoni dan iklan produk, terutama di platform media sosial. Pengawasan ini mencakup verifikasi kebenaran klaim dalam testimoni, baik yang berasal dari konsumen biasa maupun tokoh publik, serta memastikan kualitas produk sesuai dengan informasi yang disampaikan. Langkah ini penting untuk melindungi hak konsumen dan mencegah penyebaran informasi yang menyesatkan.


Selain itu, pengawasan terhadap kualitas produk harus diperketat untuk memastikan bahwa konsumen mendapatkan barang yang sesuai dengan deskripsi dan ekspektasi. Dengan demikian, keadilan dalam muamalah dapat terwujud, dan kepercayaan masyarakat terhadap pasar dapat terjaga. Wallahu a'lam.


Ustadz Ahmad Maimun Nafis, Pengajar di Pondok Pesantren Darul Istiqamah, Batuan, Sumenep.