Siti Amiratul Adibah
Kolomnis
Salah satu metode transaksi jual beli yang marak digunakan saat ini adalah membeli dengan sistem pesanan (Pre Order). Saat membuat pesanan, barang yang akan dibeli belum ada ketika transaksi. Dengan kata lain, barang yang akan dibeli akan dibuat ketika ada yang memesan barang tersebut. Sehingga yang ditunjukkan kepada pembeli saat melakukan transaksi adalah contoh barangnya saja.
Di dalam fiqih muamalah, transaksi seperti ini identik dengan jual beli salam. Jual beli dengan cara ini pada umumnya memang diperbolehkan. Akan tetapi, karena dikhawatirkan mengandung gharar (penipuan) seperti barang yang dipesan tidak sesuai dengan contoh atau lainnya yang mengakibatkan salah satu pihak tidak rela, mengakibatkan ulama berbeda pendapat tentang ketentuan jual beli salam.
Definisi Jual Beli Salam
Menurut Ibnu Qasim, jual beli salam merupakan salah satu metode jual beli dengan cara membeli suatu barang yang disebutkan kriterianya secara spesifik, namun barang yang akan dibeli masih berada di dalam tanggungan penjual (belum ada saat transaksi) dengan harga yang diberikan secara kontan ketika transaksi. (Fathul Qarib, [Lebanon, Dar Ibn Hazm: 2005], 168).
Definisi ini yang mengantarkan jual beli salam dikenal sebagai jual beli dengan cara pesanan. Karena pada saat transaksi, pembeli hanya menyebutkan kriteria yang akan dibeli secara spesifik. Sedangkan barang yang akan dibeli belum ada pada saat transaksi.
Dasar Hukum Jual Beli Salam
Menurut Syekh Wahbah Al-Zuhaili, terdapat tiga dasar dari keabsahanan jual beli salam. Yakni dasar yang bersumber dari Al-Qur'an, sunnah dan ijma’.
Pertama, Al-Qur'an:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berhutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya.” (QS Al-Baqarah: 282).
Dikisahkan, Ibnu Abbas berkata, “Aku bersaksi bahwa sesungguhnya salaf yang menjadi tanggungan (jual beli salam) sampai waktu yang ditentukan adalah diperbolehkan dan diizinkan oleh Allah.” Kemudian Ibnu Abbas membacakan ayat ini sebagai dalil dari keabsahan jual beli salam tersebut.
Kedua, sunnah. Ibnu Abbas meriwayatkan, Rasulullah pernah memasuki kota Madinah. Saat itu, para penduduknya melakukan akad salaf (jual beli salam) terhadap buah-buahan selama satu tahun, dua tahun, dan tiga tahun. Kemudian Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang mengerjakan akad salaf (jual beli salam) terhadap sesuatu, hendaklah ia melakukannya pada takaran yang diketahui, timbangan yang diketahui dan waktu yang sudah diketahui.”
Ketiga, ijma’. Ibnu Mundzir berkata:
“Para ulama yang kamu ketahui sudah melakukan konsensus bahwa akad salam hukumnya adalah boleh. Karena kebutuhan masyarakat terhadap transaksi tersebut. Para pemilik tanaman, buah-buahan dan barang dagangan membutuhkan nafkah untuk keperluan mereka atau tanaman dan seumpamanya hingga tanaman tersebut matang. Sehingga akad salam ini diperbolehkan guna untuk memenuhi kebutuhan tersebut.” (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Damaskus, Darul Fikr: 2011], jilid V, halaman 3602-3603).
Perbedaan Pendapat Ulama 4 Mazhab tentang Keabsahan Jual Beli Salam
Sebagaimana yang disinggung sebelumnya, bahwa ulama sudah membuat konsensus bahwa hukum dari jual beli salam adalah boleh. Pendapat ini juga menjadi pendapat dari ulama empat mazhab dari kalangan Maliki, Hanafi, Syafi’i, ataupun Hanbali.
Akan tetapi keempat mazhab tidak sepenuhnya sependapat tentang hal-hal yang ada di dalam akad salam. Sehingga dalam ketentuan jual beli salam, terdapat beberapa ketentuan yang disepakati, dan ada pula ketentuan yang masih diperselisihkan.
Ketentuan Akad Salam yang Disepakati
Ulama dari kalangan Maliki, Hanafi, Syafi’i maupun Hanbali sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan ketika sudah memenuhi 6 syarat. Yaitu jenis barang diketahui, kriteria barang diketahui, ukuran atau takaran barang diketahui, jangka waktu tempo diketahui, mengetahui harga barang ketika transaksi, dan menyebutkan tempat penyerahan barang jika untuk membawa barang tersebut ke lokasi penyerahan memerlukan biaya.
Keempat mazhab juga sepakat tentang barang yang bisa diberlakukan jual beli salam. Yaitu meliputi barang yang bisa ditakar, barang yang bisa ditimbang, tumbuh-tumbuhan, dan barang yang bisa dihitung.
Ketentuan yang Diperselisihkan
Setidaknya ada dua ketentuan yang masih menjadi perdebatan para ulama mazhab dalam transaksi jual beli salam. Yaitu tentang syarat yang berkaitan dengan harga barang dan syarat yang berkaitan dengan barang yang diperjualbelikan dengan cara jual beli salam. (Az-Zuhaili, V/3604-3620).
Secara lebih detail, berikut perbedaan pendapat ulama empat mazhab tentang jual beli salam.
Mazhab Maliki
Menurut mazhab Maliki, harga/nilai yang bisa dijadikan sebagai alat transaksi di dalam jual beli salam harus memenuhi beberapa kriteria. Meliputi, harga tersebut sah untuk dimiliki dan menjadi alat transaksi jual beli, jenis harga berbeda dengan barang pesanan, jenis, kualitas dan kadarnya diketahui, harga tersebut harus berupa mata uang, dan boleh membayar harga barang dalam kurun waktu 3 hari atau kurang.
Sedangkan ketentuan barang yang boleh diperjualbelikan menggunakan jual beli salam meliputi, barang tersebut sah dimiliki dan layak diperjualbelikan, jenis barang berbeda dengan harga agar tidak terjadi riba, jenis, kualitas dan kadar barang diketahui, barang belum ada hingga waktu jatuh tempo atau sebelumnya, barang masih berada di dalam tanggungan, dan ditemukan barang yang sejenis dengan barang pesanan ketika jatuh tempo. (Abu Qasim, Al-Qawaninul Fiqhiyah, [2009], halaman 177-178).
Mazhab Hanafi
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa harga (tsaman) yang menjadi nilai dalam jual beli salam harus memenuhi eman kriteria. Yaitu, menjelaskan jenis (seperti menggunakan dinar atau dirham), menjelaskan macam (seperti dinar Naisabur atau dinar Kuwait), menjelaskan sifat (seperti kualitasnya bagus atau biasa), memberitahukan kadar harga, tsaman adalah dinar dan dirham yang berbentuk mata uang, dan mendahulukan/mempercepat pembayaran barang di tempat transaksi.
Sedangkan untuk barang yang boleh ditransaksikan dengan jual beli salam harus memenuhi 11 kriteria. Yaitu, jenis barang diketahui, macam barang diketahui, kualitas barang diketahui, takaran barang diketahui, tidak mengandung riba, barang tertentu, barang harus bertempo (tidak boleh ada ketika akad), jenis barang ada di pasar, akad terhadap barang bersifat final (tidak ada khiyar), menjelaskan tempat penyerahan barang, dan barang termasuk sesuatu yang bisa distandarisasi dengan karaktaristik tertentu pada barang yang harganya bervariasi. (Az-Zuhaili, V/3604-3618).
Mazhab Syafi’i
Menurut mazhab Syafi’i, terdapat beberapa hal yang menjadi syarat keabsahan jual beli salam. Di antaranya, praktik salam harus memenuhi syarat-syarat keabsahan jual beli (seperti barang yang diperjualbelikan bukan barang yang dilarang syariat, orang yang bertransaksi sudah baligh dan berakal, barang tersebut mampu dan layak untuk dipindah kepemilikan), harga yang harus dibayarkan untuk barang pesanan harus diserahkan di majlis akad (tempat transaksi), barang pesanan harus berada dalam tanggungan (boleh barang tersebut belum ada ataupun sudah ada ketika akad), menyebutkan tempat penyerahan barang ketika untuk membawa barang tersebut memerlukan biaya, barang pesanan mampu untuk diserahkan, kadar barang diketahui dan barang pesanan bisa terstandarisasi. (Al-Khatib As-Syirbini, Mughnil Muhtaj, [Darul Kutub Ilmiah: 1994], jilid III, halalaman 10-25).
Mazhab Hanbali
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa ada tujuh syarat yang harus dipenuhi dalam keabsahan jual beli salam. Yaitu, kualitas dan karakteristik barang terstandarisasi, menyebutkan macam dan kadar barang jika biasanya barang tersebut memiliki harga bervariasi, menyebutkan kadar takaran, timbangan dan hitungan, menyebutkan waktu jatuh tempo, barang ada ketika waktu serah terima, menerima harga barang sebelum berpisah dari transaksi, dan barang pesanan masih berada dalam tanggungan. (Yusuf Al-Karmi, [Kuwait, Muassisah Gharras: 2007], jilid I, halaman 578-585).
Lima Hal yang Diperselisihkan
Melihat keterangan di atas dapat dipahami bahwa keempat mazhab berbeda pendapat mengenai syarat harga pembayaran dan barang dalam jual beli salam di dalam lima hal.
- Penyebutan kadar harga ketika akad. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah tidak perlu menyebutkan kadar harga yang akan dibayar. Karena dengan melihat harta yang menjadi bayaran, sudah cukup untuk mengetahui kadarnya. Imam Malik juga berpendapat bahwa tidak ada nash yang menyatakan bahwa tsaman dalam jual beli salam harus disebutkan. Hanya saja hal tersebut diperbolehkan untuk meminimalisir penipuan. Sedangkan ulama Hanafiyah mensyaratkan adanya penyebutan kadar harga.
- Pembayaran harga barang di majelis akad. Menurut mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali, harga harus dibayar ketika transaksi berlangsung di majelis akad. Sedangkan menurut Imam Malik, pembayaran dalam jual beli salam bisa dilakukan dalam jangka waktu tiga hari atau kurang setelah pemesanan.
- Barang harus bertempo (belum ada ketika akad). Menurut ulama mazhab Maliki, Hanafi, dan Hanbali, jual beli salam hanya berlaku untuk barang yang bertempo atau belum ada ketika akad. Sedangkan kalangan mazhab Syafi’i, memperbolehkan jual beli salam secara bertempo ataupun kontan (barang sudah ada ketika transaksi).
- Penyebutan tempat penyerahan barang. Menurut ulama mazhab Maliki, lebih baik mensyaratkan tempat penyerahan barang. Sedangkan mazhab Hanafi mensyaratkan penyebutan tempat penyerahan barang dalam keabsahan jual beli salam. Mazhab Syafi’i berpendapat penyebutan tempat penyerahan barang menjadi syarat ketika untuk membawa barang pesanan memerlukan biaya. Sedangkan menurut ulama Hanbali, tidak disyaratkan untuk menyebutkan tempat penyerahan barang jika tidak melakukan akad terhadap barang semisal kapal atau transportasi darat.
- Brang pesanan harus bisa distandarisasi. Menurut mazhab Maliki, barang yang boleh menggunakan jual beli salam bisa berlaku untuk barang yang bisa distandarisasi ataupun tidak. Sedangkan mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali hanya memperbolehkan salam terhadap barang yang bisa distandarisasi.
Akad salam diperbolehkan selama dalam akad tersebut tidak mengandung unsur penipuan yang dapat merugikan salah satu pihak. Karena dalam jual beli, konsep utamanya adalan ‘an taradhin (saling rela). Sehingga sudah seharusnya di dalam jual beli dengan metode apapun tidak mengandung unsur yang merugikan ataupun larangan syariat laainnya agar antara penjual dan pembeli saling memberikan kerelaan terhadap barang yang diperjualbelikan. Wallah a'lam.
Ustadzah Siti Amiratul Adibah, Mahasiswa Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Alumnus Pondok Pesantren As'ad Jambi dan Ma'had Aly Situbondo.
Terpopuler
1
Temui Menkum, KH Ali Masykur Musa Umumkan Keabsahan JATMAN 2024-2029
2
Baca Doa Ini untuk Lepas dari Jerat Galau dan Utang
3
Cara KH Hamid Dimyathi Tremas Dorong Santri Aktif Berbahasa Arab
4
Jadwal Lengkap Perjalanan Haji 2025, Jamaah Mulai Berangkat 2 Mei
5
Apel Akbar 1000 Kader Fatayat NU DI Yogyakarta Perkuat Inklusivitas
6
Pengurus Ranting NU, Ujung Tombak Gerakan Nahdlatul Ulama
Terkini
Lihat Semua