Bushiri
Kolomnis
Di dunia modern makin banyak perkembangan transaksi muamalah. Termasuk di antaranya adalah transaksi dengan sistem Pre Order (PO).
Pre Order merupakan sistem transaksi pada objek yang belum atau tidak tersedia secara langsung dari penjual. Sehingga pembeli harus memesan dan membayar terlebih dahulu, kemudian menunggu beberapa waktu sesuai kesepakatan.
Umumnya, sistem Pre Order memberikan batas pemesanan pada pembeli baik dari segi periode atau kuota barang yang dapat dipesan. Batas waktu yang diberikan biasanya kisaran 2-3 minggu. Namun waktu ini bisa berubah sesuai keinginan dan keadaan penjual.
Cara kerja sistem Pre Order adalah penjual akan memasarkan produknya dengan cara memberikan spesifikasi atau deskripsi dan sampel kepada calon pembeli. Kemudian, pembeli yang tertarik akan melakukan pemesanan atas produk tersebut. Penjual akan mencatat dan melakukan produksi ketika pembayaran sudah dilakukan oleh pembeli. (krealogi.com).
Cara pembayaran sistem Pre Order pun bermacam-macam. Ada yang mengharuskan pembeli melakukan pembayaran di awal secara penuh, ada juga yang hanya mewajibkan pembayaran sebagian pembayaran. Setelah barang jadi, pihak pembeli melunasi kekurangan dari uang muka yang telah diserahkan. Setelah itu barulah barang akan dikirim ke alamat pembeli.
Perlu diketahui juga, ketika membeli sebuah produk barang atau jasa dalam suatu toko, uang dibayarkan tidak langsung masuk ke kantong penjual, akan tetapi ditahan hingga produk barang atau jasa sampai ke tangan pembeli. setelah sampai ke tangan pembeli barulah uang akan diteruskan kepada penjual. (konsultanku.co.id).
Deskripsi di atas memberi pemahaman bahwa ada tiga karakteristik dalam sistem Pre Order. Yaitu adanya pesanan dari pembeli, barang atau jasa yang akan dibeli belum ready stock, dan harga atau uang pembayaran diberikan terlebih dahulu kepada penjual.
Lantas bagaimana hukum transaksi Pre Order menurut fiqih muamalah?
Hukum Pre Order
Secara garis besar sistem Pre Order adalah pemesanan barang secara spesifik sesuai deskripsi yang akan diproduksi oleh produsen kepada konsumen dengan estimasi waktu yang sudah ditentukan. Jual beli barang dengan Pre Order sifatnya dalam tanggungan dengan pembayaran yang dilakukan di awal dengan jangka waktu yang telah disepakati kedua pihak.
Sistem demikian dalam fiqih muamalah diistilahkan dengan akad istishna’, yaitu akad yang dilakukan antara produsen dan konsumen, yang mana pembeli meminta kepada produsen untuk membuatkan barang tertentu dengan spesifikasi yang telah ditentukan dan bahan pembuatan dari pihak produsen.
Ibnu Abidin Al-Hanafi menjelaskan definisi akad istishna’:
وَأَمَّا شَرْعًا : فَهُوَ طَلَبُ الْعَمَلِ مِنْهُ فِي شَيْءٍ خَاصٍّ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوصٍ
Artinya, “Secara syariat, akad istishna’ adalah meminta kepada produsen untuk membuat barang tertentu dengan mekanisme tertentu.” (Raddul Muhtar, [Riyadh, Daru 'Alamil Kutub], juz VII, halaman 474).
Terdapat perbedaan pendapat mengenai klausul akad istishna’.
Pendapat pertama yang merupakan pendapat ulama mazhab Syafi’i, akad istishna’ termasuk akad salam (pesan), sehingga dalam akad ini disyaratkan adanya beberapa ketentuan yang harus dipenuhi dalam akad salam, seperti harus menjelaskan spesifikasi barang, menyebutkan durasi waktu penyerahan barang, dan pembayaran secara kontan saat berlangsungnya transaksi.
Maka, merujuk pendapat pertama ini, dalam sistem Pre Order pembeli harus menyerahkan uang pembayaran secara penuh saat berlangsungnya transaksi (majlisul 'aqdi). Sehingga apabila pembayaran tidak dilakukan secara penuh, maka hukumnya tidak sah.
Dr Musthafa Al-Khin dkk, menjelaskan:
وإذا لم تنطبق عليه شروط السلم السابقة الذكر، وهذا هو الغالب في تعامل الناس بهذا العقد، فإن أكثر المستصنعين يدفعون للصانع قسطاً من الثمن عند التعاقد، وقد لا يدفعون شيئاً بالكلية ، ثم يؤدون باقي الثمن أقساطاً، أو عند الانتهاء من الصنعة، وربما بقي للصانع شيء من الثمن يتقاضاه فيما بعد هذا هو الغالب في تعامل الناس، وعليه فلا يعتبر هذا سَلماً، وبالتالي فهو غير صحيح عند الشافعية رحمهم الله تعالى
Artinya, “Ketika dalam akad istishna’ tidak memenuhi syarat-syarat salam yang telah disebutkan, dan inilah yang umumnya terjadi di tengah masyarakat, karena kebanyakan konsumen memberikan sebagian dari uang kepada produsen ketika transaksi, dan tidak memberikan secara penuh, kemudian membayar sisanya sesuai barang yang telah jadi atau ketika produsen selesai memproduksi, dan terkadang masih tersisa uang pembayaran yang belum dibayar meski barang sudah jadi, dan ini yang umum terjadi dalam transaksi masyarakat, berdasarkan hal itu maka akad ini tidak dianggap sebagai akad salam, dan implikasinya membuat akad ini tidak sah menurut ulama Syafi’iyah." (Al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Darul Qalam: 2017], juz III, halaman 53-54)
Pendapat kedua, yaitu pendapat mazhab Hanafi, mengatakan bahwa akad istishna’ merupakan akad tersendiri dan bukan bagian dari akad salam. Kebolehan akad istishna’ menurut mazhab Hanafi memakai teori istihsan, yang menjadi teori pengambilan dalil yang diakui dalam mazhab, sebab sudah jamak dilakukan tanpa adanya pengingkaran.
وذهب الحنفية إلى أنه يجوز الاستصناع استحساناً، لتعامل الناس وتعارفهم عليه في سائر الأعصار من غير نكير
Artinya, “Ulama Hanafiyah berpendapat atas kebolehan akad istishna’ berdasarkan istihsan, karena sudah lumrah sebagai model transaksi masyarakat tanpa adanya pengingkaran.” (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Damaskus, Darul Fikr: 2017], juz IV, halaman 393).
Terkait keabsahan akad istishna’, menurut mazhab Hanafi sendiri harus memenuhi tiga syarat, yaitu:
وَأَمَّا شَرَائِطُ جَوَازِهِ فَمِنْهَا: بَيَانُ جِنْسِ الْمَصْنُوعِ، وَنَوْعِهِ وَقَدْرِهِ وَصِفَتِهِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَصِيرُ مَعْلُومًا بِدُونِهِ.- وَمِنْهَا: أَنْ يَكُونَ مِمَّا يَجْرِي فِيهِ التَّعَامُلُ بَيْنَ النَّاسِ - وَمِنْهَا: أَنْ لَا يَكُونَ فِيهِ أَجَلٌ، فَإِنْ ضَرَبَ لِلِاسْتِصْنَاعِ أَجَلًا؛ صَارَ سَلَمًا حَتَّى يُعْتَبَرَ فِيهِ شَرَائِطُ السَّلَمِ وَهُوَ قَبْضُ الْبَدَلِ فِي الْمَجْلِسِ، - وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ وَمُحَمَّدٌ: هَذَا لَيْسَ بِشَرْطٍ، وَهُوَ اسْتِصْنَاعٌ عَلَى كُلِّ حَالٍ - ضَرَبَ فِيهِ أَجَلًا أَوْ لَمْ يَضْرِبْ
Artinya, “Adapun syarat kebolehan akad istishna’ di antaranya adalah: Pertama harus menjelaskan jenis, sifat, dan kadar barang. Karena hal itu tidak akan diketahui kecuali dengan penjelasan yang detail tersebut. Kedua, objek transaksi berupa komoditas yang umum diproduksi. Ketiga, tidak menyebutkan batas waktu. Apabila menyebutkan batas waktu maka akad istishna’ batal dan menjadi akad salam, hingga berimplikasi harus memenuhi syarat akad salam berupa menyerahkan uang pada saat transaksi (majelis akad).
Akan tetapi Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad berpendapat bahwa batas waktu bukanlah sebuah syarat. Akad istishna’ sah secara mutlak baik menyebutkan batas batas waktu ataupun tidak.”. (Alaudin Al-Kasani, Badai’us Shanai, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: t.t.], juz V, halaman 2).
Pemaparan di atas memberikan kesimpulan, transaksi dengan sistem Pre Order diperbolehkan dengan skema akad istishna’ persepektif mazhab Hanafi, dengan beberapa ketentuan, di antaranya ada penjelasan spesifikasi barang pesanan secara detail, dan barangnya adalah komoditas yang lumrah diproduksi. Terkait penyebutan batas waktu apakah menjadi syarat, masih diperselisihkan di lingkungan mazhab Hanafi. Menurut pendapat Imam Muhammad dan Imam Abu Yusuf tidak menjadi syarat. Wallahu a’lam.
Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan Madura.
Terpopuler
1
Temui Menkum, KH Ali Masykur Musa Umumkan Keabsahan JATMAN 2024-2029
2
Baca Doa Ini untuk Lepas dari Jerat Galau dan Utang
3
Cara KH Hamid Dimyathi Tremas Dorong Santri Aktif Berbahasa Arab
4
Jadwal Lengkap Perjalanan Haji 2025, Jamaah Mulai Berangkat 2 Mei
5
Apel Akbar 1000 Kader Fatayat NU DI Yogyakarta Perkuat Inklusivitas
6
Pengurus Ranting NU, Ujung Tombak Gerakan Nahdlatul Ulama
Terkini
Lihat Semua