Syariah

Hukum Garansi Jual Beli dalam Kajian Fiqih Muamalah

NU Online  ·  Senin, 4 November 2024 | 16:30 WIB

Hukum Garansi Jual Beli dalam Kajian Fiqih Muamalah

Hukum Garansi jual beli dalam fiqih (via bpn.ge).

Aktivitas jual beli adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia secara umum, terutama dalam memenuhi kebutuhan hidup atau bahkan sekadar mengikuti tren gaya hidup yang memerlukan kepemilikan barang tertentu.
 

Ketika seseorang membeli barang yang diperlukan, harapan utamanya tentu adalah kepuasan terhadap produk tersebut, khususnya dari segi kualitas. Untuk mewujudkan dan menjamin kepuasan konsumen, pelaku usaha yang memproduksi barang atau penjual biasanya memberikan garansi terhadap produk mereka.
 

Dengan jaminan garansi ini menjadikan konsumen memungkinkan untuk meminta perbaikan atau penggantian produk jika terdapat cacat atau kerusakan yang bukan disebabkan oleh kesalahan penggunaan.
 

Garansi biasanya berlaku dalam periode tertentu dan menjadi bentuk tanggung jawab produsen atau penjual untuk memastikan bahwa produk yang dijual sesuai dengan standar kualitas yang dijanjikan.
 

Lalu apakah garansi sama hukumnya dengan khiyar
 

Sebelumnya perlu diketahui bahwa garansi telah diatur dalam Pasal 7 huruf e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen:
 

"e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan."

 

Undang-undang di atas secara tegas menyatakan bahwa salah satu dari kewajiban pelaku usaha adalah memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan atau mencoba barang dan atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan atau yang diperdagangkan.

Kemudian pada Pasal 19 ditetapkan, pihak pembeli (konsumen) dapat menuntut ganti rugi (garansi) atas barang yang memiliki cacat atau kerusakan. Tuntutan ini kemudian harus dipenuhi oleh penjual, apakah berbentuk pengembalian uang, penggantian barang yang nilai jualnya setara dengan barang yang rusak, atau berbentuk perawatan dengan cara memperbaiki kerusakan yang ada.
 

Dalam ketentuan fiqih muamalah dikenal istilah khiyar. Khiyar adalah hak opsional kedua belah pihak penjual dan pembeli antara melangsungkan atau membatalkan jual beli.
 

Sebenarnya, hukum asal jual beli adalah luzum (tetapnya akad), karena tujuannya adalah memindahkan kepemilikan, dan konsekuensinya adalah hak untuk mengelolanya. Namun, syariat memberikan hak khiyar sebagai bentuk kemurahan bagi kedua belah pihak yang bertransaksi. (Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha Ad-Dimyati, I'anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr], juz III, halaman 33).
 

Syariat Islam memberikan hak opsional berupa khiyar sebagai bentuk kemurahan atau toleransi kepada kedua pihak yang melakukan transaksi jual beli. Sebab bisa jadi setelah berlangsung transaksi konsumen menemukan sebuah cacat yang membuat ia kecewa dan tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Pada kondisi ini konsumen diperbolehkan komplain atau bahkan membatalkannya, istilah fiqih menyebutnya dengan 'khiyar aib'.
 

Kriteria cacat yang dimaksud adalah sesuatu yang mengurangi kondisi fisik atau nilai sehingga tujuan pembelian yang semestinya menjadi tidak tercapai dan tidak dapat dimaklumi.
 

Fiqih menetapkan empat syarat yang harus terpenuhi untuk mengembalikan barang yang sudah dibeli sebab ditemukan adanya cacat:

  1. Cacat harus sudah ada sejak awal. Yakni cacat harus sudah ada pada barang sebelum pembeli menerima barang, karena barang tersebut sebelum diterima masih menjadi tanggungan penjual.
  2. Tidak menggunakan barang. Setelah mengetahui adanya cacat, pembeli tidak boleh menggunakan barang tersebut, meskipun waktu penemuan cacatnya lama. Jika pembeli sudah menggunakannya, meskipun hanya sebentar, maka hak untuk mengembalikan barang menjadi hilang.
  3. Pengembalian harus segera secara adatnya. Jika ditunda tanpa uzur, maka hak untuk membatalkan transaksi (khiyar) menjadi batal.
  4. Cacat masih ada saat pengembalian. Jika cacatnya hilang sebelum pengembalian dilakukan, maka barang tidak dapat dikembalikan." (Hasan bin Ahmad Al-Kaf, At-Taqriratus Sadidah, [Riyad, Darul Mirats an-Nabawi: 2013], halaman 39-41).


 

Dari penjelasan di atas dapat dipahami, antara garansi dan khiyar aib mempunyai perbedaan mendasar, yakni bahwa garansi adalah bagian dari perjanjian dalam jual beli, yang mana penjual atau produsen menanggung dan menjamin kualitas barang yang dijual dalam jangka waktu yang ditentukan. Yaitu apabila barang tersebut mengalami kerusakan atau cacat maka segala perbaikannya ditanggung oleh penjual, dengan syarat-syarat tertentu yang biasanya ditulis dalam surat garansi.
 

Sedangkan khiyar 'aib merupakan hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli bagi kedua belah pihak yang bertransaksi, apabila terdapat suatu cacat yang mengurangi kondisi fisik atau nilai sehingga tujuan pembelian yang semestinya menjadi tidak tercapai dan tidak dapat dimaklumi pada objek yang diperjualbelikan, dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya ketika akad berlangsung serta tidak dibatasi waktu sebagaimana ketentuan garansi.
 

Dengan demikian, hemat penulis garansi tidak sama dengan khiyar. Adapun padanan garansi dalam kajian fiqih adalah al-wa'du (janji).
 

Sebenarnya ulama berbeda pendapat terkait hukum memenuhi janji, mayoritas ulama mengatakan hukum memenuhi janji adalah sunah dan makruh sadidah tidak memenuhinya. Sedangkan Imam Malik dan Imam Taqiyuddin As-Subki dari kalangan mazhab Syafi'i mengatakan wajib menepati janji. Berikut penjelasan Sayyid Alawi bin Ahmad As-Saqqaf dalam anotasi kitab Fathul Mu'in:
 

تتمة: أجمعوا على أن الوفاء بالوعد فى الخير مطلوب وهل هو مستحب أو واجب ذهب الثلاثة إلى الأول وأن فى تركه كراهة كراهة شديدة وعليه أكثر العلماء وقال مالك: أن اشتراط الوعد بسبب كقوله: تزوج ولك كذا ونحو ذلك وجب الوفاء به وإن كان الوعد مطلقا لم يجب إهـ رحمة.  واختار وجوب الوفاء بالوعد من الشافعية تقى الدين السبكى كما مر ذلك فى البيع فى بيان بيع العهدة
 

Artinya, "Para ulama sepakat bahwa memenuhi janji baik adalah hal yang dituntut, tetapi apakah hal itu disunahkan atau diwajibkan? Tiga Imam (Abu Hanifah, As-Syafi'i, dan Ahmad) berpendapat bahwa memenuhi janji adalah hal yang disunahkan, dan meninggalkannya makruh dengan tingkat kemakruhan yang berat, dan ini adalah pandangan mayoritas ulama.
 

Namun Imam Malik berpendapat bahwa jika janji itu disertai dengan syarat tertentu, seperti mengatakan, "Menikahlah, maka bagimu seperti ini," atau hal semacamnya, maka wajib untuk memenuhinya. Namun, jika janji itu bersifat umum tanpa syarat, maka tidak wajib untuk memenuhinya.
 

Imam Taqiyuddin As-Subki dari kalangan ulama Syafi'iyah memilih pendapat kewajiban memenuhi janji, sebagaimana telah disebutkan dalam bab jual beli terkait dengan penjelasan mengenai akad 'uhdah." (Tarsyihul Mustafidin, [Beirut, Darul Fikr: t.th], halaman 263).
 

Hemat penulis memenuhi janji dalam konteks garansi hukumnya wajib dengan mengikuti pendapat Imam Malik atau pendapat Imam Taqiyuddin As-Subki. Selain itu, janji dalam garansi ini dalam rangkaian transaksi jual beli dan keberlangsungannya dijamin oleh hukum positif Indonesia, serta terdapat ancaman pidana jika tidak melaksanakannya. Wallahu a'lam.
 


Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Kabupaten Purworejo